Norma-norma yang berhubungan dengan penegakan hukum lebih banyak dibutuhkan dalam Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah. Sayangnya, ketentuan itu tidak banyak ditemukan di payung hukum tersebut.
Oleh
I GUSTI AGUNG BAGUS ANGGA PUTRA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah tidak banyak mengandung norma-norma yang berhubungan dengan penegakan hukum, tetapi lebih banyak berkaitan dengan elektoral. Padahal, norma-norma penegakan hukum menjadi jaminan hadirnya negara dalam proses pemilihan umum.
Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah (UU Pilkada) lebih banyak membahas materi soal pencalonan dan syarat calon kepala daerah. Kondisi itu dia nilai lebih condong hanya mencerminkan kepentingan calon, sedangkan norma-norma yang berkaitan dengan tata kelola pilkada kurang diberi ruang. Hal itu penting karena penegakan hukum adalah mekanisme untuk menjaga keadilan.
”Beberapa norma di UU Pilkada, khususnya bagi penegakan hukum, itu lemah sekali,” ujar peneliti Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas, Khairul Fahmi, Kamis (28/11/2019), dalam acara Seminar Nasional: Bawaslu dan Penegakan Hukum Pemilu, di Jakarta.
Revisi juga dibutuhkan agar jangan sampai ada materi UU Pilkada yang jauh berbeda dengan UU Pemilihan Umum (Pemilu). Apabila UU Pilkada tak direvisi, penegakan hukum pemilu tidak akan bisa maksimal.
”Sebab, dari sisi mekanisme penanganan, memang UU Pilkada tidak sebagus UU Pemilu, baik dari segi pengawasan, penanganan, soal sanksi, penyelesaian sengketa, maupun politik uang,” katanya.
Anggota Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu), Ratna Dewi Petallolo, mendukung revisi UU Pemilu dan Pilkada. Karena itu, Bawaslu telah membuat daftar inventarisasi masalah (DIM) untuk kedua UU tersebut.
Dalam DIM untuk UU Pilkada, Bawaslu mengajukan soal status panitia pengawas pemilu di tingkat kabupaten/kota yang berbeda pengaturannya. Dalam UU Pilkada, pengawas pemilu di tingkat kabupaten/kota masih bernama Panwaslu. Ratna ingin agar nomenklaturnya diganti menjadi Bawaslu agar sama dengan UU Pemilu. Perbedaan nomenklatur di dua UU bisa memunculkan interpretasi yang berbeda di daerah sehingga perlu diselaraskan.
Selain itu, Ratna mengatakan, waktu penanganan perkara di UU Pilkada sangat pendek, hanya lima hari. Berbeda dengan UU Pemilu yang waktu penanganannya hingga 14 hari kerja.
Penambahan waktu dirasa penting karena mempengaruhi kualitas pemeriksaan. Ratna menjelaskan, penanganan pelanggaran tindak pidana pemilu membutuhkan waktu yang cukup lama untuk melakukan pembuktian.
”Pembuktian ini, kan, salah satu tahapan yang paling penting karena yang harus kita dapatkan, kan, kualitas pembuktian karena akan memidanakan seseorang. Tidak boleh ada kesalahan. Waktu itu, kami minta diselaraskan dengan UU Pemilu jadi 14 hari kerja,” tuturnya.
Ratna juga menyoroti beberapa norma dalam UU Pilkada yang perbuatannya diatur, tetapi sanksi pidananya tidak ada. Seperti misalnya penggunaan fasilitas negara untuk tahapan pemilihan gubernur dan wakil gubernur.
Anggota Komisi II DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Mardani Ali Sera, mengatakan, Komisi II DPR telah sepakat mengusulkan 7 RUU masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Dua di antaranya adalah UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dan UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada. Pembahasan revisi dua UU itu, kata Mardani, akan dimulai pada Februari 2020.
Revisi, menurut Mardani, perlu dilakukan karena dia menginginkan Bawaslu diperkuat. Ia berpendapat, pengadilan pemilu agar diserahkan kepada Bawaslu. Saat ini, peserta pemilu bisa mengadukan hasil pemilu ke Bawaslu dan MK. Masing-masing memiliki keputusan yang berbeda. ”Nanti kita berharap single policy window,” kata Mardani.
Bawaslu kini tengah menyiapkan indeks kerawanan pilkada yang pembahasannya tengah masuk ke tahap riset. Di tahap ini, tim yang dibentuk Bawaslu mempelajari tren pelanggaran yang terjadi di Pilkada 2018 dan Pemilu 2019. Hasil-hasil pengawasan penanganan pelanggaran penyelesaian sengketa itu akan ditarik menjadi bagian yang dianalisis lalu ditarik kesimpulan. ”Setelah itu baru bisa disusun indeks kerawanannya,” kata Ratna.