Tantangan untuk Citarum yang Tak Pernah Berhenti Datang
Pemulihan Sungai Citarum terus diuji. Fakta Sungai Cikeruh, anak sungai Citarum, yang dipadati sampah manusia jadi bukti tantangan yang seperti tak pernah berhenti datang.
Oleh
MACHRADIN WAHYUDI RITONGA
·4 menit baca
Pemulihan Sungai Citarum terus diuji. Fakta Sungai Cikeruh, anak Sungai Citarum, yang dipadati sampah manusia jadi bukti tantangan yang seperti tak pernah berhenti datang.
Badan Sungai Cikeruh di Kampung Sukarame, Desa Cileunyi Kulon, Kecamatan Cileunyi, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Kamis (28/11/2019), menjadi kolam sampah. Tumpukan ini tinggal menunggu aliran deras sungai dari hulu dan membawa jutaan material sampah menuju Sungai Citarum, sungai terpanjang di Jabar.
Sungai Cikeruh seperti kehilangan marwahnya. Kondisinya seperti tempat sampah raksasa ketimbang aliran sungai. Berbagai material, mulai dari plastik, kaca, patahan kayu menutupi badan sungai yang terhambat pintu air ini. Endapan lumpur sedimentasi merekah akibat tidak ada air yang mengalir.
Para petugas dari Satuan Tugas Citarum Harum pasrah. Mereka terpaksa membakar sampah-sampah tersebut karena tidak ada alat berat. Komandan Subsektor 02 Cileunyi-Cikeruh Satgas Citarum Harum, Sersan Mayor Bernando mengamati bakaran sampah bahkan hingga menyipitkan mata karena asap yang mengudara memedihkan mata dan hidung.
”Semua sampah harus dimusnahkan sebelum hujan datang lagi. Kalau tidak, sampah-sampah ini akan terbawa sampai ke Citarum,” tuturnya
Bernando mengerahkan 16 petugas dan sukarelawan sejak pukul 10.00. Mereka hendak memusnahkan sampah yang menutupi badan sungai seluas 25 meter x 10 meter ini. Namun, kedalaman sampah yang mencapai 1 meter ini menyulitkan mereka. Hingga pukul 15.00, baru separuh area yang terbakar.
Sampah tidak terkonsentrasi di pintu air saja. Tumpukan sampah terlihat di sepanjang pinggiran sungai. Menurut Bernando, pihaknya harus memusnahkan sampah-sampah ini secepat mungkin karena Sungai Cikeruh menjadi salah satu penyuplai air bagi Sungai Citarum.
Kondisi ini, tuturnya, adalah ancaman karena Citarum adalah sungai vital bagi masyarakat Jawa Barat dan Jabodetabek. Alasannya, aliran airnya digunakan untuk air baku dan irigasi.
Selama musim kemarau, sungai ini tidak dialiri air sehingga sampah-sampah yang berada di badan sungai tidak bergerak. Namun, pada Selasa (26/11) lalu, hujan deras membawa seluruh material dari hulu sungai di daerah Tanjungsari, Kabupaten Sumedang, hingga ke titik ini.
Bernando menuturkan, air yang mengalir sedalam lebih dari dua meter sehingga seluruh sampah terbawa ke hilir. Pada saat itu, pintu air di Kampung Sukarame tidak dibuka sehingga seluruh sampah menumpuk di lokasi tersebut.
“Air tergenang tidak sampai lebih dari sehari. Karena dua hari ini tidak turun hujan, jadi semuanya terserap atau menguap. Hanya tumpukan sampah ini yang tersisa. Kalau puncak musim hujan, kedalaman sungai pasti lebih dari dua meter. Lebih baik dibakar daripada pas hujan sampah-sampah ini terbawa ke Citarum,” ujarnya.
Luput pantauan
Bernando menuturkan, Sungai Cikeruh melewati kawasan padat penduduk di Kecamatan Rancaekek dan Kecamatan Cileunyi di Kabupaten Bandung. Jadi, tidak menutup kemungkinan sampah-sampah ini berasal dari warga kawasan tersebut yang sembarangan membuang sampah ke sungai.
”Kami sudah mengingatkan warga untuk lebih memperhatikan sungai dengan tidak membuang sampah. Namun, terkadang ada warga dari luar daerah yang membuang sampah diam-diam,” ujarnya.
Hal ini kembali membuktikan pencemaran Sungai Citarum bukan hanya karena limbah industri, kotoran ternak, atau tinja manusia, melainkan juga sampah. Berdasarkan data Balai Besar Wilayah Sungai Citarum, di wilayah Cekungan Bandung yang meliputi Kota Bandung, Kabupaten Bandung, Kabupaten Bandung Barat, Kabupaten Sumedang, dan Kota Cimahi, terdapat sampah organik-anorganik sekitar 20.462 ton per hari. Dari jumlah itu, sekitar 71 persen tidak terangkut hingga ke tempat pembuangan akhir sehingga berpotensi terbuang ke sungai.
Untuk Kota Bandung, rata-rata jumlah sampah 1.500 ton per hari. Lebih kurang 63 persen berupa sampah organik, seperti dari sisa makanan, kulit buah, buah-buahan busuk, dan sisa sayur-sayuran, yang dapat diolah menjadi pupuk organik cair ataupun dibuat kompos.
Kami sudah mengingatkan warga untuk lebih memperhatikan sungai dengan tidak membuang sampah. Namun, terkadang ada warga dari luar daerah yang membuang sampah diam-diam (Bernardo)
Lokasi pintu air ini pun luput dari pantauan petugas dan warga karena jauh dari permukiman penduduk. Lilis (28), warga Kampung Bugel Desa Tegalsumedang, Kecamatan Rancaekek, Kabupaten Bandung, bermukim kurang lebih 400 meter dari lokasi kolam sampah. Namun, dia mengaku tidak pernah memperhatikan lokasi karena jarang dilewati warga.
Lilis khawatir tumpukan sampah yang tidak secepatnya diatasi bisa memicu banjir di musim hujan bahkan penyakit. Karena itu, dia berharap tidak ada lagi warga yang membuang sampah di sungai. ”Kalau warga di sini sudah tidak ada yang buang sampah ke sungai. Paling tidak kami membakar sampah di pekarangan. Soalnya tidak ada petugas pengangkut sampah sampai ke daerah ini,” tuturnya.
Terhambatnya aliran sungai akibat penumpukan sampah ini dikhawatirkan Akuy (48), warga Kampung RW 002 Desa Bojongloa, Kecamatan Rancaekek. Meski rumahnya berjarak lebih dari lima kilometer dari kolam sampah, Akuy takut hal ini bakal memicu banjir di tempat tinggalnya.
”Di tempat saya, kalau musim hujan Sungai Cikeruh meluap sampai selutut. Makanya, kalau tertutup seperti ini saya khawatir lebih dalam lagi. Karena itu, kami berharap tidak ada lagi yang buang sampah ke sungai,” ujarnya.
Sampah-sampah jelas itu tak mungkin muncul begitu saja. Selalu ada manusia yang belum peduli. Jejak manusia yang beradab masih harus jadi perhatian saat Citarum dan anak sungainya masih saja dijadikan tempat sampah.