Tak Yakin dengan Integritas Komisioner Baru, Penasihat KPK Resmi Mundur
Penasihat Komisi Pemberantasan Korupsi, Tsani Annafari, resmi mengundurkan diri dari KPK pada Jumat (29/11/2019). Tsani menyatakan tak mau bekerja dengan pimpinan KPK yang diragukan integritasnya.
Oleh
sharon patricia
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penasihat Komisi Pemberantasan Korupsi, Tsani Annafari, resmi mengundurkan diri dari KPK pada Jumat (29/11/2019). Tsani menyatakan tak mau bekerja dengan pimpinan baru KPK yang diragukan integritasnya.
Meski demikian, Tsani berharap para pegawai KPK lain tetap melanjutkan tugasnya dalam memberantas korupsi. Masa bakti Tsani sebagai penasihat KPK seharusnya baru berakhir pada 6 Juli 2021. Namun, pada 13 September 2019, setelah DPR rampung menentukan lima komisioner KPK 2019-2023, Tsani menyatakan mengundurkan diri sebelum mereka dilantik pada 21 Desember 2019.
Tsani menegaskan, dirinya tidak mau menjadi kaki tangan atau melayani orang-orang yang tidak bisa diyakini integritasnya. Dia pun tidak yakin dengan agenda pemberantasan korupsi ke depan.
”Surat keputusan pemberhentian saya sudah ditandatangani. Ini adalah bagian dari realisasi yang sudah menjadi komitmen sehingga saya dengan lega menerima keputusan ini dan siap melaksanakan pemberhentian untuk bertugas kembali di Kementerian Keuangan,” kata Tsani saat berpamitan dengan para wartawan di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan.
Sebelumnya, Rabu (11/9/2019), Tsani Annafari sempat mendampingi Wakil Ketua KPK Saut Situmorang dan Juru Bicara KPK Febri Diansyah menggelar jumpa pers yang menyatakan Firli Bahuri, Ketua KPK terpilih periode 2019-2023, diduga melanggar etik saat menjabat Deputi Penindakan di KPK, 6 April 2018-20 Juni 2019.
Pelanggaran etik karena Firli bertemu dengan pihak yang beperkara dengan KPK. Ia juga pernah bertemu dengan salah satu ketua umum partai politik.
Dalam kesempatan ini, Tsani menyampaikan agar keputusannya tidak dianggap memprovokasi pegawai KPK lain untuk mundur. Malah, ia mendorong agar pegawai KPK lainnya tetap bekerja.
”Teman-teman di KPK tetaplah di sini, menjaga supaya api pemberantasan korupsi tidak padam. Walaupun hanya bagian kecil, katakanlah Anda kerikil, maka jadilah kerikil yang memastikan orang-orang berniat jahat kepada lembaga ini tidak leluasa melakukan pekerjaan mereka,” tutur Tsani.
Sementara bagi dua penasihat KPK lainnya, Budi Santoso dan Sarwono Sutikno, Tsani menyarankan, apabila mereka merasa dirugikan untuk mengajukan gugatan secara materiil lewat jalur perdata ataupun ke Mahkamah Konstitusi. Sebab, ada pengurangan masa jabatan dari empat tahun menjadi hanya dua tahun.
Pengurangan masa jabatan disebabkan jabatan penasihat KPK dihapus dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sebelumnya, penasihat diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK.
Dalam Pasal 23 UU KPK lama disebutkan, tim penasihat berfungsi memberikan nasihat dan pertimbangan sesuai dengan kepakarannya kepada Komisi Pemberantasan Korupsi dalam pelaksanaan tugas dan wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi. Namun, pasal ini kemudian dihapuskan.
”Kami (penasihat KPK) akan selesai bersamaan dengan lima komisioner KPK saat ini meski SK penasihat, kan, sebenarnya baru berakhir pada 2021. Jadi, nanti kami selesai bersamaan dengan pengangkatan dan pelantikan lima komisioner KPK dan lima anggota Dewan Pengawas,” ujar Budi Santoso saat dihubungi secara terpisah.
Budi pun menyatakan belum terpikir untuk mengajukan gugatan apa pun terkait keadaan ini. Ia memilih untuk kembali ke Yogyakarta dan menjadi dosen di Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia.
Independensi terancam
Juru Bicara KPK Febri Diansyah menyampaikan, bukan sekadar persoalan pengunduran diri pegawai KPK, melainkan aspek independensi dari para pegawai KPK ke depan jauh lebih mengkhawatirkan. Dengan status sebagai aparatur sipil negara (ASN), independensi KPK akan terancam.
Aturan ini terdapat dalam Pasal 24 Ayat (2) UU Nomor 19 Tahun 2019 yang menyatakan, Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi merupakan anggota korps Profesi Pegawai ASN Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
”Pertanyaan seriusnya, apakah KPK masih bisa bekerja secara independen kalau status pegawainya adalah ASN. Sebab, KPK tidak mungkin menangani kasus korupsi besar terkait dengan kekuasaan di eksekutif atau legislatif kalau para pegawainya tidak diberikan jaminan independensi,” kata Febri.
Misalnya, ketika memeriksa aktor high level seperti menteri, ketua DPR, anggota DPR, dan ketua instansi lainnya. Kalau pegawai KPK tidak independen, akan rentan untuk digeser, dipindah, bahkan diintervensi.
Harapannya, kata Febri, dalam masa transisi selama dua tahun ini para pegawai KPK dapat tetap independen menjalankan tugasnya. Termasuk proses seleksi pegawai KPK ke depan juga harus dipastikan bebas dari konflik kepentingan dan tetap mengutamakan integritas.