Padamu Shangri-La Terakhir
Pagi itu, kabut putih tebal tersibak perlahan memunculkan imaji yang menyihir kesadaran. Sebuah kuil tua nan magis di bibir tebing menyembul anggun bersaput misteri. Diam-diam, rasa damai menyusupi kalbu.
Pagi itu, kabut putih tebal tersibak perlahan memunculkan imaji yang menyihir kesadaran. Sebuah kuil tua nan magis di bibir tebing menyembul anggun bersaput misteri. Diam-diam, rasa damai menyusupi kalbu. Keindahan dramatis ini nyaris sulit dicerna. Apakah ini limbo?
”Would you like to have a cup of tea?” suara lembut Ugyen Tshewang, sang pemandu tur dari Druk Asia, memecah lamunan. Ya ampun, pemandangan di depan mata ini nyata adanya, bukan ilusi, bukan mimpi, apalagi limbo. Inilah puncak perjalanan di Bhutan, negeri mungil di ujung timur pegunungan Himalaya di Asia Selatan. Negeri yang diam-diam kerap mendekam dalam bucket list para pelancong.
Setelah memulai pendakian pada pukul 07.00, baru sekitar pukul 08.00 kaki yang kepayahan ini tiba di kedai persinggahan untuk rehat sembari menyeruput teh. Kedai kecil ini menandai setengah dari perjalanan menuju tujuan akhir, Kuil Paro Taktsang yang juga populer disebut Tiger’s Nest. Dari teras kedai, kuil bersaput kabut itu terlihat begitu dramatis dari kejauhan. Ia mencengkeram bibir tebing yang menjulang tinggi, sekitar 900 meter di atas Lembah Paro.
Sembari setengah melongo dalam ketakjuban, beberapa seruput teh hitam hangat yang ditawarkan Ugyen tadi lumayan meredakan deru napas yang kacau. Waktunya kini menikmati bekal kecil, dua keping kue rempah ka’ak dari sobat di Jakarta serta beberapa energy balls yang disiapkan penuh perhatian oleh tim dapur Six Senses, resor cantik tempat kami menginap di Distrik Paro. Malam sebelum pendakian ke Tiger’s Nest paling tepat memang menginap di Paro, yang hanya berjarak 10 kilometer dari titik gerbang pendakian.
Setelah istirahat lebih dari satu jam, pendakian dilanjutkan kembali. Perjalanan di Bhutan akan terasa mengganjal di hati jika tak menyaksikan kemagisan Kuil Taktsang. Rombongan kami yang terdiri dari empat perempuan wartawan dari Thailand, Singapura, Malaysia, dan Kompas dari Indonesia diundang oleh operator tur spesialis Bhutan, Druk Asia, untuk menjelajahi sebagian keindahan negeri ini. Negeri Kerajaan Buddha terakhir di dunia, yang juga dijuluki ”The Last Shangri-La” atau ”Surga Terakhir”.
Akrobat mental
Bagi kami yang bukan pendaki gunung, mencapai Kuil Paro Taktsang tentunya jadi tantangan tersendiri. Menembus hutan pinus biru (Pinus wallichiana), menyusuri jalur tanah berkelok-kelok yang sebagian amat curam, terkadang licin berbatu dan berlumpur. ”Pendakian ini menurut saya sebenarnya bukan soal fisik, melainkan lebih ke mental exercise,” ujar Mavis Teo dari Centaurus Communications, yang diutus Druk Asia untuk mendampingi kami.
Bisa jadi Mavis benar. Kekuatan mental tampaknya cukup menentukan. Bisikan-bisikan antara optimistis dan pesimistis bersahutan di dalam benak selama pendakian. Satu-satunya cara menaklukkan kegaduhan pikiran itu hanyalah mencermati masuk keluarnya napas di lubang hidung sembari menapakkan kaki tetap maju satu per satu. Saya mencoba selalu mengatupkan mulut dan tertib hanya menggunakan lubang hidung untuk masuk dan keluar napas, yang diembuskan pun dengan pelan-pelan mengikuti irama langkah kaki.
Ah, pasti sampai! Di tengah pikiran optimistis itu, tiba-tiba dari arah bawah jalur setapak muncul seekor kuda yang ditunggangi turis perempuan kulit putih. Kuda berukuran sedang itu dituntun dengan tali tambang oleh pemiliknya, seorang nenek yang mengaku berusia hampir 60 tahun.
”Yang tidak cukup kuat mendaki memang bisa menyewa kuda, paling tidak hingga setengah perjalanan. Setelah itu mau tak mau harus lanjut dengan jalan kaki,” kata Ugyen, yang tampaknya langsung mengerti pertanyaan tak terucap dalam tatapan mata saya.
Ah, tak apa. Pendakian ini mungkin saja seperti simulasi perjalanan hidup. Ada yang memang harus naik kuda, ada yang memang harus berjalan kaki. Ada pendamping sabar seperti Ugyen saja selama pendakian ini rasanya sudah anugerah. Tak terasa, lama kelamaan, Kuil Taktsang terlihat semakin besar, yang artinya jarak semakin dekat. Yang naik kuda ataupun ngesot sama-sama akan sampai di sana.
Anggota rombongan kami sudah tak lagi jalan beriringan. Masing-masing mendaki dengan kemampuan ritmenya. Saya sendiri sering berhenti di tengah perjalanan demi mengambil foto deretan pemandangan yang tak henti-hentinya melelehkan hati.
Setelah mendekati Kuil Taktsang, jalur pendakian beralih menjadi undak-undakan batu. Menurut Ugyen, ada sekitar 800 lebih anak tangga yang terhubung ke Kuil Taktsang. Suara gemuruh air terjun kini terdengar keras menderas. Mulai di jalur inilah beberapa titik lokasi menjadi tempat favorit untuk mengambil foto dengan latar penampakan Kuil Taktsang.
Ketika saya mengeluarkan koran Kompas untuk difoto berlatar Kuil Taktsang, Ugyen lantas mengambil koran sambil tertawa-tawa. ”Di sini semua pendaki pasti berfoto dengan macam-macam pose, sekarang giliran saya mau difoto dengan koranmu ini,” celotehnya.
Bagai negeri dongeng
Kami lalu menuruni anak-anak tangga hingga mendekati jembatan kecil yang melintasi sungai kecil dengan air terjun tinggi di sisi kiri. Di kejauhan, hamparan Lembah Paro membentang dipeluk lekukan pegunungan. Semakin mendekati kuil, kabut telah benar-benar sirna dan suara air terjun terdengar bergemuruh, menambah kemegahan ambience.
Rasanya seperti di negeri dongeng. Lembah dengan pemandangan kota Paro di kejauhan, tebing menjulang tinggi dengan kuil magis di tepiannya, juga air terjun di sisi lainnya, semuanya ini terasa surreal. Sulit rasanya merekam semuanya ini secara otentik dalam ribuan foto sekalipun.
Di depan mata, Kuil Taktsang menunggu. Siang itu, para peziarah, turis, dan biksu terlihat berseliweran. Kompleks kuil ini sekaligus merupakan biara bagi para biksu. Harum dupa menyusupi hidung turun ke relung jiwa, meraba-raba kedamaian.
Dari titik awal pendakian hingga sampai di Kuil Taktsang kami menempuh jarak sejauh sekitar 4 kilometer. Kuil ini berada di ketinggian 3.120 meter di atas permukaan laut. Sesampainya di pelataran depan kuil, kami memasukkan semua tas ke dalam loker. Pengambilan foto atau video apa pun di dalam semua kuil atau biara di Bhutan tidak diizinkan. Kuil Taktsang sendiri merupakan salah satu kuil tersuci di antara 3.000-an kuil di Bhutan.
Ugyen lalu menunjukkan lembar visa kami kepada petugas yang berjaga. Setelah melepas sepatu, kami menjenguk sebagian dari ruang-ruang doa di dalam kuil yang diperbolehkan bagi pengunjung. Ugyen pun mulai berbagi cerita sejarah Kuil Taktsang.
Alkisah, kompleks Kuil Paro Taktsang dibangun tahun 1692 oleh pemimpin keempat Bhutan Tenzin Rabgye (1638-1696). Salah satu legenda yang hidup di balik pendirian Kuil Taktsang adalah tentang perjalanan seorang tokoh spiritual yang amat berpengaruh dalam ajaran Buddha di Tibet bernama Guru Padmasambhava atau Guru Rinpoche, yang dijuluki ”The Second Buddha”. Kala itu merupakan masa-masa awal masuknya ajaran Buddha dari Tibet ke Bhutan pada abad kedelapan.
Legenda itu mengisahkan Guru Rinpoche terbang dari Tibet menumpang di atas punggung seekor harimau betina dari Khenpajong, kawasan timur Bhutan. Konon, sang harimau merupakan penjelmaan dari Yeshe Tsogyal, mantan istri dari seorang kaisar. Yeshe ingin menjadi murid Guru Rinpoche. Setibanya di Taktsang, Guru Rinpoche bermeditasi dan mewujud dalam delapan inkarnasi, lalu lokasi itu pun menjadi tempat suci.
Di Taktsang ada beberapa goa yang menjadi tempat Guru Rinponche bermeditasi. Pada abad kedelapan itu ia bermeditasi di lokasi ini selama tiga tahun, tiga bulan, tiga minggu, tiga hari, dan tiga jam. Dalam artikel yang dimuat dalam Journal of Bhutan Studies (1999) disebutkan, legenda juga meyakini Tenzin Rabgye sebenarnya merupakan reinkarnasi dari Guru Rinpoche.
Pada 19 April 1998, Kuil Taktsang terbakar hebat. Peristiwa itu diduga akibat hubungan pendek arus listrik atau percikan lampu mentega yang menerangi permadani gantung. Sulitnya akses ke lokasi kuil membuat misi penyelamatan ketika itu jadi terkendala. Kebakaran kuil memang kerap terjadi di Bhutan. Kuil Taktsang akhirnya bisa direstorasi tahun 2005 dengan memakan biaya hingga 135 juta ngultrum atau lebih dari 2 juta dollar AS.
Goa sarang harimau
Mendengarkan kisah-kisah legenda itu membuat imajinasi serasa terbang menembus lorong waktu berabad-abad. Sambil terus berkisah, Ugyen mengajak kami menelusuri berbagai ruangan di dalam kompleks yang terdiri dari empat kuil ini. Setiap bangunan terhubung dengan anak-anak tangga.
”Ayo kita coba masuk ke salah satu goa,” ajak Ugyen.
Saya dan Mavis pun mengikuti. Kami menelusup ke dalam goa kecil yang menjorok ke bawah dengan tangga kayu sempit bersandar di mulutnya. Ketika menginjakkan kaki di dasar goa yang berbatu, sensasi rasa dingin dan lembab seketika menggigiti telapak kaki yang telanjang.
Di dinding goa di sisi kanan rupanya ada lubang kecil yang menampakkan pemandangan Lembah Paro yang permai. Di ujung goa yang berkelok terlihat wadah dupa bekas bakar masih menyisakan harum yang lembut. Suasana ganjil antara mencekam dan menenteramkan berbaur di dalam benak. Dalam kegelapan ini, mungkin Sang Harimau sedang mengamati kami diam-diam. Keheningan di dalam goa lamat-lamat terasa tinggal menyisakan suara detak jantung sendiri.
Setelah puas berdiam diri di dalam, saya merangkak ke luar goa menuju sisi kuil di tepian tebing. Sekadar duduk-duduk bersandar sembari menikmati pemandangan Lembah Paro nun jauh di bawah.
Celotehan para pengunjung kuil perlahan menjadi sayup, lamat, larut disapu semilir angin sejuk yang membelai-belai wajah. Wahai Shangri-La terakhir, ini semua \'kan abadi di hati...