Jika ingin mengubah nasib, tinggalkan kampung halaman dan merantaulah. Pesan ini menjadi salah satu yang menggerakkan fenomena migrasi. Kini makin banyak orang ingin pindah ke negara lain demi hidup lebih baik.
Oleh
Elok Dyah Messwati
·5 menit baca
Awalnya Benz Satrio Utomo (28), warga Bogor, Jawa Barat, masuk ke Australia dengan menggunakan Working Holiday Visa (WHV) yang diberikan Kedutaan Australia di Jakarta untuk anak-anak muda Indonesia berusia 18-30 tahun. Dengan WHV itu, Benz bisa bekerja casual dan jalan-jalan keliling Australia. Contoh bekerja casual ini antara lain pencuci piring, penyapu, membersihkan dapur restoran, pelayan restoran, juru masak, serta memetik dan membungkus buah di perkebunan.
Benz adalah satu dari ribuan anak muda Indonesia yang bermigrasi ke Australia sejak WHV diberlakukan pada 2010. Selain untuk lebih mengenal Australia yang berbeda kebudayaan dan bahasanya, pemohon aplikasi WHV biasanya memiliki motivasi untuk bisa menabung. Tabungan itu entah untuk melanjutkan kuliah di Australia ataupun untuk mengumpulkan modal guna membuka usaha di Indonesia.
”Motivasi saya ke Australia karena saya dulu waktu SD pernah tinggal di Australia. Lalu ketika kuliah tata boga di Indonesia, saya cek web imigrasi Australia dan ada program WHV. Saya ambil program itu,” kata Benz yang sedang berlibur di Hobart, Tasmania, saat dihubungi pada pekan ini.
Setelah program WHV berakhir, Benz melanjutkan kuliah di Sydney. ”Motivasi saya kuliah di Australia karena saya mau ambil permanent residency, salah satu syarat dapat poin migrasi adalah dengan kuliah di Australia. Saya kuliah masak lagi di Sydney,” katanya.
Kadang kerja 30 jam seminggu, kadang 60 jam seminggu, tergantung apakah ingin jalan-jalan atau tidak.
Kini Benz sudah lulus dari dua program kuliah: Certificate 3 Cookery and Diploma of Hospitality dari Evolution Hospitality Institute dan Certificate 4 Cookery dari Apex Institute of Education di Sydney. Seusai lulus kuliah, ia memilih bekerja di Australia.
Dia tak berkeinginan pulang ke Indonesia—setidaknya—saat ini. Menurut Benz, penghasilan bekerja di Sydney lumayan tinggi. Selain itu, jam kerjanya fleksibel sehingga dia bisa menyeimbangkan waktu bekerja dan aktivitas hidup lainnya daripada jika dia bekerja di Indonesia. ”Kadang kerja 30 jam seminggu, kadang 60 jam seminggu, tergantung apakah ingin jalan-jalan atau tidak,” katanya.
Rata-rata penghasilan bekerja di Sydney pada hari-hari kerja adalah 25 dollar Australia atau Rp 250.000 per jam, hari Sabtu 30 dollar Australia atau Rp 300.000 per jam, hari Minggu 42 dollar Australia atau Rp 420.000 per jam. Bekerja pada hari libur nasional bisa menghasilkan 58 dollar Australia atau Rp 580.000 per jam. ”Kalau saya bekerja di Jakarta, mungkin akan mendapat maksimal Rp 10 juta per bulan untuk level saya sekarang ini dan harus kerja enam hari seminggu,” kata Benz.
Berdasarkan data Bank Dunia yang dikutip The Economist (16-22 November 2019), migran yang hijrah dari negara berpendapatan rendah ke negara berpenghasilan lebih tinggi umumnya memetik penghasilan tiga hingga enam kali lipat lebih besar daripada di negara asalnya. ”Negara-negara kaya punya institusi-institusi dan aturan hukum lebih baik, pasar kapital efisien, dan perusahaan-perusahaan modern,” tulis The Economist.
Kumpul antarmigran
Tentu ada harga yang harus dibayar seorang migran saat pindah ke negara lain, dan harga terbesarnya adalah lebih bersifat emosional. Sang migran harus berpisah dari keluarga dan kebudayaan asal. Meski begitu, selalu ada cara mengatasi masalah tersebut.
Untuk memupus rasa kangen pada keluarga dan teman-teman di Indonesia, misalnya, Benz bergabung dengan komunitas CouchSurfing (CS). Ia kadang-kadang ikut dalam pertemuan bulanan CS di Sydney. Pertemuan bulanan CS juga digelar di ratusan kota di seluruh dunia. Tak hanya membuka rumah untuk diinapi gratis oleh pelancong dari sejumlah negara, anggota CS di satu kota pun rutin menggelar pertemuan bulanan agar saling mengenal, terutama antarmigran yang berpindah negara.
”Saya kadang hangout dengan teman kerja yang juga imigran dan teman-teman
foodie, penggemar makanan. Sekarang saya juga sering kumpul dengan sesama imigran dari Indonesia yang tiba di Australia bersamaan dengan saya,” kata Benz.
Hal yang sama juga dilakukan Dwi Retno Indriati (33). Indri, sapaan akrabnya, juga menjalin pertemanan dengan warga lokal atau sesama imigran di Darwin, Australia utara, agar makin kerasan tinggal di ”Negeri Kanguru” tersebut.
Ia pertama kali menginjakkan kaki ke Australia untuk jalan-jalan selama satu bulan pada 2011. Di Darwin, ia berkenalan dengan sesama warga negara Indonesia yang menikah dengan warga Australia. Sejak itu Indri sering mengunjunginya hampir setiap tahun. Selain ke Darwin, ia bepergian ke sejumlah kota, seperti Sydney, Melbourne, Brisbane, dan Goldcoast.
Tak cuma jalan-jalan, Indri juga pernah kuliah di International College of Advance Education Certificate IV jurusan Hospitality Management pada 2014. Namun, kuliahnya tak tamat karena sibuk bekerja. Kini dia bekerja di Coffee Club di Palmerstone, Darwin.
Migrasi merupakan salah satu jalan untuk mengubah nasib dan keadaan.
Sembari bekerja, kini Indri kembali kuliah di universitas yang sama dan mengambil jurusan Commercial Cookery. ”Tinggal jauh dari keluarga membuat saya kadang merasa homesick dan kangen masakan rumah,” katanya.
Untuk mengatasi kebosanannya, Indri bersama teman kuliahnya piknik ke Berry Spring atau Litchfield National Park, sekitar 116 kilometer dari Darwin. Dengan teman warga Australia, mereka biasanya hangout di sekitar Darwin atau mengadakan pesta di rumah pada akhir pekan. Mereka memasak bersama atau masing- masing membawa makanan dan minuman untuk disantap bersama.
Migrasi merupakan salah satu jalan untuk mengubah nasib dan keadaan. Bukan hanya bagi migran, melainkan juga bagi kota tujuan migrasi.
Kekuatan migrasi
Silicon Valley di San Francisco, Amerika Serikat, tak akan berkembang tanpa insinyur-insinyur dari berbagai penjuru dunia. Industri keuangan di London tak bisa hidup tanpa akuntan-akuntan dari Italia, India, dan Indiana. Imigran atau anak keturunan mereka adalah para pendiri 45 persen perusahaan-perusahaan dalam daftar 500 perusahaan termakmur dunia di AS.
Jika kebijakan bermigrasi dipermudah, kata Michael Clemens dari Center for Global Development, penulis buku yang akan terbit, The Walls of Nations, yang dikutip The Economist, produk domestik bruto global akan berlipat ganda. Perserikatan Bangsa-Bangsa memperkirakan, 270 juta orang tinggal di luar negara tempat mereka dilahirkan (90 persen di antaranya migran ekonomi dan sisanya kebanyakan pengungsi). Jumlah itu 3,5 persen dari total populasi dunia.
Jajak pendapat Gallup menunjukkan, 750 juta orang—15 persen dari populasi dewasa dunia—ingin menetap secara permanen di luar negeri. Secara global, semakin banyak orang yang ingin pindah ke negara lain untuk hidup yang lebih baik. Apa pun mereka tempuh untuk meraih kehidupan yang lebih baik itu.
Secara fisik, sekarang orang menjadi lebih mudah untuk berpindah ke negara lain. Namun, secara birokratis kini jauh lebih sulit untuk bermigrasi secara legal dari negara miskin ke negara kaya akibat kebijakan-kebijakan anti-imigran yang cenderung meningkat akhir- akhir ini.