Lebih dari sebulan sejak UU KPK hasil revisi berlaku, kinerja KPK menghadapi tantangan yang tak ringan. Mulai muncul pesimisme pada efektivitas pemberantasan korupsi.
Oleh
Riana A Ibrahim
·4 menit baca
Sudah lebih dari satu bulan sejak Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi berlaku pada 17 Oktober 2019. Nyala pergerakan KPK perlahan meredup. Hanya pengembangan perkara yang perlu penyelesaian tetap berjalan. Pencegahan korupsi bahkan kini terkendala komitmen implementasi dari lembaga negara lain.
Pada Rabu (20/11/2019), tiga unsur pimpinan KPK, yakni Agus Rahardjo, Laode M Syarif, dan Saut Situmorang, atas nama individu sebagai warga negara mengajukan uji formil terhadap UU KPK hasil revisi ke Mahkamah Konstitusi. Meski begitu, mereka menaruh harapan Presiden Joko Widodo menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang terkait UU KPK.
KPK masih berupaya merampungkan perkara korupsi yang ditanganinya. Setidaknya sejak 18 Oktober-28 November 2019 ini, ada tiga tersangka baru yang ditetapkan terkait pengembangan perkara pengadaan ruang terbuka hijau di Pemerintah Kota Bandung tahun 2012 dan perkara suap terkait perizinan di Kabupaten Cirebon.
Program pencegahan juga masih dilakukan meski rekomendasi yang rutin diberikan KPK ke sejumlah instansi tak mendapat respons positif untuk ditindaklanjuti. Hal ini mencuat dalam Rapat Dengar Pendapat terakhir Komisi III dengan pimpinan KPK periode 2015-2019 pada Rabu (27/11).
Terkait penindakan, perubahan substansi UU KPK yang baru dikhawatirkan berdampak pada upaya penindakan ke depan.
”Kata Pak Alex (Alexander Marwata-Pimpinan KPK), ini (UU KPK baru) sama saja menjahit baju, tetapi tidak diukur. Jadi, tidak sesuai. Dan masak yang akan direvisi UU KPK, tetapi tak ada satu pun konsultasi atau selembar surat konsultasi pun kepada KPK. Misalnya, mau mengubah kejaksaan dan kepolisian, tetapi tanpa ngomong ke kepolisian dan kejaksaan. Mungkin tidak?” ujar Wakil Ketua KPK Laode M Syarif saat acara bincang Satu Meja bertajuk ”Perlawanan Terakhir KPK?” yang ditayangkan di Kompas TV pada Rabu (27/11) malam.
Dalam acara yang dipandu Wakil Pemimpin Umum Harian Kompas Budiman Tanuredjo itu, hadir pula ahli hukum tata negara Bivitri Susanti, peneliti Indonesia Corruption Watch Tama S Langkun, Wakil Ketua MPR sekaligus anggota Komisi III DPR Arsul Sani, politikus Partai Golkar Melki Lakalena, dan Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional Perhimpunan Advokat Indonesia (DPN Peradi) Luhut Pangaribuan.
Sindiran
Laode heran dengan sindiran dan pendapat anggota parlemen yang menganggap uji formil ke MK yang diajukannya bersama dua rekannya dinilai tak etis. ”Saat pembahasan, harusnya kami bersama pemerintah diikutkan, tetapi tidak ada. Kami menunggu seakan ada harapan mengeluarkan perppu. Lalu, kami ajukan uji materi, tetapi dibilang enggak etis. Padahal, ada pimpinan DPD dulu mengajukan, enggak dibilang enggak etis. Ini apa sih standar bapak-bapak ini?” tutur Laode.
Arsul menjawab pihaknya telah mengajak KPK membahas perubahan UU KPK pada 2016. Ia meminta publik untuk melihat dan membuktikan apakah kekhawatiran melemahnya KPK akibat UU baru akan terjadi. ”Ini, kan, nanti ada pimpinan baru juga. Kita lihat dulu. Kalau memang kemudian pimpinan baru merasa ada kesulitan dengan UU KPK ini, sebagai pembuat undang- undang terbuka untuk legislative review,” kata Arsul.
Sementara itu, menurut Luhut, pembentukan KPK dan upaya pemberantasan korupsi di negeri ini merupakan politik setengah hati dari pemerintah dan pembuat UU. Harapan dan landasan dalam pembentukan UU tidak sejalan sehingga mengakibatkan pemberantasan korupsi tidak optimal.
Jauh dari ideal
Bivitri mengatakan, kondisi KPK ke depan, setelah UU KPK hasil revisi dan pimpinan baru, jauh dari harapan ideal pemberantasan korupsi yang pernah berjalan di jalur yang tepat.
”Saat ini saja sudah mulai kelihatan. Apalagi setelah Desember dengan pimpinan kontroversial. Tahun depan, akan kita rasakan betul, pemberantasan korupsi akan sangat menurun. Masih ada kata penindakan dalam undang-undang, tetapi tidak akan efektif lagi,” tutur Bivitri yang juga disepakati oleh Tama.
Tidak hanya di Indonesia, upaya pemberantasan korupsi oleh lembaga antikorupsi di sejumlah negara juga kerap kali menghadapi tantangan. Di Hong Kong, Singapura, dan Malaysia, lembaga antikorupsi perlu puluhan tahun jatuh bangun membersihkan korupsi. Negara-negara itu Indeks Persepsi Korupsi-nya tergolong baik. Namun, keberadaan lembaga antikorupsi di negara tersebut memperoleh dukungan politik besar dari pemerintah dan elite.
Namun, ada pula negara-negara lain yang justru menghadapi tantangan dari elite.
Akan jadi seperti pemberantasan korupsi di Indonesia nantinya? Bagaimana pula nasib lembaga KPK yang pernah gagah melawan para koruptor? Setidaknya sejarah yang akan mencatat dan rakyat yang mengingat.