Saat ini bencana yang dipicu oleh pemanasan global dianggap paling mengancam dunia. Dengan kata lain, perubahan iklim telah menjadi masalah yang kian nyata. Namun, bagaimana publik Indonesia melihatnya?
Survei Perilaku Global yang dilakukan berkala oleh Pew Research Center menunjukkan, dari tahun ke tahun, kekhawatiran publik meningkat terhadap dampak perubahan iklim. Pada tahun 2013, rata-rata 56 persen responden di 23 negara yang diteliti menempatkan isu ini sebagai ancaman terbesar di negara mereka. Empat tahun kemudian, kekhawatiran meningkat, meliputi 63 persen responden. Riset terbaru pada 2018 menunjukkan, kekhawatiran sudah menjangkau 67 persen responden.
Survei Pew Research Center itu dilakukan terhadap 27.612 responden di 26 negara pada 14 Mei-12 Agustus 2018. Hasilnya, secara global, perubahan iklim dianggap paling mengancam. Separuh negara responden (13 negara) menempatkan isu ini di urutan teratas, mengalahkan kekhawatiran pada kelompok Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS), serangan siber, serta kekuatan Rusia.
Dari 13 negara tersebut, Yunani merupakan negara dengan responden yang paling banyak menunjukkan perhatian. Sebanyak 90 persen publik di negara itu menempatkan perubahan iklim sebagai ancaman terbesar. Yunani diikuti Korea Selatan (86 persen), Spanyol 81 persen, dan Meksiko (80 persen).
Kekhawatiran warga Yunani sangat beralasan. Negara itu memiliki banyak pulau yang berpenduduk dan mendulang devisa dari kunjungan wisatawan asing. Ancaman kenaikan air laut hingga 2 meter akibat pemanasan global jelas membahayakan Yunani. Kenaikan muka air laut mengancam keberlangsungan pariwisata Yunani yang memiliki banyak situs bersejarah UNESCO. Pariwisata juga menyokong 20,6 persen produk domestik bruto negara ini.
Tidak hanya menyebabkan kenaikan air laut dan sektor pariwisata merugi, perubahan iklim juga berdampak buruk pada sendi kehidupan lainnya, seperti tingkat kesehatan penduduk dan ketersediaan pangan. Hal ini terjadi karena tingginya konsentrasi karbon dioksida, metana, dan nitrogen yang akan menyebabkan pemanasan global serta meracuni udara.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) melaporkan, saat ini terjadi penurunan kualitas dan kuantitas kesehatan warga dunia akibat peningkatan polusi udara. Udara yang terkontaminasi emisi pembakaran bahan bakar fosil membunuh tujuh juta orang setiap tahun. Sebanyak 90 persen warga perkotaan dunia kini menghirup udara dengan kadar polutan melebihi ambang batas aman.
Perubahan iklim juga dinilai telah menyebabkan peningkatan suhu yang memicu penyakit pernapasan dan kardiovaskular (penyakit terkait jantung serta pembuluh darah). Efek tak langsungnya, berupa cedera atau kematian, juga dapat terjadi akibat cuaca ekstrem seperti kekeringan, banjir, gelombang panas, badai, serta kebakaran hutan.
Dari sisi pangan, perubahan iklim menyebabkan musim kurang menentu, yang kemudian memengaruhi ketersediaan pangan. Untuk mengantisipasinya, Organisasi Pangan Dunia (FAO) merancang program adaptasi dan mitigasi di sektor agrikultur. Pada 2009-2017, setidaknya FAO telah memiliki 300 program yang ditujukan secara spesifik untuk menangani perubahan iklim.
Perempuan khawatir
Pekan ini, Oxford Dictionary menetapkan lema climate emergency (darurat iklim) sebagai ”Word of the Year for 2019”. Pemilihan ini dilakukan tidak hanya karena frekuensinya yang makin sering, tetapi juga menunjukkan ada peningkatan kedaruratan.
Tahun ini pun dianggap menjadi momen pemantik kesadaran publik pada perubahan iklim. Greta Thunberg berdemonstrasi sendirian di depan gedung parlemen Swedia pada Agustus 2019 untuk menyuarakan keprihatinan atas perbuahan iklim. Ia kemudian menjadi inspirator bagi jutaan kaum muda di seluruh dunia untuk turun ke jalan dan mempermasalahkan perubahan iklim.
Greta adalah gadis muda dari Swedia yang memiliki ketertarikan pada isu perubahan iklim sejak 2012, yakni ketika berusia 9 tahun. Merujuk hasil Survei Perilaku Pew Research Center (2018), perempuan memang menjadi kelompok yang lebih khawatir terhadap perubahan iklim ketimbang laki-laki.
Perempuan dari tujuh negara lebih khawatir soal perubahan iklim dibandingkan laki-laki dengan selisih lebih dari 9 persen. Selisih tertinggi terjadi di Amerika Serikat dengan proporsi 66 persen responden perempuan dan 51 persen responden laki-laki.
Secara normatif, perempuan tampaknya memang lebih rentan terhadap perubahan iklim. Women Watch dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyebutkan, perubahan iklim memiliki konsekuensi serius bagi perempuan di negara berkembang. Hal ini terjadi karena 45-80 persen produksi pangan dikerjakan oleh perempuan petani di negara berkembang.
Saat dunia mulai mengibarkan bendera perang pada krisis perubahan iklim, bagaimana dengan Indonesia? Menurut survei yang sama, isu pemanasan global justru belum dinilai sebagai ancaman nasional oleh responden di Tanah Air. Hanya 56 persen responden menganggap perubahan iklim sebagai ancaman besar.
Jumlah ini menempatkan perubahan iklim di urutan keempat dalam daftar persoalan global yang paling mengancam di Indonesia. Jumlah publik yang khawatir terhadap perubahan iklim pun mengalami stagnasi dibandingkan tahun 2017. Kekhawatiran orang Indonesia malah menurun dari tahun 2013 yang mencapai 59 persen.
Padahal, tidak berbeda dengan Yunani, kondisi geografis Indonesia terdiri dari banyak pulau dengan garis pantai terpanjang kedua di dunia. Mayoritas penduduknya tinggal di pesisir dan rentan terdampak kenaikan muka air laut.
Produksi emisi
Ancaman terbesar yang dirasakan oleh responden di Indonesia adalah ancaman terkait kelompok NIIS. Persoalan tersebut berada di posisi pertama sebagai ancaman yang paling ditakuti oleh 74 persen responden pada tahun 2017 dan 81 persen responden di tahun 2018. Terpecahnya kekhawatiran publik pada isu terorisme dan lingkungan membuat Indonesia cenderung bersikap tidak terlalu khawatir pada perubahan iklim.
Meski kekhawatiran di level publik rendah, Pemerintah Indonesia bersikap cukup aktif dalam diplomasi perubahan iklim. Indonesia ikut meratifikasi Kesepakatan Paris 2015 dan berambisi menurunkan emisi 29 persen dari perkiraan 2.869 MtCO2e menjadi 2.037 MtCO2e pada 2030.
Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2014, Indonesia mengeluarkan emisi 174,53 tCO2e untuk setiap kenaikan PDB senilai Rp 1 miliar. Jumlah ini lebih besar dari India dan China yang memproduksi emisi jauh lebih kecil untuk setiap kenaikan PDB dengan jumlah sama, yaitu 106 tCO2e dan 73 tCO2e. (Kompas, 26 November 2018)
Karena itu, komitmen nasional untuk menghadirkan pembangunan rendah karbon merupakan keniscayaan. Melalui penyusunan Kajian Lingkungan Hidup Strategis atas Rencana Pembangunan Jangka Menengah 2020-2024, Indonesia menggunakan intensitas emisi sebagai salah satu parameter perencanaan pembangunan rendah karbon.
Potret kekhawatiran warga dunia terhadap perubahan iklim yang makin meningkat merupakan hal yang baik. Sayangnya, di Indonesia, kesadaran warga masih rendah. Padahal, mengurangi emisi karbon dapat mulai dilakukan melalui kegiatan sehari-hari. Perlu pemahaman yang lebih baik di masyarakat agar mereka turut berkontribusi dalam mengurangi dampak buruk perubahan iklim. (Litbang Kompas)