Kemenkum dan HAM ingin membuka peluang pembahasan ulang pasal bermasalah di RKUHP. RUU ini hampir dipastikan menjadi RUU prioritas yang akan dibahas di Prolegnas 2020.
Oleh
Agnes Theodora / Dhanang David
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia berencana membahas ulang substansi sejumlah pasal yang bermasalah di Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Namun, Dewan Perwakilan Rakyat belum mencapai kata sepakat terkait mekanisme pembahasan rancangan legislasi yang pada periode lalu menuai penolakan dari masyarakat tersebut.
Persoalan pembahasan RKUHP ini mengemuka dalam rapat kerja perdana antara Komisi III DPR dan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkum dan HAM) di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (28/11/2019).
Menkumham Yasonna Hamonangan Laoly mengatakan, ada beberapa substansi di RKUHP yang perlu dibahas ulang DPR dan pemerintah meski pasal-pasal bersangkutan pada masa jabatan DPR periode 2014-2019 sudah disepakati di tingkat komisi dan tinggal menunggu persetujuan akhir di tingkat rapat paripurna DPR.
Sebelumnya, RKUHP gagal disahkan dan ditunda karena adanya penolakan dari publik.
”Kemarin itu posisinya sudah di pembahasan tingkat pertama (komisi). Jadi memang harus menyiapkan diri kembali lagi satu tahap (ke belakang) untuk menyempurnakan beberapa hal yang berkembang di masyarakat,” kata Yasonna.
Pemerintah memetakan, ada 14 pasal dari total 628 pasal RKUHP yang dinilai bermasalah. Sementara, Aliansi Nasional Reformasi KUHP yang terdiri dari kelompok masyarakat sipil dan pemerhati hukum pidana memetakan, masih ada 24 poin yang bermasalah.
Beberapa pasal dinilai memberangus kebebasan berekspresi serta mengandung pasal karet yang penerapannya berpotensi diskriminatif. Terdapat pasal yang mengatur tentang hukum yang hidup di masyarakat secara tidak mendetail, hukuman mati, pengaturan makar, serta penghinaan presiden dan pemerintahan. Selain itu, terdapat pasal kesusilaan, penghinaan peradilan, dan tindak pidana khusus.
RKUHP dipastikan menjadi RUU prioritas yang akan dilanjutkan pembahasannya di Program Legislasi Nasional 2020. Baik pemerintah maupun DPR memasukkan RUU itu dalam daftar usulan prioritas mereka. Prolegnas direncanakan disusun dan disahkan pada pertengahan Desember 2019.
Belum satu suara
Hingga kemarin, DPR dan pemerintah belum satu suara soal mekanisme pembahasan RKUHP sebagai RUU yang diwariskan dari periode lalu (carry over) itu. Meski pemerintah meminta agar substansi pasal problematik dibahas ulang, opsi yang berkembang di internal Komisi III DPR adalah membatasi ruang perbaikan sebatas bagian penjelasan pasal tanpa perlu mengubah substansi.
”Sekarang masih ada dua pandangan di Komisi III, antara membahas ulang substansi atau sebatas mengubah bagian penjelasan. Masih sangat opsional, nanti dibicarakan dan disepakati bersama-sama,” kata anggota Komisi III dari Fraksi PDI-P, Masinton Pasaribu.
Anggota Komisi III dari Fraksi Partai Nasdem, Taufik Basari, menilai, sejumlah pasal multitafsir di RKUHP masih menimbulkan kontroversi di masyarakat. Untuk menghindari DPR dan pemerintah kembali dikritik publik, ia menyarankan pemerintah dan DPR menelusuri ulang pasal-pasal di RKUHP. Tidak hanya terbatas pada 14 pasal yang dinilai problematik, tetapi juga membuka ruang lebih luas untuk pasal lain.
Senada, anggota Komisi III dari Fraksi Demokrat, Benny K Harman, mengingatkan, mekanisme carry over dari periode lalu jangan sampai menutup pembahasan pasal-pasal bermasalah yang ada di RKUHP. Periode DPR yang berganti dengan anggota Dewan yang berbeda, menurut dia, harus dibarengi dengan ruang pembahasan yang kembali dibuka.
”Ada beberapa anggota DPR baru yang bisa memberi masukan tambahan terkait RKUHP. Selain itu, belum tentu anggota DPR yang lama masih memiliki pandangan yang sama dengan ketika ia menjabat sekarang. Jadi, perlu ada pembahasan lebih lanjut,” tuturnya.
Menurut Yasonna, dengan adanya mekanisme luncuran, DPR dan pemerintah bisa melanjutkan pembahasan RKUHP tanpa mengulang lagi pembahasan dari awal. Karena itu, hanya beberapa pasal yang kemungkinan dibahas untuk efisiensi waktu dan anggaran.
”Memang tidak bisa memuaskan semua orang ketika membuat undang-undang. Namun, aspirasi masyarakat soal persoalan ini tetap perlu ditampung,” katanya.