Asia-Pasifik Memperkuat Kerja Sama untuk Kesetaraan Jender
Negara-negara di kawasan Asia dan Pasifik berkomitmen memperkuat kerja sama regional untuk mempercepat pencapaian kesetaraan jender dan pemberdayaan perempuan sesuai Agenda Pembangunan Berkelanjutan 2030.
Oleh
Yovita Arika dari Bangkok, Thailand
·4 menit baca
BANGKOK, KOMPAS — Negara-negara di kawasan Asia dan Pasifik berkomitmen memperkuat kerja sama regional untuk mempercepat pencapaian kesetaraan jender dan pemberdayaan perempuan sesuai Agenda Pembangunan Berkelanjutan 2030. Di bawah Komisi Ekonomi dan Sosial PBB untuk Asia dan Pasifik, koordinasi dan kemitraan antara negara diperkuat untuk mengintensifkan pelaksanaan Deklarasi dan Kerangka Aksi Beijing.
Para menteri dan pejabat tinggi dari 45 negara di Asia dan Pasifik mengadopsi Deklarasi Asia-Pasifik untuk Peningkatan Kesetaraan Jender dan Pemberdayaan Perempuan: Beijing+25 Review tersebut, Jumat (29/11/2019), setelah pertemuan dan negosiasi selama tiga hari dalam Konferensi Asia Pasific Regional Beijing+25 Review di Gedung PBB Regional Asia dan Pasifik di Bangkok. Konferensi ini diselenggarakan oleh Komisi Ekonomi dan Sosial PBB untuk Asia dan Pasifik (ESCAP) dan UN Women.
Selama 25 tahun pelaksanaan Deklarasi dan Kerangka Aksi Beijing, sejumlah kemajuan telah dicapai tetapi belum merata, dan lambat. Kesenjangan dalam pendidikan sudah dapat ditutup, angka kematian ibu juga jauh berkurang. Namun kemajuan di bidang-bidang lain tetap lambat dan tidak merata. Angka kekerasan terhadap perempuan masih tinggi, pun partisipasi perempuan di bidang ekonomi dan politik masih rendah.
Perubahan dan perkembangan yang cepat akhir-akhir ini, seperti disrupsi teknologi dan perubahan iklim, membuat tantangan untuk mencapai kesetaraan jender dan pemberdayaan perempuan semakin berat. Karena itu, pemerintah dengan dukungan para pemangku kepentingan terkait harus mengintensifkan tindakan tindakan untuk mewujudkan mewujudkan hak-hak perempuan dan kebebasan mendasar untuk masa depan yang setara.
“Saya senang negara-negara di wilayah Asia-Pasifik menyetujui deklarasi berwawasan ke depan yang ambisius untuk memperkuat komitmen kawasan untuk bertindak pada kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan ini,” kata Sekretaris Eksekutif ESCAP Armida Alisjahbana, dalam pidato penutupan konferensi tersebut.
Draf deklarasi yang merupakan resolusi untuk pelaksanaan Deklarasi dan Kerangka Aksi Beijing tersebut akan dibawa ke pertemuan global pada Maret 2020 di News York. Deklarasi dan Kerangka Aksi Beijing yang ditetapkan di Beijing pada 1995 merupakan landasan penting untuk upaya pemberdayaan perempuan dan anak perempuan di dunia.
Tantangan berat
Anita Bhatia, Wakil Direktur Esekutif UN Women, mengatakan, setiap negara agar merealisasikan deklarasi ini melalui aksi dan langkah strategis yang jelas untuk mencapai kesetaraan jender. “Tantangan semakin berat karena perubahan lingkungan dan disrupsi teknologi telah berdampak negatif pada hak dan kemampuan perempuan dan anak perempuan di seluruh dunia,” kata Anita dalam pidato penutupan konferensi.
Dalam deklarasi tersebut, pemerintah di masing-masing negara diminta melakukan tindakan-tindakan yang berdimensi menyeluruh dalam pembangunan yang adil dan inklusif untuk mencapai kesetaraan jender dan pemberdayaan perempuan.
Hal itu dimulai dari mengatasi kemiskinan; membebaskan perempuan dari kekerasan, stigma, stereotip, dan norma sosial yang negatif; partisipasi, dialog sosial, pertanggungjawaban lembaga nasional untuk kesetaraan jender dan pemberdayaan perempuan; mempercepat implementasi agenda perempuan, perdamaian dan keamanan; konservasi lingkungan, aksi iklim dan pembangunan ketahanan; memperkuat sistem statistik nasional yang responsif jender; hingga melibatkan semua pemangku kepentingan yang relevan.
Para peserta dari organisasi masyarakat sipil kecewa dengan deklarasi tersebut karena sejumlah hal penting tidak diakomodasi diakomodasi dalam deklarasi tersebut. Mereka minta ada pendekatan multidimensial untuk melaksanakan deklarasi tersebut. Mereka pun meneriakkan yel-yel "If Women Stop, The World Stops".
Para peserta dari organisasi masyarakat sipil kecewa dengan deklarasi tersebut karena sejumlah hal penting tidak diakomodasi diakomodasi dalam deklarasi tersebut.
Salah satu hal yang tidak diakomodasi dalam deklarasi tersebut penekanan pada penggunakan kata "krisis iklim", tidak sekadar perubahan iklim. Saat ini telah terjadi krisis iklim, dan yang paling terdampak dalam hal ini adalah perempuan.
“Kami berada di tengah krisis perubahan iklim. Kami menjadi pengungsi iklim dan Kepulauan kami tenggelam, namun pemerintah menolak untuk mengakui hal ini. Sebagai perempuan, minoritas seksual, disabilitas, dan identitas yang terpinggirkan lainnya, kita menghadapi beban terbesar dari krisis iklim setiap hari. Kami tidak dapat menunggu lima tahun lagi untuk memiliki komitmen dari pemerintah yang bertanggung jawab untuk mengakui situasi kritis ini,” kata Nalini Singh dari Forum Hak-Hak Perempuan Fiji.
Dino Anggara, Sekretaris Ketiga Kedutaan Besar RI di Bangkok, seusai konferensi mengatakan, klausul soal krisis iklim tidak diterima oleh negara peninjau yang mempunyai hak veto. “Alasannya istilah krisis iklim belum dipakai dalam COP (Konferensi Perubahan Iklim),” kata Dino Anggara, Sekretaris Ketiga Kedutaan Besar RI di Bangkok seusai konferensi.
Hal lain, terkait aborsi yang aman bagi perempuan juga tidak diakomodasi dalam deklarasi tersebut. Ketentuan tentang aborsi yang aman ini diserahkan kepada kebijakan masing-masing negara. Dalam hal ini, Indonesia telah memiliki Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2019 tentang Kesehatan yang menyebutkan bahwa larangan aborsi kecualikan untuk kedaruratan medis dan untuk korban perkosaan.
Rita Serena Kalibonso, Koordinator Gerakan Perempuan Peduli Indonesia, berharap hal-hal yang belum disepakati dalam deklarasi tersebut menjadi perhatian dan diangkat dalam pembahasan di tingkat global nanti.