Model pembangunan rendah emisi karbon justru dapat membuka peluang ekonomi baru, selain memperbaiki kualitas lingkungan. Oleh karena itu, pemerintah diminta berkomitmen memenuhi target penurunan emisi.
Oleh
Ahmad Arif
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Model pembangunan rendah emisi karbon justru dapat membuka peluang ekonomi baru, selain memperbaiki kualitas lingkungan. Oleh karena itu, pemerintah diminta berkomitmen memenuhi target penurunan emisi minimal 29 persen pada 2030, bahkan seharusnya bisa lebih progresif lagi.
”Krisis iklim mengharuskan kita untuk berpikir bukan dalam jangka pendek, tetapi jangka panjang. Strategi iklim jangka panjang justru bisa membawa berbagai manfaat sosial dan ekonomi,” kata peneliti iklim World Resources Institute (WRI) Indonesia, Hanny Chrysolite, di Jakarta, Rabu (27/11/2019).
Menurut Hanny, sebagai salah satu penghasil emisi terbesar secara global dan salah satu negara yang bertumbuh ekonominya, kita harus berpikir jangka panjang. Pilihan investasi yang dibuka seharusnya yang rendah emisi karbon.
”Tren global menunjukkan biaya untuk teknologi terbarukan, seperti solar panel untuk tenaga surya, terus menurun. Kalau kita terus investasi energi berbasis batubara, pada saatnya nanti akan butuh biaya besar untuk beralih ke terbarukan,” katanya.
Mengacu kajian Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), pembangunan rendah karbon justru berpeluang meningkatkan produk domestik bruto (PDB) Indonesia hingga 6 persen dan membuka peluang pekerjaan baru hingga 15,3 persen pada 2045. Selain memperbaiki kualitas lingkungan, pembangunan rendah emisi juga bakal menambah PDB Indonesia 5,4 triliun dollar AS pada 2045 dan mengurangi kematian dini hingga 40.000 orang.
Energi bersih
Asisten Deputi Pelestarian Lingkungan Hidup Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Dida Gardera mengatakan, Indonesia pasti akan bergerak ke energi bersih. ”Kita sepakat dengan konsep Bappenas bahwa dengan menerapkan pembangunan berbasis karbon, pembangunan akan meningkat. Hanya saja persepsi dan cara setiap kementerian dan lembaga berbeda,” ujarnya.
Dida menambahkan, kita juga harus memikirkan konsekuensi ekonominya dalam jangka pendek, termasuk tenaga kerja yang akan terdampak. ”Misalnya, jika sektor batubara dikurangi, harus dicari lapangan kerja pengganti,” ucapnya.
Direktur WRI Indonesia Nirarta Koni Samadhi menambahkan, dampak dari pemanasan global sudah sangat nyata terhadap keberlangsungan hidup umat manusia. Selain peningkatan suhu, kenaikan muka air laut dan intensitas bencana juga meningkat. Situasi ini akan memicu gejolak sosial lebih besar lagi.
Sebanyak 68 negara sudah menyatakan komitmen untuk meningkatkan target penurunan emisi lebih besar, tetapi mereka hanya berkontribusi terhadap 8 persen emisi karbon global. ”Indonesia yang berkontribusi terhadap 2-4 persen emisi karbon global seharusnya memasang target penurunan emisi yang lebih ambisius. Kita hanya punya 11 tahun untuk bekerja keras melakukan segalanya agar peningkatan suhu bumi di bawah 2 derajat (celsius),” ungkapnya.
Perdagangan karbon
Peneliti iklim WRI Indonesia, Arief Wijaya, mengingatkan, salah satu tema yang akan banyak dibahas dalam Konvensi Kerangka Kerja PBB untuk Perubahan Iklim (UNFCCC) yang akan diselenggarakan di Madrid, Spanyol, pada Desember mendatang, adalah tentang perdagangan karbon.
”Oleh karena itu, Indonesia harus sudah punya skema kebijakan perdagangan karbon. Akan ada peluang pendapatan baru terkait keberadaan perdagangan karbon ini. Misalnya, kita punya hutan sebagai sumber pendapatan dari perdagangan karbon yang bisa dipakai untuk mitigasi dan adaptasi,” ungkapnya.
Dida mengatakan, sejak tahun 2017 pemerintah sudah menyiapkan kajian terkait pasar karbon domestik. Saat ini sistem perdagangan karbon dinilai dapat segera diterapkan di berbagai subsektor yang dianggap telah siap, seperti pembangkit listrik, semen, dan pupuk.
”Akan ditentukan batas emisi yang diperbolehkan di subsektor ini. Kalau mereka bisa menurunkan emisi di bawah batas yang ditentukan, selisihnya bisa dijual. Kalau tidak bisa, berarti mereka harus beli karbon. Diharapkan regulasinya selesai tahun depan,” katanya.
Dari kajian yang dilakukan, lanjut Dida, penerapan di tiga subsektor ini berpeluang mengurangi emisi di Indonesia sampai 58 juta ton karbon dioksida dan mendorong peningkatan PDB 0,02 persen. ”Sebelumnya muncul kekhawatiran kalau menerapkan pembangunan bersih akan mengganggu PDB, tetapi malah bisa meningkatkan meski masih kecil,” ujarnya.