Belum terbayarnya utang Grup Duniatex puluhan triliun rupiah mempengaruhi performa kredit lembaga keuangan. Industri pengolahan menjadi penyumbang terbesar kredit macet perbankan hingga akhir Oktober 2019.
Oleh
Dimas Waraditya Nugraha
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Industri pengolahan atau manufaktur menjadi penyumbang terbesar rasio kredit macet industri perbankan hingga akhir Oktober 2019. Belum terbayarnya utang Grup Duniatex yang mencapai puluhan triliun telah membebani performa kredit lembaga keuangan.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat rasio kredit macet (non-performing loan/NPL) gross hingga Oktober 2019 mencapai 2,73 persen, naik dari bulan sebelumnya 2,66 persen. Adapun rasio NPL nett juga meningkat menjadi 1,21 persen dari bulan sebelumnya 1,15 persen.
Deputi Komisioner Pengawas Perbankan III OJK Slamet Edy Purnomo mengungkapkan, beban kenaikan NPL kebanyakan berasal dari industri pengolahan dengan total penyaluran kredit sebesar Rp 200 triliun hingga Oktober 2019. Diakui oleh Slamet bahwa kontributor terbesar dari tingginya NPL di industri tersebut adalah kasus gagal bayar yang menimpa jaringan perusahaan Grup Duniatex.
”Di industri pengolahan ini utamanya, saya kira (NPL) banyak disumbangkan dari kasus Duniatex. Penyaluran kredit bermasalah tidak hanya tercatat di industri hilirnya saja, tetapi juga dari hulu,” ujar Edy Purnomo di Jakarta, Jumat (29/11/2019).
Slamet menjelaskan, total utang Grup Duniatex saat ini sekitar Rp 22 triliun yang merupakan total utang gabungan dari induk usaha, anak usaha, dan total utang pribadi. Total utang itu juga tidak hanya berasal dari bank, tetapi juga dari non-bank.
Berdasarkan data OJK, pada Desember 2018, NPL di sektor industri pengolahan tercatat 2,52 persen. Namun, per Oktober 2019, NPL industri pengolahan naik signifikan menjadi 4,12 persen.
Kasus utang Duniatex ini pertama kali terkuak karena gagal bayar kupon obligasi PT Delta Merlin Dunia Textile, anak usaha Duniatex Grup. Gagal bayar ini terjadi hanya berselang empat bulan dari penerbitan obligasi senilai 300 juta dollar AS dengan kupon 8,625 persen per tahun pada Maret lalu.
Kasus tersebut mengejutkan industri keuangan karena selama ini Duniatex belum pernah terlambat memenuhi kewajiban keuangannya. Dua bank BUMN, yakni PT Bank Mandiri Tbk dan PT Bank Negara Indonesia Tbk, juga memiliki eksposur kredit ke Duniatex.
Saat ini kasus gagal bayar utang Duniatex Group masih dalam tahap sidang penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU). Proses ini masih belum final karena menunggu hasil penghitungan total utang lewat sidang PKPU.
OJK berharap setelah sidang PKPU segera ada homologasi dan ada kesepakatan untuk segera merestrukturisasi. ”Persoalan Duniatex ini juga melibatkan banyak pekerja di sana, harapanya setelah PKPU bisa menciptakan situasi yang kondusif,” kata Slamet.
Juru Bicara OJK Sekar Putih Djarot meyakinkan bahwa peningkatan NPL yang dialami industri perbankan masih terkendali. Peningkatan NPL terjadi di tengah pertumbuhan intermediasi lembaga jasa keuangan.
Rapat Dewan Komisioner OJK menilai stabilitas sektor jasa keuangan akhir November 2019 dalam kondisi terjaga dengan intermediasi sektor jasa keuangan tetap tumbuh positif. Di samping itu, profil risiko industri jasa keuangan juga terpantau terkendali di tengah pelambatan ekonomi global.
OJK mengungkapkan, bursa akuisisi kepemilikan saham di PT Bank Permata Indonesia Tbk mulai mengerucut pada dua perusahaan yang berbasis di Tokyo, Jepang dan Bangkok, Thailand.
Kabar penjualan kepemilikan Bank Permata menguak setelah salah satu pemegang saham Permata, Standard Chartered, berniat mengurangi beban guna mengejar pertumbuhan konsolidasi. Bank tersebut berencana melepas operasional bisnis di negara yang dinilai memberikan imbal hasil (return) rendah.
Slamet menegaskan komitmen OJK untuk terus memantau investor yang ingin masuk ke Bank Permata. OJK juga telah meminta syarat kepada calon investor Bank Permata untuk berkomitmen mendorong sektor infrastruktur dan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). ”Kami akan mendukung calon investor yang berkomitmen untuk mendorong investasi di sektor infrastruktur dan UMKM,” ujar Slamet.