Pengaduan aparatur sipil negara (ASN) yang terpapar radikalisme selama ini sering kali tidak valid. Pengaduan justru memiliki tendensi ingin menjatuhkan karier ASN yang dilaporkan.
Oleh
I GUSTI AGUNG BAGUS ANGGA PUTRA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah mengklaim sudah membuat ketat mekanisme pengaduan aparatur sipil negara atau ASN yang terindikasi terpapar radikalisme. Salah satunya, dua tahap verifikasi bagi pelapor. Pengetatan ini dilakukan untuk mencegah laporan tak bertanggung jawab yang bertujuan justru menjatuhkan karier dari ASN yang dilaporkan.
Kepala Hubungan Masyarakat Badan Kepegawaian Negara (BKN) Mohammad Ridwan mengatakan, dalam beberapa tahun terakhir, tidak sedikit laporan yang masuk ke BKN terkait ASN yang terpapar radikalisme.
Namun, dari sekian banyak laporan tersebut, banyak yang tidak valid dan justru bertendensi menjatuhkan karier ASN yang dilaporkan.
”Laporan diteruskan ke Deputi Pengawasan dan Pengendalian untuk diteliti. Sebagian laporannya tidak valid, bahkan ada maksud untuk menjatuhkan rekan sendiri,” ujar Ridwan saat dihubungi dari Jakarta, Minggu (1/12/2019).
Pengaduan terhadap ASN yang terindikasi terpapar radikalisme kembali mengemuka belakangan setelah 6 menteri dan 5 kepala badan menandatangani Surat Keputusan Bersama (SKB) tentang Penanganan Radikalisme pada ASN pada pertengahan November 2019. Pengaduan salah satunya bisa disampaikan melalui akun pelaporan bernama aduanasn.id.
Dalam SKB itu terdapat 10 jenis pelanggaran yang bisa dilaporkan, di antaranya penyampaian pendapat baik lisan maupun tertulis melalui media sosial yang bermuatan ujaran kebencian terhadap Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI, dan pemerintah. Selain itu, menyampaikan pendapat yang bermuatan ujaran kebencian suku, agama, ras, dan antaragama.
”Kami ingin mencegah. ASN, kan, tugasnya menjadi perekat Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Bukannya malah menghancurkan NKRI,” ujar Ridwan.
Mekanisme pelaporan
Sekretaris Deputi Sumber Daya Manusia dan Aparatur Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan-RB) Mudzakir mengatakan, pengaduan tak dapat dilakukan dengan sembarangan. Pihak yang hendak melaporkan ASN yang terindikasi terpapar radikalisme harus membuat akun. Verifikasi bagi pelapor ada dua tahap, yakni melalui surat elektronik dan nomor induk kependudukan (NIK).
”NIK ini akan mengikat yang bersangkutan supaya dia tidak bisa sembarangan melaporkan orang. Karena pasti dengan mencantumkan NIK, akan diketahui siapa yang melaporkan,” kata Mudzakir.
Setelah verifikasi, pelapor diwajibkan mengunggah bukti-bukti ASN yang dilaporkan memang terpapar radikalisme.
Bukti-bukti itu bisa berupa teks, foto-foto, dan grafis. Bukti-bukti kemudian dikaji oleh tim satuan tugas yang di dalamnya berisi personel dari 11 kementerian/lembaga, antara lain Kementerian Komunikasi dan Informatika, Badan Intelijen Negara, dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme.
”Jadi, prosesnya tentu akan sangat dalam sekali,” ucapnya.
Jika kemudian tim menilai ASN memenuhi unsur pelanggaran seperti yang tertera di SKB 11 menteri dan kepala lembaga, tim satuan tugas akan membuat rekomendasi kepada pejabat pembina kepegawaian (PPK) di setiap instansi pemerintah, yaitu menteri, kepala lembaga atau kepala daerah, untuk mengambil tindakan.
Dasar pengambilan tindakan oleh PPK akan mengacu pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil. Tindakan itu dari mulai sekadar pembinaan hingga pemecatan sebagai ASN.
Namun, selain mengatur sanksi bagi ASN, PP ini menyediakan pula upaya administratif yang dapat ditempuh ASN yang merasa keberatan dengan hukuman disiplin yang dijatuhkan oleh pejabat berwenang.
Direktur Eksekutif Setara Institute Ismail Hasani berpendapat, SKB memang kabar baik dalam upaya pemberantasan radikalisme sekaligus menunjukkan respons pemerintah dalam menghadapi tuntutan berbagai pihak untuk menangani praktik intoleransi dan radikalisme di lingkungan ASN.
Namun, di sisi lain, SKB juga membawa kabar buruk bagi kebebasan berekspresi dan beropini. ”SKB 11 kementerian dan lembaga ini membawa tantangan serius bagi kebebasan. Karena itu, harus didetailkan agar tak menimbulkan kegaduhan baru,” katanya.