Bahasa Inggris menjadi tantangan dunia pendidikan. Pemelajarannya terus berubah dan tak terarah. Saat kebijakan menghapus pelajaran Bahasa Inggris diberlakukan, siswa di pedalaman Kalimantan Tengah justru merindukannya.
Oleh
Dionisius Reynaldo Triwibowo
·6 menit baca
Di ujung jembatan kayu, Hamid (11) bermain gawai dengan teman-temannya. Padahal saat itu, Jumat (22/11/2019), waktu masih menunjukkan pukul 08.00. ”Gurunya kadada (tak ada),” katanya saat ditanya mengapa tidak berada di kelas. Siswa kelas III SDN Tanjung Taruna, Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah, itu pun kembali memperhatikan layar telepon pintarnya.
Semua instruksi di layarnya menggunakan bahasan Inggris. Jika ditanya artinya, Hamid hanya menggeleng, Namun, ia mengerti fungsinya. Untuk mempercepat iklan yang menghalangi tontonan videonya, ia tahu harus menyentuh pada tulisan skip-AD. Video yang mereka tonton sebagian besar adalah cuplikan tarian modern, grup vokal Korea, atau tutorial permainan. ”Lagu ini yang jadi status di story-nya Nana,” ujar Hamid ke teman di sebelahnya. Ungkapan bahasa Inggris dilafalkan dengan baik. Namun, saat ditanya apa arti kata story dalam bahasa Indonesia, Hamid menjawab, ”Itu status di Instagram”.
Beberapa teman Hamid memperhatikannya, sebagian asyik bermain permainan baku tembak Player Unknown’s Battlegrounds. Semua perintah dalam permainan itu pun menggunakan bahasa Inggris. Meski tak tahu artinya, mereka tetap asyik bermain dan memahami fungsi dari setiap perintah dalam permainan tersebut. Hamid dan beberapa temannya masih mengenakan celana seragam merah. Mereka sudah biasa pulang cepat. Di hari Jumat bahkan jauh lebih cepat. Kadang mereka masuk sekolah hanya untuk absen atau sekadar belajar mengaji.
Kalau di sini ada rumah guru, banyak guru mau tinggal. Ini ada, tapi tidak layak tinggal.
Orangtua murid sering memprotes pihak sekolah karena khawatir anak-anak mereka tidak pernah belajar di sekolah. ”Anak-anak kalau tidak sekolah, ya, main di sungai, naik motor jalan-jalan ke mana-mana, tidak belajar,” ungkap Nasrullah, salah satu orangtua murid di Desa Tanjung Taruna. Pada Jumat pagi itu, anak-anak murid yang berjumlah 90 orang sudah tidak ada di kelas. Tersisa dua guru yang menunggu jemputan untuk kembali ke Kota Palangkaraya, sekitar 25 kilometer dari desa.
Salah satunya adalah Elisabeth, guru olahraga. Menurut dia, sekolah itu serba kekurangan. Setidaknya ada delapan guru aparatur sipil negara (ASN) dan dua guru kontrak. Dua guru tinggal di desa, sisanya tinggal di Palangkaraya, ibu kota Provinsi Kalteng. ”Kalau di sini ada rumah guru, banyak guru mau tinggal. Ini ada, tapi tidak layak tinggal. Jadi terpaksa kami (guru) bolak-balik Palangkaraya ke sini,” ungkap Elisabeth.
Rumah dinas khusus guru yang ada di sekolah itu memang kondisinya memprihatinkan. Selain tidak ada listrik, tak ada air di kamar mandi. Selain di kamar mandi rumah itu, WC milik sekolah pun tak pernah dipakai karena tidak ada air. Anak-anak dan guru biasanya pergi ke sungai untuk buang air kecil ataupun besar.
Dinding-dinding rumah dinas itu keropos, tak ada isi di dalamnya, hanya sekat pembatas kamar yang juga sudah keropos dilahap rayap. Rumah kayu itu sudah dibangun sejak belasan tahun lalu dan tampak tak terawat. Terdapat dua rumah dinas untuk guru, salah satunya kosong, rumah lainnya menjadi gudang tempat menyimpan bangku dan meja kayu yang juga keropos.
Elisabeth menjelaskan, tak hanya pulang cepat, terkadang pemelajaran baru bisa dimulai pukul 08.00 atau pukul 09.00 karena guru yang tidak bisa cepat hadir. Jarak yang cukup jauh menjadi alasan lain guru-guru terlambat mengajar.
Kalau sudah banjir, air juga bisa masuk ke kelas-kelas, belajar juga jadi tidak efektif.
Begitu pula yang dirasakan Nursaidah, guru mata pelajaran Agama Kristen. Guru dengan status pegawai negeri itu setiap hari harus menggunakan ojek untuk berangkat mengajar. Terkadang jika hujan dan jembatan kayu tergenang air rawa gambut di sekitarnya, ia mengurungkan niat mengajar dan kembali ke Palangkaraya. Hal itu kerap terjadi pada musim hujan.
”Kalau sudah banjir, air juga bisa masuk ke kelas-kelas, belajar juga jadi tidak efektif,” ungkap Nursaidah. Baik Nursaidah maupun Elisabeth mengungkapkan, sejak diberlakukannya Kurikulum 2013/2014, mata pelajaran Bahasa Inggris dihapuskan. Namun, penghapusan itu hanya untuk kelas I sampai III SD. Sekolah masih diberikan kelonggaran untuk tetap mengajarkan bahasa asing itu jika diperlukan.
Sebelum kurikulum itu diberlakukan, diakui Elisabeth, sekolah sudah tidak lagi mengajarkan bahasa Inggris. Selain tak ada guru, mata pelajaran itu dinilai tidak terlalu penting bagi siswa SD. Di sekolah itu, sampai tamat SD murid-murid tidak mendapatkan kesempatan belajar bahasa Inggris. Kaum milenial di desa itu justru mengenal bahasa Inggris lewat gawai.
Komunitas
Selain di Tanjung Taruna, kejadian hampir serupa juga terjadi di Pendahara, Kecamatan Pendahara, Kabupaten Katingan. Di sana pelajaran bahasa Inggris juga lenyap. Namun, beruntung Ricardo Howard (34), warga Pendahara, yang membentuk Yayasan Putus Sekolah. Di dalamnya terdapat komunitas Pendahara English Club yang ia bentuk sejak tahun 2018.
Sabtu (23/11) pukul 14.30, anak-anak sudah berkumpul. Mereka akan bertemu dengan Fennisya Veronicka dan Cohyo Muthi dari Yayasan Euroweek School of Leaders Indonesia. ”Janjiannya jam tiga sore, tapi sejak jam dua mereka sudah berdatangan,” katanya.
Sore itu anak-anak berkumpul, bermain sambil belajar bahasa Inggris. Fennisya berbicara menggunakan bahasa Inggris, Ricardo menjelaskannya menggunakan bahasa Dayak Katingan. Mereka pun menyanyi bersama, menari, dan memainkan beberapa permainan. Antusias anak-anak di desa yang jaraknya 82 kilometer dari Kota Palangkaraya itu membuncah. Mereka sampai lupa waktu dan baru mau pulang ketika matahari tenggelam.
”Mereka punya banyak waktu di luar sekolah dan senang sekali berkumpul. Jadi kalau ada kegiatan kelas begini, mereka semangat,” ungkap Ricardo. Di desa itu, keresahan ingin belajar bahasa Inggris memuncak ketika beberapa anak SMA di kecamatan itu tidak lolos tes beasiswa di salah satu perguruan tinggi swasta di Tangerang, Banten, hanya karena nilai Bahasa Inggris-nya tidak mencapai target. Mereka kemudian membuat kelompok belajar hingga akhirnya menjadi komunitas.
Bersaing
Menurut Fennisya, dalam pemelajaran bahasa Inggris, guru semestinya tidak lagi menekankan pada penggunaan tata bahasa atau merangkai kalimat, tetapi lebih ke fungsi. Guru juga harus bisa membuka rasa penasaran anak sehingga bisa berpikir kritis dengan penggunaan bahasa Inggris.
”Dengan mengenal bahasa Inggris di awal (SD), siswa akan semakin terbuka pikirannya. Tujuan besarnya, ya, mereka bisa bersaing secara global, bahasa hanya penuntun, tetapi juga jadi pelengkap kemampuan mereka di bidang lainnya,” kata Fennisya.
Yayasan yang berbasis di Polandia itu memang mengundang pemuda dari sejumlah negara untuk berbagi pengetahuan budaya dan latihan kepemimpinan. Fennisya yang merupakan alumni dari program beasiswa itu ingin melakukan observasi terkait masalah bahasa Inggris di pedalaman dan pelosok Kalimantan.
Menurut dia, pemelajaran bahasa Inggris terus menjadi momok karena dinilai sulit dipelajari oleh murid. ”Setiap pengalaman belajar ketika dibawa bermain pasti akan sangat menyenangkan dan itu akan mudah diserap,” katanya.
Baik Hamid maupun anak-anak di Pendahara memiliki cara masing-masing untuk belajar bahasa Inggris. Namun, banyak persoalan lain yang mereka hadapi. Perubahan kurikulum sama dengan persoalan baru. Mereka hanya berharap bisa bersekolah dengan baik, sama seperti siswa di sekolah lain di kota-kota besar, bisa bersaing dan berprestasi.