Lewat mode, Bandung terus merentang zaman. Dibumbui kreativitas tiada henti, perjalanannya meninggalkan jejak kolektif kota yang selalu berwarna.
Oleh
Machradin Wahyudi Ritonga/Cornelius Helmy
·4 menit baca
Di antara labirin gang di kawasan Cibeunying Kaler, Kota Bandung, puluhan rumah tak hanya jadi tempat tinggal. Dibangun dengan napas kreativitas, rumah di kampung sablon Muararajeun berfungsi jadi tempat menyambung hidup manusianya. Tuti Iriany Gumay (53), misalnya, sejak tiga tahun lalu menggeluti bisnis pengepakan kaus. Selain menyetrika kaus yang diproduksi tetangganya, ia juga memeriksa kualitas benang dan jahitannya.
Mata dan tangannya piawai. Rabu (30/10/2019) siang, ia mengamati untaian benang yang keluar dari jahitan kaus-kaus kuning. Dengan teliti, dia menggunting benang-benang itu sembari menyisir semua sisi jahitan di kaus. Selanjutnya kaus disetrika dan dimasukkan ke wadah pengemasan. Dalam sehari, ia bisa mengepak hingga 120 kaus. Untuk pakaian lain seperti kemeja dan jaket, Tuti bisa mengepak hingga 80 helai per hari. Ia mematok biaya Rp 1.500 per kaus dan Rp 2.250 untuk sehelai kemeja.
Salah seorang penggagas kampung sablon Muararajeun, Ibrahim Subagio (53), mengatakan, kebersamaan itu dimulai sejak 2002. Di tengah keterbatasan infrastruktur, warga terbiasa bersama-sama memenuhi permintaan konsumen. Muararajeun pun berhasil membangun citra sebagai produsen kaus. Bahkan, kaus produksi Muararajeun melanglang buana ke Malaysia, Brunei Darussalam, Timor Leste, Australia, hingga Jerman.
Sekarang, tercatat 70 orang di Muararajeun bekerja di sektor ini. Lebih dari 300 kaus dibuat warga setiap hari. Ibu rumah tangga juga diberdayakan dengan mayoritas bekerja di bagian cek akhir dan pengepakan. Tuti salah satunya.
Sejak 1920
Muararajeun bukan yang pertama. Kerja bersama membangun citra kota mode sudah dilakukan sejak lama di Bandung. Muncul guna memanjakan keinginan tampil modis pemilik perkebunan (preanger planters), keberadaan Jalan Braga menjadi rumah bagi toko-toko produk mode ternama sejak 1920-an.
Salah satu yang terkenal adalah Toko Au Bon Marche. Tak seperti namanya yang berarti belanja murah, produk yang ditawarkan berharga selangit. Ridwan Hutagalung dan Taufanny Nugraha dalam Braga, Jantung Parijs van Java mengatakan, pakaiannya kelas satu dari Eropa, salah satunya Paris, Perancis.
Selain itu, ada juga NV Onderling Belang, yang menjual pakaian asal Amsterdam, hingga Kelleer’s Kleiding Modemagajizn, penjahit dan toko mode ternama saat itu. Sebagai pusat belanja elite pertama di Bandung, Braga memberikan identitas kuat, bahkan hingga kini.
Saat celana berbahan jins mulai populer, kawasan Cihampelas mewakili Bandung menjajakan produk itu.
”Bisa saja Bandung dikenal sebagai kota mode dari julukan ’Parijs van Java’ karena aktivitas jual-beli pakaian yang terkonsentrasi di Jalan Braga, Jalan Merdeka, dan kawasan Dago,” ujarnya. Beranjak ke era pasca-kemerdekaan, setelah toko-toko itu gulung tikar, Bandung tak kehilangan aura. Sekitar tahun 1950-an, Bandung dikenal dengan tren sandal kelom dan payung geulis. Banyak dibuat di Tasikmalaya, produk itu dijual di Bandung.
Di era ini juga dibangun pabrik-pabrik tekstil dan garmen di kawasan Majalaya, dekat Bandung. Saat Majalaya menyediakan beragam bahan tekstil, Bandung menjadi tempat memasarkan produk-produk jadinya, seperti kebaya. Bahkan, stereotip gadis cantik zaman itu kerap diidentikkan berbaju kebaya, memakai kelom dan payung geulis. ”Di akhir era 1990-an, Bandung terus berkembang. Saat celana berbahan jins mulai populer, kawasan Cihampelas mewakili Bandung menjajakan produk itu,” katanya.
Keberadaan akses tol Bandung-Jakarta pada 2005 semakin mendongkrak bisnis itu. Lewat kunjungan wisatawan yang kian mudah, kaus produksi Bandung kian dikenal. Proses produksinya diwarnai kreativitas dan kemandirian anak muda serta harga miring. Desain dibuat sendiri dengan jumlah terbatas menjadi perlawanan atas produk tekstil luar negeri yang kian mahal.
Ade Andriansyah, Ketua Kreative Independent Clothing Kommunity, komunitas clothing Kota Bandung, menuturkan, kaus relatif mudah diterima semua kalangan. Padu padan dengan produk lain pun tak sulit. Kini, ada ratusan produsen clothing. ”Hubungan antara Bandung dan kaus sulit dipisahkan. Cari kaus bagus, ya, di Bandung,” ucapnya.
Promosi kaus produksi Bandung juga rutin digelar lewat ajang bazar Kickfest, festival bazar clothing (produk tekstil merek sendiri, sebagian besar kaus). Tahun ini merupakan ajang ke-13, digelar 1-4 November lalu. Ada 100 produsen clothing ikut andil dengan harga kaus dibanderol Rp 70.000-Rp 150.000 per helai.
Hendra (19), pengunjung Kickfest, lebih suka memilih kaus dengan melihat bahan dan karakter desain yang sesuai dengan seleranya. ”Saya tidak melihat pakaian dari merek. Terkadang merek yang sudah terkenal harganya terlalu tinggi. Padahal, ada kaus dengan kualitas bahan yang lebih bagus dengan harga yang lebih terjangkau,” tuturnya.
Di ”Kota Kembang” ini, beragam jenis mode selalu mendapat tempat. Tak hanya memuaskan para konsumen, tapi juga jadi identitas kreativitas kota atas nama cinta dan gaya.