Dana Bantuan Besar, Jabatan Kepala Desa Diperebutkan
Jabatan kepala desa semakin menarik sejak program dana desa digulirkan pemerintah pusat tahun 2015. Di Maluku, perebutan jabatan kepala desa dikhawatirkan merusak tatanan budaya, persaudaraan, dan kearifan lokal.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·4 menit baca
AMBON, KOMPAS - Jabatan kepala desa dinilai semakin menarik sejak program dana desa digulirkan pemerintah pusat tahun 2015. Di Maluku, perebutan jabatan kepala desa demi kepentingan politik dikhawatirkan merusak tatanan budaya dan kearifan lokal yang diwariskan leluhur turun temurun.
"Kalau dulu cari orang yang mau jadi kepala desa itu susah, banyak yang menolak. Waktu itu, jadi kepala desa lebih banyak mengabdi tanpa imbalan yang pasti. Bahkan tanpa gaji. Sekarang, kepala desa kelola uang ratusan juta hingga miliaran. Itu menggiurkan," kata Ketua Lumbung Informasi Rakyat Maluku Yan Sariwating yang dihubungi Kompas di Ambon, Minggu (1/12/2019).
Menurut dia, banyak orang mengklaim mampu menjadi kepala desa, mulai dari yang lahir dan besar di desa, hingga keturunan dari desa yang lahir dan besar di kota. Pun demikian dengan politisi yang gagal bertarung di level yang lebih tinggi seperti kabupaten atau provinsi, memilih pulang bertarung di desa. Mereka termotivasi menjadi kepala desa dengan alasan ingin mengabdi.
Dinamika politik praktis yang dimainkan di desa juga sering mengabaikan pranata adat setempat. Di Maluku, misalnya, hampir semua desa memiliki kearifan lokal dalam menentukan figur yang menduduki jabatan kepala desa. Biasanya hanya marga tertentu yang diperbolehkan memerintah. Di Maluku dikenal dengan sebutan mata rumah parenta.
Namun, atas nama demokrasi, terjadi persaingan yang cenderung tidak sehat. Hal itu tidak jarang menimbulkan pertentangan di tengah masyarakat dan membentk kubu-kubu. Kondisi tersebut membuat masyarakat terbelah. "Rasa persaudaraan yang dibina sejak turun temurun, hilang semua gara-gara rebutan jadi kepala desa. Desa seperti kehilangan identitas," ujarnya.
Ketua Komnas HAM Provinsi Maluku Benediktus Sarkol menyebutkan, konflik terbuka pun terjadi di beberapa desa. Sebagai contoh, ada kepala desa bersama perangkatnya di Kepulauan Kei, Kabupaten Maluku Tenggara, lari ke hutan lantaran dikejar pendukung lain. "Ini membuka peluang terjadinya konflik yang lebih besar. Ini harus dicegah," ujar Benediktus yang juga keturunan Kei.
Dirinya sudah bertemu dengan bupati dan wakil bupati setempat dan meminta agar kasus tersebut diselesaikan menggunakan pendekatan budaya Kei. Senada dengan Yan, Benediktus juga berkesimpulan bahwa dana desa yang besar menjadi motivasi perebutan jabatan kepala desa. Banyak kepala desa mendadak kaya setelah mengelola dana desa.
Data Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa di Maluku menunjukkan, sejak 2015, total dana desa yang mengalir ke Maluku sebanyak Rp 4,1 triliun. Dana desa itu diperuntukkan bagi 1.198 desa yang tersebar di 11 kabupaten/kota. Besaran dana desa setiap tahun berkisar Rp 800 juta hingga Rp 2 miliar. Nilainya tergantung jumlah penduduk dan luas wilayah.
Hanya saja, kucuran dana desa tersebut seolah tidak berdampak pada peningkatan kesejahteraan masyarakat. Di Maluku, desa dengan status mandiri hanya 10 buah, desa maju 84 buah, desa berkembang 376 buah, desa tertinggal 580 buah, dan desa sangat tertinggal 145 buah. Badan Pusat Statistik mencatat, kemiskinan di Maluku, terutama di perdesaan, malah semakin meningkat.
Terhitung 2014 hingga 2019, penduduk miskin perdesaan bertambah 5.810 orang. Jumlah penduduk miskin di perdesaan 272.090 jiwa atau sekitar empat kali lipat dibandingkan penduduk miskin di perkotaan yang tercatat 45.600 jiwa. Total penduduk miskin di Maluku sebanyak 317.690 jiwa atau sekitar 17,69 persen, menempati urutan empat provinsi termiskin di Indonesia.
Ironisnya, kasus korupsi dana desa terus bertambah. Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Ambon mencatat, sepanjang Januari hinggga November 2019, sebanyak 17 perkara korupsi dana desa disidangkan di pengadilan itu. Pada tahun-tahun sebelumnya, kasus yang disidangkan di satu-satunya pengadilan tindak pidana korupsi di Maluku, itu tidak lebih dari 10 kasus per tahun.
Kepala Bidang Humas Polda Maluku Komisaris Besar M Roem Ohoirat mengatakan, anggota Polri yang bertugas di desa-desa diminta ikut mengawasi dana desa. "Anggota juga diminta memberikan pendampingan hukum agar pengelolaan dana desa tidak menyimpang dari aturan. Ini bagian dari tanggung jawab polisi dalam mendukung pembangunan di desa," katanya.
Roem juga mengingatkan anggota Polri di lapangan agar tidak menakuti-nakuti atau memeras anggota kepala desa. Masyarakat diminta melaporkan bila menemukan kasus tersebut.