Basis Pembangunan Manusia yang Kerap Diabaikan Pemangku Kepentingan
Pendidikan karakter masih diabaikan pemangku kepentingan dalam proses belajar mengajar. Padahal, pendidikan karakter itu menjadi basis pembangunan.
Oleh
FAJAR RAMADHAN
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pendidikan karakter yang menjadi basis pembangunan kerap diabaikan pemangku kepentingan. Perlu ada perubahan serius di tingkat sekolah dasar untuk menjadikannya sebagai isu utama. Langkah ini dinilai menentukan kelangsungan pendidikan ke depan di jenjang yang lebih tinggi.
Menurut Direktur Sekolah Pancasila Yudi Latif, mendidik manusia ibarat menanam pohon. Untuk menghasilkan pohon yang kuat, akar pohon harus menghunjam dalam ke tanah. Akar itulah yang dimaksud dengan karakter dan spiritualitas. ”Karakter itu sangat fundamental karena akan menjadi pertahanan terakhir. Dengan itu, orang tidak akan mudah tergoda, bermental petarung, dan tidak minder,” kata Yudi Latif di Jakarta, Kamis (28/11/2019).
Sementara itu, batang diibaratkan sebagai sebuah ilmu pengetahuan. Semakin seseorang ingin belajar, ilmunya akan semakin kaya, seperti batang pohon yang menjulang tinggi. Bersama pendidikan karakter, ilmu pengetahuan tersebut akan menjadi senjata ampuh melawan disrupsi apa pun. ”Jadi, tugas pendidikan tidak hanya membekali anak dengan ilmu pengetahuan, tetapi juga menguatkan karakter dan iman,” ujar Yudi.
Menurut Yudi, pendidikan karakter memiliki tiga implikasi. Pertama adalah membentuk manusia yang bersikap etis. Implikasi selanjutnya adalah ketegaran menghadapi tantangan dan membentuk kekhasan manusia.
Menurut dia, perubahan mendasar harus dilakukan pada pendidikan di sekolah dasar. Pendidikan sekolah dasar mesti mampu menyelesaikan hal-hal yang mendasar, seperti olah rasa yang menekankan pada etika, olah jiwa yang menekankan pada akhlak, dan olah karsa yang membentuk kreativitas.
Selain basis pembentukan karakter tersebut, siswa juga diajak untuk meningkatkan minat baca, mengajak siswa menulis, serta mengajari aritmatika dan bertutur. ”Menulis, terbukti mampu membangun argumen, logika, dan kreativitas siswa,” ujarnya.
Dari hal tersebut, menurut Yudi, sudah seharusnya ujian nasional pada tingkat SD dihapuskan. Guru perlu mendapatkan otoritas untuk menilai siswa. Penilaian tersebut, misalnya berdasar pada buku apa yang sudah dibaca siswa, contoh karakter apa yang tertanam di dalamnya, atau kemampuan siswa menulis kisah sehari-hari.
Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Terbuka Udan Kusmawan mengatakan, di tingkat PAUD seharusnya guru fokus membentuk pribadi siswa. Mereka bisa diajari hal-hal yang penting bagi dirinya dulu, seperti cara makan yang benar, cara duduk yang sopan, dan baris berbaris.
Baru setelah masuk jenjang SD, anak diajari mengenai karakter empati dan gotong royong. Hal itu bisa dilakukan dengan cara mengajak siswa belajar berkelompok. Siswa yang pintar harus didorong membantu temannya yang tertinggal. ”Penanaman empati tersebut terus berkembang sesuai tingkatan pendidikan. Di SMA, misalnya, bentuk empatinya bisa berupa produk atau aksi yang berdampak bagi masyarakat,” katanya.
Mendesak
Budayawan Radhar Panca Dahana menilai, pendidikan karakter saat ini telah menjadi hal yang mendesak bagi anak usia dini. Sebab, anak muda saat ini tengah mengalami krisis kultural leluhur sehingga daya tahan karakter mereka rapuh. Padahal, tuntutan untuk mereka di era sekarang lebih keras.
”Salah satu kultur kita adalah kultur avonturir atau petualang yang identik dengan inovasi. Saat ini, orang-orang malah dibuat nyaman untuk mager,” ujarnya.
Menurut Radhar, pendidikan karakter harusnya sudah dimulai sejak bayi lahir. Orangtua memegang peranan penting dalam membangun situasi positif di depan si bayi, baik dalam bersikap maupun bertutur. Sebab, bayi dan anak balita merupakan peniru yang ulung. ”Sejak usia anak balita, tradisi kesantunan, ramah tamah, empati, dan teladan harus diberikan hingga mereka masuk PAUD,” katanya.
Radhar mengatakan, saat ini kesalahan terbesar guru adalah mengajari siswa usia dini dengan membaca, menulis, dan menghitung (calistung). Ilmu-ilmu teknis tersebut menghabiskan waktu anak untuk mempelajari hal-hal kultural yang jauh lebih penting. ”Hingga kelas II atau III SD, siswa belum perlu diajarkan tentang calistung. Perkenalkan saja dulu,” katanya.
Anggota Komisi Kajian Ketatanegaraan MPR RI, Reni Marlinawati, mengatakan, saat ini guru dihadapkan pada posisi yang dilematis. Guru selama ini dianggap tidak mampu melakukan inovasi dalam mengembangkan pendidikan karakter siswa. Padahal, banyak guru yang masih dibebani dengan masalah kesejahteraan atau administratif. ”Bagaimana mungkin guru bisa mencurahkan segala pengabdiannya kalau mereka sendiri masih kesulitan memikirkan perut,” katanya.