Memperkokoh Strategi Diplomasi Ekonomi Indonesia
Dinamika geopolitik dan geo-ekonomi global di berbagai kawasan berkecamuk tanpa henti. Konflik lama berlanjut dan konflik baru bermunculan. Pertumbuhan ekonomi setiap negara terpengaruh yang berujung pada pelambatan pertumbuhan ekonomi global.
Dana Moneter Internasional (IMF) merevisi proyeksi pertumbuhan ekonomi global menjadi 3,2 persen pada 2019. Angka itu merupakan yang terendah sejak terjadinya krisis keuangan pada 2008. Pertumbuhan ekonomi global diperkirakan baru akan membaik pada 2020.
Di Asia, konflik politik yang merembet hingga ke ekonomi juga terjadi. Hong Kong, sebagai pusat keuangan Asia, dilanda unjuk rasa prodemokrasi sehingga menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi menjadi nol hingga 1 persen pada tahun ini.
Kondisi ini turut merunyamkan perseteruan akibat perang dagang antara Amerika Serikat dan China. Apalagi, Asia juga mengalami dinamika lainnya akibat perseteruan antara Jepang dan Korea Selatan.
Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi dalam Raker Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Bidang Hubungan Internasional, di Jakarta, Selasa (19/11/2019), mengatakan, prioritas pertama politik luar negeri Indonesia adalah diplomasi ekonomi. Tujuannya, menjaga Indonesia dari pelambatan ekonomi global.
”Pemerintah berupaya membuat ekonomi Indonesia berketahanan agar kita dapat bertahan. Dalam bernegosiasi, Indonesia harus memiliki daya tawar agar mendapatkan sesuatu sebagai gantinya,” kata Retno.
Indonesia berupaya menciptakan ketahanan ekonomi, salah satunya melalui penguatan pasar tradisional dan perluasan pasar nontradisional. Pemerintah terus mendorong terjalinnya Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif (CEPA) dengan negara mitra.
Buka jalan via CEPA
CEPA menekankan pada kerja sama yang bersifat resiprokal atau saling berbalasan yang menguntungkan. Sejauh ini, Indonesia telah menandatangani CEPA dengan Australia dan Chile. Pada awal pekan ini, Indonesia merampungkan perundingan CEPA dengan Korsel, yang diharapkan bisa ditandatangani pada paruh pertama 2020. Indonesia juga tengah bernegosiasi dengan Turki dan Uni Eropa.
”CEPA menciptakan enabling environment bagi pebisnis antara kedua negara sehingga mengoptimalkan perdagangan bilateral. Kerja sama akan berdasarkan prinsip saling menguntungkan,” kata Siswo Pramono, Kepala Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Kementerian Luar Negeri saat dihubungi terpisah.
Mengenai Indonesia-Korsel CEPA (IK-CEPA), perjanjian ini terbagi dalam enam kelompok kerja, antara lain mengenai perdagangan barang dan jasa, investasi, prosedur kepabeanan, dan fasilitas perdagangan (ROOCPTF).
Total nilai perdagangan Indonesia-Korsel sekitar 18,6 miliar dollar AS pada 2018. IK-CEPA diharapkan dapat meningkatkan jumlah itu dengan target 30 miliar dollar AS pada 2022.
Menurut Siswo, dalam laporan kajian IK-CEPA pada 2011, indeks saling melengkapi perdagangan (TCI) produk Indonesia di pasar Korsel di atas 64, sedangkan produk Korsel di pasar Indonesia sekitar 62. Artinya, barang-barang Indonesia lebih melengkapi terhadap impor Korsel dibandingkan pasokan produk negara lain.
Indonesia dapat menjadi pasar bagi produk-produk teknologi Korsel. Sebagai gantinya, Indonesia dapat menarik investasi Korsel yang cenderung turun saat ini secara lebih konkret. Perusahaan otomotif, seperti Hyundai, berencana mengembangkan mobil listrik di Indonesia.
Wakil Ketua Umum Bidang Hubungan Internasional Kadin Indonesia Shinta Widjaja Kamdani berpendapat, pelaku usaha menyadari pentingnya pendalaman pasar tradisional karena ancaman pelambatan ekonomi global. Keberadaan CEPA akan membuka jalan bagi produk Indonesia masuk ke pasar tradisional yang sulit ditembus.
”Dalam perjanjian Indonesia-Australia CEPA, masuknya produk Indonesia ke pasar Australia akan membuat standar produk Indonesia meningkat sesuai dengan tuntutan pasar. Australia akan menjadi batu loncatan bagi Indonesia untuk sertifikasi produk sehingga kita bisa masuk ke pasar Uni Eropa yang menuntut standar lebih tinggi,” kata Shinta.
Pasar lain
Dalam konferensi pers Kemlu for Start Up: Menarik Investasi Modal Ventura Lokal dan Internasional di Jakarta, Senin (25/11/2019), Wakil Menteri Luar Negeri Mahendra Siregar mengatakan, diplomasi ekonomi Indonesia turut berupaya memperluas pasar nontradisional di luar negeri. Untuk pasar nontradisional, pemerintah akan mendorong kerja sama di bidang perdagangan, investasi, dan pariwisata.
”Prioritas di pasar nontradisional adalah memperkenalkan Indonesia berbasis pada kerja sama ataupun perjanjian yang sudah ada, tetapi belum diimplementasikan. Kemlu membantu mengoordinasikan kerja sama ekonomi bagi lembaga atau pelaku usaha yang belum memiliki akses di sana,” tutur Mahendra.
Indonesia mengincar pasar Afrika, Amerika Latin, Asia Selatan dan Tengah, Timur Tengah, serta Pasifik. Mahendra menyampaikan, Kemlu memiliki lebih dari 100 perwakilan di dunia sehingga dapat membantu pelaku usaha menembus pasar-pasar tersebut.
Shinta menambahkan, pada umumnya, pelaku usaha Indonesia tertarik untuk melakukan ekspansi melalui ekspor ataupun investasi di luar negeri. ”Pasar nontradisional berpotensi besar, tetapi pelaku usaha tidak bisa masuk karena tarif masih tinggi. Oleh karena itu, pemerintah perlu membuat Perjanjian Perdagangan Preferensial (PTA), terutama di negara-negara Afrika,” katanya.
Pada saat yang bersamaan, lanjut Shinta, pemerintah perlu terus melakukan konsultasi dengan pelaku usaha mengenai kebutuhan atau masalah yang dihadapi para pelaku usaha untuk menembus pasar luar negeri. Selain itu, sosialisasi manfaat dari perjanjian-perjanjian perdagangan kepada pelaku usaha harus terus berlanjut.
Secara terpisah, Kepala Departemen Ekonomi Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Yose Rizal Damuri berpendapat, upaya menembus pasar nontradisional perlu diiringi dengan pemetaan peluang ekspor di negara tujuan. Selain itu, daya saing komoditas yang potensial harus ditingkatkan karena bukan hanya Indonesia saja yang mengincar pasar-pasar tersebut.
Menteri Perdagangan Agus Suparmanto mengatakan, Kementerian Perdagangan akan mengkaji dan menyederhanakan peraturan yang masih menghambat ekspor selama satu bulan. Aturan yang tumpang tindih untuk menarik investasi dan mengontrol impor juga akan disinkronisasikan.
Variasi strategi
Mahendra menambahkan, variasi strategi diplomasi ekonomi untuk kepentingan nasional akan bertambah. Pemerintah akan mendorong agar usaha-usaha rintisan (start up) menjadi salah satu pilar diplomasi ekonomi dengan memfasilitasi pertemuan pelaku usaha dengan para pemodal ventura lokal dan asing.
”Sektor teknologi dan informasi, digital, dan internet Indonesia bisa bersaing di tingkat internasional. Hal ini karena kita memiliki tiga elemen yang tidak dimiliki negara lainnya, yakni bonus demografi, sistem demokrasi, serta besarnya masyarakat yang belum memiliki akses dan modal,” tuturnya.
Menurut Siswo, tidak hanya pemerintah, IMF meyakini ekonomi Indonesia bisa tumbuh di atas 5 persen dalam beberapa tahun mendatang. ”Memang akan ada tantangan pada ekspor dan investasi akibat kelesuan ekonomi global, tetapi pasar domestik Indonesia cukup kuat,” ujarnya.
Apalagi, penduduk Indonesia saat ini didominasi oleh kelompok milenial yang merupakan pengguna platform e-dagang. McKinsey memperkirakan, industri e-dagang Indonesia akan tumbuh 65 miliar dollar AS pada 2020. Industri e-dagang akan membuka banyak lapangan kerja baru dan pada akhirnya menciptakan stabilitas daya beli.