Teror dan intoleransi di Indonesia termasuk Sumatera Utara, masih akan terus berulang selama warga belum bersatu untuk mencegahnya.
Oleh
Pandu Wiyoga
·4 menit baca
Bom bunuh diri di Markas Polrestabes Medan, Rabu (13/11/2019), menambah panjang sejarah teror di Sumatera Utara, sejak Darul Islam sampai Jamaah Islamiyah, lalu sekarang Jamaah Ansharut Daulah. Teror masih akan terus berulang selama warga Sumut belum bersatu untuk mencegahnya.
Aksi teror di Sumut pertama kali dilakukan Komando Jihad yang merupakan sel baru Darul Islam (DI) di Medan. Pemimpinnya, Timzar Zubil, dijatuhi hukuman mati oleh Pengadilan Negeri Medan karena melakukan peledakan bom di Padang dan Medan antara 1971 dan 1977 (Kompas, 16/10/1985).
Setelah itu muncul Jamaah Imran yang memiliki tujuan sama dengan DI, yaitu mendirikan negara Islam. Pemimpinnya Imran bin Muhammad Zein yang berasal dari Medan. Mereka melakukan dua aksi teror pada 1981; menyerang pos polisi di Cicendo, Bandung; serta membajak pesawat Garuda DC-9 Woyla.
”Penyerangan pos polisi di Cicendo itulah aksi teror pertama di Indonesia yang menarget aparat,” kata Khairul Ghazali, Kamis (21/11/2019).
Ghazali merupakan mantan teroris yang terlibat penyerangan Bank CIMB Niaga dan Markas Polsek Hamparan Perak, Deli Serdang, Sumut, pada 2010. Menurut dia, perubahan tren serangan teroris di Indonesia sering kali berawal dari teror di Sumut atau teror yang pelakunya berasal dari Sumut.
Tahun 2000, bom diledakkan di Medan, tepatnya di Gereja Kristen Protestan Indonesia Padangbulan. Teror itu merupakan bagian dari peledakan bom di 22 gereja di 10 kota Indonesia, mulai dari Medan hingga Mataram, Nusa Tenggara Barat. Peristiwa itu menelan 16 korban jiwa.
Penyerangan pos polisi di Cicendo itulah aksi teror pertama di Indonesia yang menarget aparat.
Bom Natal pada 2000 itu menandai pergantian orientasi jihad dari sebelumnya menyasar musuh jauh, Amerika Serikat, dan sekutunya, kini menjadi melawan ”musuh” yang dianggap dekat, yaitu negara dan gereja. Itulah proyek serangan bom Jamaah Islamiyah (JI) pertama kali di Indonesia (Kompas, 14/11/2019).
”Sumut menyimpan sejarah hitam terorisme, artinya (radikalisme) subur di sini,” ujar Ghazali. Setelah bom Natal tahun 2000, sejumlah teror kembali mengguncang Sumut. Tiga karyawan Bank Lippo Medan tewas ditembak anggota JI pada 2003. Tujuh tahun berselang, giliran Bank CIMB Niaga Medan dan Mapolsek Hamparan Perak diserang sel JAD. Peristiwa di dua lokasi itu menewaskan empat polisi.
Disangkal
Keberadaan kelompok radikal di Sumut masih saja disangkal sejumlah kalangan. Aksi teror ataupun penangkapan pelaku dianggap sebagai pengalihan isu. Sikap tak acuh itu, tanpa sadar, telah membuka ruang bagi radikalisme serta terorisme untuk tumbuh subur.
Sebelumnya, Kepala Polda Sumut Inspektur Jenderal Agus Andrianto mengatakan, selama ini penangkapan terduga teroris di Sumut selalu dianggap sebagai pengalihan isu. Hal ini juga terjadi ketika polisi menangkap tiga terduga teroris sebelum pelantikan presiden dan wakil presiden terpilih.
”Tidak ada untungnya kita mengalihkan isu. Mereka benar-benar ada di sekitar kita,” katanya, Jumat (15/11/2019). Melihat hal itu, Pendiri Yayasan Lingkar Perdamaian Ali Fauzi merasa pesimistis pencegahan dan penanganan kelompok radikal dapat berhasil. Sikap masyarakat yang apatis terhadap isu radikalisme dan terorisme tidak hanya terjadi di Sumut, tetapi hampir merata di seluruh wilayah Indonesia.
”Hal ini sangat menguntungkan teroris. Mereka memang menginginkan salah paham di antara masyarakat,” ujarnya. Ajaran atau gerakan yang mengarah kepada radikalisme dan terorisme bisa dibaca ketika mulai ada upaya mengarahkan pengikut untuk membenci negara. Kelompok yang berikrar setia kepada pemimpin Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS), misalnya, menganggap negara sebagai dar al-kufr atau wilayah kafir.
Penanganan itu tanggung jawab aparat, tetapi soal pencegahan itu tanggung jawab kita semua.
Ali Fauzi merupakan adik kandung pelaku bom Bali Amrozi dan Ali Imron. Ia adalah perakit bom dalam sejumlah aksi teror di Indonesia, Filipina, dan Suriah. Dari pengalaman melakukan aksi teror di sejumlah negara itu, ia tahu paham radikal bakal lebih mudah masuk di negara dengan masyarakat yang terbelah.
Menurut dia, yang terpenting saat ini adalah masyarakat harus bersatu untuk membangun imunitas agar sadar terhadap segala upaya penetrasi paham radikal. ”Penanganan itu tanggung jawab aparat, tetapi soal pencegahan itu tanggung jawab kita semua,” ucapnya.
Sejarah menunjukkan, kelompok radikal tak pernah surut menebar ketakutan di Sumut. Sayangnya, hal itu pun belum bisa memantik kesadaran kolektif tentang bahaya terorisme. Selama aksi teror masih dianggap sekadar isapan jempol ataupun pengalihan isu belaka, jejak teror masih akan bertambah panjang.