Kebakaran di DKI Jakarta menunjukkan peningkatan sepanjang 10 tahun terakhir. Penggunaan sambungan listrik dan rangkaian yang sesuai standar di permukiman menjadi faktor penting untuk mengurangi risiko kebakaran di Ibu Kota.
Kasus kebakaran per tahun di DKI Jakarta meningkat 111 persen dalam rentang waktu antara 2009-2018. Pada tahun 2009, ada 843 kasus kebakaran. Jumlah ini meningkat dua kali lipat dalam 10 tahun. Pada 2018, ada 1.751 kasus kebakaran yang harus ditangani. Dengan demikian, pada tahun lalu, ada lebih dari empat kebakaran dalam satu hari di wilayah Jakarta.
Sementara itu, dari Januari hingga 25 November 2019, setidaknya terjadi 1.981 kebakaran di DKI Jakarta. Artinya, peningkatan kejadian kebakaran semakin nyata, ada lebih banyak 230 kasus dibandingkan dengan tahun 2018. Dengan kata lain, risiko kebakaran yang dihadapi oleh warga Ibu Kota kian besar.
Fenomena ini harus diwaspadai, mengingat kebakaran membawa kerugian dan penderitaan besar. Selain rumah dan barang-barang hangus, kerap kali ada korban jiwa dan warga yang mengungsi.
Kebakaran yang menonjol terjadi tahun ini antara lain kebakaran di RW 005 Kelurahan Ancol, Pademangan, Jakarta Utara, 11 Mei 2019, yang melalap 450 bangunan di tiga rukun tetangga (RT). Sekitar 3.500 orang kehilangan tempat tinggal dan mengungsi. Adapun kebakaran di rumah yang sekaligus menjadi tempat usaha dekorasi di kawasan Pulo Mas II, Jakarta Timur, 11 November 2019, menyebabkan satu orang tewas.
Titik kritis
Berdasarkan data Dinas Pemadam Kebakaran Provinsi DKI Jakarta, sepanjang 2018, ada empat hal yang dapat dicermati terkait kebakaran, yaitu titik puncak kebakaran, obyek bencana, penyebab kebakaran, serta wilayah yang patut diwaspadai.
Untuk periode puncak kebakaran, rentang Agustus-Oktober merupakan periode dengan jumlah kebakaran paling banyak pada 2018. Sepertiga kejadian kebakaran di Ibu Kota terjadi pada periode tersebut.
Masifnya kebakaran pada periode tersebut bersamaan dengan puncak kemarau yang terjadi di Indonesia, yaitu Agustus-September 2018. Pada tahun ini, menurut prakiraan BMKG, puncak musim kemarau juga terjadi pada Agustus 2019. Dari 342 zona musim di Indonesia, 68 persen mengalami puncak musim kemarau pada Agustus 2019.
Dielaborasi lebih jauh, Oktober merupakan bulan dengan jumlah kebakaran paling banyak di Ibu Kota, mencapai 207 kasus. Kondisi ini sama dengan 10 tahun lalu. Pada 2009, jumlah kasus kebakaran yang terjadi di Oktober juga merupakan yang tertinggi. Dari 843 kejadian, 120 kasus di antaranya terjadi pada Oktober.
Secara demografis, Kota Administrasi Jakarta Timur merupakan wilayah yang terluas di antara kota-kota di Provinsi DKI Jakarta
Dilihat dari obyek bencana, permukiman merupakan kawasan paling banyak mengalami kebakaran pada tahun lalu. Nyaris seluruh (98 persen) kebakaran yang terjadi di DKI Jakarta tahun 2018 melanda rumah warga. Obyek lain di luar perumahan yang mengalami kebakaran adalah bangunan, instalasi luar gedung, tempat pembuangan akhir sampah, dan kendaraan bermotor.
Dilihat dari penyebabnya, arus listrik merupakan faktor dominan pemicu kebakaran. Sebanyak 60 persen kejadian kebakaran di Jakarta pada 2018 bersumber dari aliran listrik. Faktor penyebab lainnya adalah pembakaran sampah dan kebocoran gas. Lagi-lagi, hal yang sama juga menjadi penyebab kebakaran 10 tahun silam.
Analisis risiko
Dari sisi wilayah, Jakarta Timur merupakan daerah dengan risiko kebakaran yang tinggi. Pada 2009, terdapat 166 kebakaran di Jakarta Timur. Jumlahnya terus meningkat menjadi 453 kejadian pada 2018.
Dibandingkan dengan wilayah lain di DKI Jakarta, kasus kebakaran di Jakarta Timur merupakan yang tertinggi. Tahun lalu, seperempat kejadian kebakaran di Ibu Kota terjadi di Jakarta Timur. Awal tahun ini hingga 25 November 2019, Jakarta Timur masih menduduki posisi tertinggi dengan 412 kebakaran.
Penelitian dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) mengungkap tingginya potensi kebakaran di Jakarta Timur. Setidaknya terdapat tiga indikator yang menyebabkan tingginya angka risiko kebakaran di Jakarta Timur.
Pertama, frekuensi kebakaran. Selama lima tahun terakhir, kejadian kebakaran paling banyak berada di wilayah Jakarta Timur. Parameter berikutnya adalah durasi pemadaman. Pada periode 2014-2018, durasi pemadaman paling panjang terjadi di Jakarta Timur, yakni 113 jam 14 menit.
Analisis risiko kebakaran juga dilakukan pada tingkat kecamatan di DKI Jakarta. Secara berurutan, kecamatan paling berisiko mengalami kebakaran adalah Pulogadung, Duren Sawit, dan Cakung. Tiga kecamatan tersebut berada di wilayah Jakarta Timur.
Kecamatan Cakung merupakan wilayah dengan area kebakaran paling luas, yaitu 3.790 meter persegi. Adapun Kecamatan Pulogadung menjadi wilayah dengan jumlah bangunan permukiman yang paling banyak terbakar (128 bangunan permukiman). Terakhir, operasi pemadaman terlama berada di Duren Sawit dengan 25 jam 24 menit.
Secara demografis, Kota Administrasi Jakarta Timur merupakan wilayah yang terluas di antara kota-kota di Provinsi DKI Jakarta. Jakarta Timur juga memiliki penduduk yang paling banyak. Data Jakarta Timur dalam Angka 2018 mencatat, jumlah penduduk Jakarta Timur pada 2018 adalah 2.946.926 jiwa. Rata-rata tingkat kepadatan penduduknya cukup tinggi, yaitu 15.673 jiwa per kilometer persegi.
Padat penduduk
DKI Jakarta memiliki daya tarik bagi seluruh warga di luar Ibu Kota. Orang-orang pun berdatangan ke Jakarta untuk mencari pekerjaan. Sayangnya, permukiman di Jakarta merupakan wilayah yang rawan terjadi kebakaran.
Kombinasi antara kepadatan permukiman, bahan bangunan yang dipakai, hingga tingkat mitigasi pencegahan kebakaran yang rendah menjadi kombinasi membahayakan. Sebagai gambaran, Kelurahan Kalianyar di Kecamatan Tambora, Jakarta Barat, bertahun-tahun dikenal merupakan wilayah terpadat di DKI Jakarta.
Di kelurahan ini, kepadatan penduduk Kalianyar pada 2018 adalah 92.900 jiwa per kilometer persegi. Angka itu hampir enam kali lipat kepadatan Provinsi Jakarta. Ditinjau dari foto Google Street View, kondisi permukiman di Kalianyar sangat padat dan dibangun menggunakan material papan, seng, serta asbes. Kabel jaringan listrik tampak semrawut bergelantungan di atap penduduk.
Kondisi permukiman yang padat menimbulkan risiko kebakaran yang tinggi. Padatnya permukiman tak memberi ruang cukup bagi upaya pemadaman api karena kondisi gang amat sempit. Akses jalan yang sempit dan berliku juga menyulitkan evakuasi penghuni yang terluka.
Menekan risiko kebakaran tidak hanya menjadi tanggung jawab Pemprov DKI Jakarta, tetapi harus dibarengi kesadaran masyarakat. Perlu diupayakan berbagai penyelesaian mendasar agar kerawanan kebakaran tidak semakin mengancam warga Jakarta yang tinggal di pemukiman.
(Litbang Kompas)