Pengadilan Tipikor Ambon mencatat, sepanjang Januari hinggga November 2019, sebanyak 17 perkara korupsi dana desa disidangkan di pengadilan itu. Jumlah ini meningkat dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya.
Oleh
Fransiskus Pati Herin
·3 menit baca
AMBON KOMPAS — Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Ambon mencatat, sepanjang Januari hingga November 2019, sebanyak 17 perkara korupsi dana desa disidangkan di pengadilan itu. Jumlah ini meningkat dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Hal ini menjadi alarm keras di tengah persoalan kemiskinan perdesaan yang masih tinggi di provinsi tersebut.
Juru bicara Pengadilan Negeri Ambon, Lucky Rombot Kalolo, di Ambon, Jumat (29/11/2019), mengatakan, sejak dana desa bergulir pada 2015 hingga tahun lalu, kasus yang ditangani tidak sampai sepuluh per tahun. Pengadilan tersebut merupakan satu-satunya di Maluku yang menyidangkan perkara korupsi. Kasus-kasus itu diungkap penyelidik dari kepolisian dan kejaksaan.
Modus penyalahgunaan dana juga bermacam-macam, di antaranya menaikkan harga belanja barang dan menyalahgunakan uang. Oleh para tersangka, dana desa dipakai untuk kebutuhan sehari-hari hingga berfoya-foya. ”Menyanyi di karaoke itu tidak apa-apa, yang penting jangan pakai dana desa. Itu sudah kena pidana,” ujar Lucky.
Pelaku korupsi dana desa juga tidak pernah tunggal. Selain kepala desa, beberapa perangkat juga ikut terlibat. Vonis yang dijatuhkan hakim paling tinggi dua tahun penjara, denda, dan membayar uang pengganti kerugian negara. Besaran dana desa yang dikorupsi kurang dari Rp 500 juta per kasus. Adapun alokasi dana desa di Maluku berkisar Rp 800 juta-Rp 2 miliar per tahun per desa.
”Salah satu pertimbangan majelis hakim dalam menjatuhkan hukuman adalah perbuatan para pelaku telah menghambat program pembangunan di desa,” kata Lucky.
Dana desa pertama kali bergulir pada tahun 2015. Sejak saat itu, total aliran dana desa dari pemerintah pusat yang masuk ke desa-desa di Maluku sebesar Rp 4,1 triliun. Di Maluku terdapat 1.198 desa yang tersebar di 11 kabupaten/kota.
Akan tetapi, kucuran dana itu tampak belum memberikan dampak berarti terhadap pertumbuhan ekonomi di banyak desa. Berdasarkan data Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa di Maluku, desa dengan status mandiri hanya 10, desa maju 84, dan desa berkembang 376. Adapun desa tertinggal sebanyak 580 dan desa sangat tertinggal sebanyak 145.
Bahkan, data Badan Pusat Statistik Maluku menunjukkan, sejak 2014 hingga 2019, penduduk miskin perdesaan malah bertambah 5.810 orang. Jumlah penduduk miskin di perdesaan 272.090 jiwa atau nyaris enam kali lipat dibandingkan dengan penduduk miskin di perkotaan yang tercatat 45.600 jiwa. Total penduduk miskin di Maluku 317.690 jiwa atau sekitar 17,69 persen, menempati urutan keempat provinsi termiskin di Indonesia.
Pendampingan
Ria Ngadja, pendamping desa di Kabupaten Seram Bagian Barat, mengatakan, salah satu kendala yang dihadapi dalam pengelolaan dana desa adalah sumber daya manusia di desa. Itu banyak ditemukan di desa-desa pedalaman.
Dana yang seharusnya lebih banyak digunakan untuk pemberdayaan ekonomi malah dipakai untuk pembangunan infrastruktur. Di banyak desa, dana tidak dioptimalkan dan tersimpan di rekening hingga masa anggaran berakhir.
Menurut Ria, yang juga pernah menjadi pendamping desa di Pulau Buru, banyak potensi ekonomi di desa, seperti pertanian dan perikanan, yang bisa dikelola dalam skema pemberdayaan dana desa melalui badan usaha milik desa (bumdes). Hingga saat ini, banyak desa belum memiliki bumdes. ”Ada kemauan mereka untuk maju. Mungkin butuh waktu lebih lama,” ujarnya.
Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Provinsi Maluku Benediktus Sarkol berharap, penegakan hukum terhadap kasus dana desa dijadikan alternatif terakhir. Aparat penegak hukum harus bijaksana jika mendapati adanya kejanggalan dalam penyalahgunaan dana desa.
”Jangan sampai penyalahgunaan itu akibat dari ketidaktahuan. Kalau bisa diselesaikan, jangan dibawa ke ranah hukum,” ujarnya.
Komnas HAM mendapat informasi terkait banyaknya oknum tertentu yang menakut-nakuti kepala desa di pedalaman. Mereka mencari-cari kesalahan kemudian meminta sejumlah uang sebagai tebusan. Kondisi itu membuat para kepala desa tidak berani mengelola dana desa. ”Kepala desa takut salah dan masuk penjara,” ucap Benediktus.