Kebijakan Pemprov DKI Jakarta mengakomodasi skuter pribadi untuk melintas di jalur sepeda belum memberi kepastian. Masih ada ketidaksepahaman antara aparat kepolisian dan Pemprov DKI dalam menyikapi keberadaan skuter.
Oleh
STEFANUS ATO/WISNU WARDHANA/ADITYA DIVERANTA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kebijakan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mengakomodasi skuter pribadi untuk melintas di jalur sepeda belum memberi kepastian bagi penggunanya. Situasi ini justru menimbulkan ketidaksepahaman antara aparat kepolisian dan Pemerintah Provinsi DKI dalam menyikapi keberadaan skuter di Ibu Kota.
Pengguna pun menunggu kejelasan dari segi regulasi agar skuter diakui di Ibu Kota. Pengamat hukum tata negara Agus Riewanto mengatakan, ada disharmoni antara Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dengan Peraturan Gubernur Nomor 128 Tahun 2019 tentang Penyediaan Lajur Sepeda. Situasi ini dinilai menjadi penyebab munculnya perbedaan pandangan antara Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan Polda Metro Jaya terkait keberadaan skuter.
”Ada disharmoni karena di Pergub dibolehkan skuter melewati jalur sepeda. Padahal, kalau pakai Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009, skuter itu diidentifikasikan sebagai bagian dari kendaraan bermotor,” kata Agus, Kamis (28/11/2019), saat dihubungi dari Jakarta.
Sebelumnya, Direktorat Lalu Lintas Polda Metro Jaya secara tegas mengatakan, skuter dan skuter listrik tidak boleh melintas di jalan raya, trotoar, dan jalur sepeda. Skuter hanya boleh melintas di kawasan yang telah mengantongi izin, seperti Stadion Utama Gelora Bung Karno Senayan, pusat perbelanjaan, dan perkantoran.
”Skuter tidak termasuk sepeda. Sambil menunggu regulasi yang dikeluarkan pemerintah, kami melakukan penindakan,” kata Direktur Lalu Lintas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Yusuf, Jumat (22/11/2019).
Sementara itu, Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta Syafrin Liputo menjelaskan, skuter pribadi yang digunakan sebagai moda transportasi perorangan diperbolehkan melintasi jalur sepeda, sedangkan skuter listrik dilarang beroperasi di jalan raya.
Namun, pengguna skuter yang diperbolehkan melintasi jalur sepeda wajib mengenakan helm, pelindung lutut atau siku, dan pakaian yang punya reflektor atau memantulkan cahaya di malam hari. Kecepatan pengguna skuter juga dibatasi maksimal 15 kilometer dan batas usia pengguna minimal 18 tahun.
Masih abu-abu
Agus menambahkan, kebijakan Polda Metro Jaya untuk tetap menindak pengguna skuter pribadi yang melintas di jalur sepeda karena polisi berpedoman pada Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009. Undang-undang itu juga kedudukannnya lebih tinggi dari pergub.
”Meski Pergub membolehkan skuter pribadi beroperasi, dari segi ketatanegaraan, ini tidak tepat. Maka, Pergub itu rujukannya harus pada UU,” katanya.
Agus mengakui, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 juga tidak secara jelas menyebutkan tentang keberadaan skuter. Moda ini hanya diidentifikasi mirip dengan kendaraan bermotor.
”Skuter ini masih abu-abu dalam pengertian dia ditempatkan sebagai sepeda juga tidak pas. Dia, kan, ada urusan listrik pada umumnya yang dikategorikan sebagai kendaraan bermotor,” kata Agus.
Meski Pergub membolehkan skuter pribadi beroperasi, dari segi ketatanegaraan, ini tidak tepat. Maka, Pergub itu rujukannya harus pada UU.
Keberadaan skuter yang masih abu-abu dari segi regulasi ini mendesak diatur. Sebab, keberadaannya yang berkaitan dengan kepentingan publik tidak hanya menjadi tanggung jawab gubernur.
Agus menilai, pemerintah selalu telat merespons perkembangan di masyarakat, termasuk keberadaan skuter yang kian menjamur di Ibu Kota. ”Ini sudah jadi masalah di masyarakat, tetapi aturan belum juga jelas,” katanya.
Wakil Sekretaris Jenderal Masyarakat Transportasi Indonesia Deddy Herlambang menyarankan agar regulasi sebaiknya tidak membatasi fungsi skuter listrik sebagai moda penyambung jarak pendek (first and last mile). Sebab, moda ini memiliki potensi untuk mereduksi penggunaan kendaraan pribadi.
Deddy menambahkan, Pemprov DKI Jakarta sebaiknya fokus mengatur regulasi pada batas kecepatan dan keamanan jalur skuter listrik. Kedua poin itu akan memperjelas hierarki pengguna skuter listrik di antara pesepeda dan pejalan kaki.
”Menurut saya, pengguna skuter listrik itu hierarkinya ada di antara pesepeda dan pejalan kaki. Mereka ini golongan yang rentan jika ditabrak kendaraan bermotor, jadi posisinya harus disetarakan dengan pesepeda,” ujarnya.