HIMKI : Sejumlah Regulasi Hambat Pengembangan Industri Mebel
Pemerintah diminta mengkaji ulang sejumlah regulasi yang menghambat investasi di bidang industri mebel. Potensi pengembangan industri mebel besar karena bahan baku dan tenaga kerja yang melimpah di Indonesia.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·4 menit baca
HO CHI MINH CITY, KOMPAS--Pemerintah diminta mengkaji ulang sejumlah regulasi yang menghambat investasi di bidang industri mebel. Industri ini berpotensi berkembang di tanah air lantaran Indonesia memiliki kelebihan baik dari sisi sumber daya alam maupun ketersediaan tenaga kerja.
Sekretaris Jenderal Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (HIMKI), Abdul Sobur Jumat (29/11/2019) menuturkan, setelah melakukan kunjungan di Vietnam, pihaknya sudah memetakan sejumlah regulasi yang perlu dikaji kembali. Regulasi itu antara lain Sistem Verifikasi dan Legalitas Kayu (SVLK).
SVLK adalah salah satu syarat agar produk kayu dapat diekspor. Di lapangan, untuk mendapatkan SVLK pengusaha mebel harus memenuhi 60 item persyaratan agar produk mebel dapat diekspor. Padahal pembuatan SVLK sudah dilakukan di tingkat hulu.
Pembuatan SVLK memberatkan para pengusaha terutama tingkat kecil karena audit harus dilakukan dua kali setahun dengan mengeluarkan biaya sekitar Rp 20 juta-25 juta per dua tahun. "SVLK hanyalah secarik kertas yang lebih penting adalah penegakan hukum," ungkap Sobur seperti dilaporkan Wartawan Kompas Rhama Purna Jati dari Ho Chi Minh City, Vietnam.
Peraturan lain yang perlu dikaji adalah Undang-undang No 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan. Undang-undang ini perlu direvisi karena ada sejumlah aturan yang memberatkan pengusaha. Jika dibandingkan upah perkerja per tahun, upah yang diberikan untuk pekerja di Indonesia 73 persen lebih mahal dibanding Vietnam.
Belum lagi, pungutan bagi tenaga kerja asing sebesar 2.500 dolar AS per tahun. Berbeda dengan Vietnam yang hanya mewajibkan pajak bagi tenaga kerja asing sebesar 250 dolar untuk 2 tahun masa kerja. Padahal, ungkap Abdul, potensi Indonesia untuk menjadi penghasil mebel terkemuka di dunia cukup besar. Bahkan, bisa mengalahkan Vietnam.
Indonesia memiliki potensi bahan baku yang cukup besar dibanding Vietnam. Sebagai negara dengan luas hutan tropis terbesar nomor tiga di dunia, ketersediaan bahan baku baik kayu solid maupun rotan cukup memadai. Sampai saat ini, HIMKI mencatat, luas hutan produksi di Indonesia mencapai 84,5 juta hektar.
Potensi produksi mebel di Indonesia bisa mencapai nilai 20 miliar AS.
Selain itu, ketersediaan tenaga kerja juga jauh melimpah dibanding dengan jumlah usia produktif mencapai 140 juta orang. Bandingkan dengan Vietnam yang hanya memiliki sekitar 110 juta orang usia produktif.
Kalau dikalkulasi, ungkap Abdul, potensi produksi mebel di Indonesia bisa mencapai nilai 20 miliar AS. Nyatanya, saat ini produksi mebel Indonesia hanya 3 miliar dolar AS dengan nilai ekspor hanya 1,8 miliar dolar AS.
Dengan jumlah area hutan produksi dan jumlah tenaga kerja produktif yang lebih rendah dari Indonesia, Vietnam mampu menghasilkan nilai produksi mebel yang signifikan. Pertumbuhan produksi mebel di Vietnam mencapai 38,70 persen dalam tiga tahun terakhir.
Saat ini, nilai ekspor mebel Vietnam mencapai 11 miliar dolar AS dan merupakan yang terbesar di Asia Tenggara. Bahkan, tahun 2020, Vietnam menargetkan nilai ekspor hingga 13 miliar dolar AS.
Ekspor mebel Indonesia hanya tumbuh 4 persen setiap tahunnya. Ekspor mebel di Vietnam bisa tumbuh hingga 13 persen per tahun. "Bahkan pada rentan tahun 2016-2017, produksi mebel Indonesia turun lantaran empat perusahaan mebel besar memutuskan untuk memindahkan investasinya dari Indonesia ke Vietnam," katanya.
Sebelumnya, Lawrence MD Yen Presiden Woodworth International Corporation mengatakan, Indonesia memiliki beragam keunggulan dibanding Vietnam. Misalnya saja terkait ketersediaan bahan baku. Saat ini dirinya harus mengimpor dari beberapa negara untuk memenuhi kebutuhan pasar.
Indonesia juga memiliki sumber daya manusia yang sangat melimpah dibanding Vietnam. "Kami harus bersaing dengan perusahaan lain untuk mendapatkan pekerja," katanya.
Lawrence menilai jika pemerintah Indonesia tidak segera mengkaji kembali regulasi terkait ketenagakerjaan, ekspor-impor, serta mengendalikan kenaikan harga tanah di wilayahnya, akan sulit investor mau menanamkan modalnya di Indonesia.
Lawrence sendiri pernah menanamkan investasi di Indonesia pada tahun 2012 di Jawa Timur sebesar Rp 500 miliar, namun 3,5 tahun berselang dirinya memutuskan untuk memindahkan pabrik ke Vietnam dengan nilai Rp 700 miliar, karena ongkos produksinya jauh lebih murah dibandingkan Indonesia.
Konsul Jenderal Indonesia di Ho Chi Minh City, Vietnam Hanif Salim mengatakan, ada beragam kemudahan yang ditawarkan Vietnam untuk mengundang para investor masuk ke wilayahnya. Kemudahan itu seperti adanya insentif investasi tarif pajak penghasilan sebesar 10-20 persen dengan jangka waktu 10 sampai sepanjang waktu operasi.
Selain itu, ada juga pembebasan pajak impor untuk beberapa item barang, serta sejumlah insentif investasi pembebasan sewa tanah. Belum lagi adanya perjanjian perdagangan bebas dengan sejumlah negara. Hal yang paling penting adalah kestabilan politik karena tidak adanya oposisi di negara ini.
Direktur Jenderal Industri Agro Kementerian Perindustrian Abdul Rochim mengatakan, komitmen Presiden untuk membenahi industri mebel di Indonesia sangat besar. Hal ini terbukti dari diadakannya rapat terbatas terkait industri mebel hingga dua kali.
Tidak hanya itu, pemerintah juga berupaya untuk menarik kembali sejumlah investor yang sempat merelokasi pabriknya. Bahkan, tahun ini, sudah ada upaya mengundang sejumlah investor untuk masuk ke Indonesia.
Untuk industri mebel pihaknya menargetkan sejumlah negara potensial seperti China. "Kami berharap tahun depan, nilai investasi dan produksi mebel dapat meningkat setidaknya 3 miliar dolar AS,"katanya.