Penuh Debar Mengemudikan ”Lead Car”
Dengan konsentrasi penuh dan cukup tegang, saya berusaha memosisikan mobil memasuki gapura sempit itu. Moncong mobil pun mulus memasuki jalur tersebut, saat tiba-tiba terdengar bunyi ”braaakkkk...” dan suara mengaduh.
Bertemu hal tak terduga di saat-saat menentukan adalah hal biasa bagi setiap jurnalis. Itu sebabnya dalam situasi dan kondisi apa pun, seorang jurnalis harus siap berimprovisasi saat hal yang tak diharapkan itu tiba-tiba datang.
Contoh kecil dari situasi ini adalah saat saya kembali terlibat dalam Borobudur Marathon 2019 pada 17 November 2019 lalu. Beberapa hari sebelumnya, dalam situasi yang cukup mendadak juga, saya mendapat kabar dari teman-teman penyelenggara event maraton internasional ini bahwa official lead car untuk acara itu sudah ditetapkan.
PT Mitsubishi Motors Kramayudha Sales Indonesia (MMKSI) sepakat untuk menjadi penyedia mobil pemandu ini, dan akan meminjamkan dua unit Mitsubishi Outlander PHEV. Ini adalah mobil berteknologi mobil listrik (electric vehicle/EV) sehingga memenuhi syarat yang ditetapkan panitia penyelenggara Borobudur Marathon 2019.
Ari, teman dari Tim Event Kompas, menanyakan apakah saya tertarik untuk menguji kendara mobil tersebut dengan rute Jakarta-Borobudur. Ini berarti mengulang tahun lalu, di mana saat itu saya juga melakukan uji kendara jarak jauh mobil yang akan dipakai sebagai official lead car Borobudur Marathon 2018. Waktu itu mobil yang dipakai adalah Jaguar F-Pace 2.0.
Sebagai penjaga rubrik otomotif Kendara yang terbit setiap hari Kamis di Kompas, tentu saja saya mengiyakan tawaran ini. Menguji kendara Mitsubishi Outlander PHEV di medan sesungguhnya di Indonesia adalah kesempatan yang tak boleh terlewatkan.
Salah satu alasannya adalah sejak diluncurkan resmi pada Gaikindo Indonesia International Auto Show 2019, Juli lalu, Kompas belum sempat menjajal mobil ini. Bahkan, sejauh pengetahuan kami, mobil ini belum pernah diuji kendara oleh media mana pun di Tanah Air.
Alasan kedua, ini adalah mobil berteknologi hibrida pertama dari Mitsubishi yang diluncurkan ke pasar Indonesia, bahkan Asia Tenggara. Kata PHEV yang disematkan pada nama mobil ini merupakan singkatan dari plug-in hybrid electric vehicle.
Sebelumnya, mobil ini lebih dulu diluncurkan di pasar Eropa dan mencatat sukses besar di sana. Tentu saja Kompas penasaran, apa saja keunggulan SUV hibrida Mitsubishi ini.
Maka, rencana perjalanan pun segera disusun. Kepastian bahwa kami harus berangkat baru didapatkan pada Selasa (12/11/2019), sedangkan mobil baru siap diantar pada Kamis (14/11/2019).
Opsi keberangkatan pun ada dua, apakah langsung berangkat hari Kamis itu atau berangkat hari Jumat (15/11/2019). Saya akan berangkat bersama fotojurnalis/videojurnalis senior Kompas, Eddy Hasby, yang akan mendokumentasikan perjalanan ini.
Belum lagi keputusan diambil, pada Rabu (13/11/2019) sore saya mendapat telepon dari Dewa Adiputra, race director Borobudur Marathon 2019. Pria ramah yang sudah saya kenal sejak penyelenggaraan Borobudur Marathon 2018 ini ingin memastikan apakah saya jadi membawa mobil lead car ke Borobudur.
Dia juga menanyakan siapa yang akan mengemudikan mobil tersebut sebagai lead car saat pelaksanaan maraton hari Minggu.
Saya jawab, saya yang akan membawa lead car ke Borobudur dari Jakarta. Soal siapa yang akan mengemudikan mobil tersebut sebagai lead car pada hari-H, saya serahkan kembali ke panitia.
Akan tetapi, pertanyaan Bli Dewa Adi ini ternyata retorika belaka. ”Tidak ada lagi tenaga panitia untuk membawa lead car, Mas. Harus Mas sendiri yang membawa. Lagian, kan, Mas yang sudah paham mengoperasikan mobil ini?” tuturnya saat itu.
Jadi, mau tidak mau, saya kembali yang harus mengemudikan mobil pemandu tersebut di depan ribuan peserta kategori full marathon yang akan start pertama kali.
Dewa pun menambahkan, berbeda dari tahun lalu di mana saya hanya mengemudikan mobil untuk 5 kilometer pertama kemudian menunggu di dekat garis finish, tahun ini saya harus memandu para pelari full marathon melewati seluruh lintasan sepanjang 42 kilometer.
”Waduh,” seru saya. ”Saya kan belum tahu lintasannya lewat mana saja, Bli?”
”Nah, itu dia sebabnya Mas harus sudah sampai di Borobudur hari Jumat siang, nanti kita run-through dulu di seluruh rute full marathon,” ujar Bli Dewa.
Wah, berarti saya dan Mas Eddy harus berangkat hari Kamis, sesore apa pun itu. Karena kalau berangkat dari Jakarta hari Jumat pagi, akan terlalu memaksakan diri untuk sampai Borobudur siang hari.
Pengalaman selama ini, perjalanan menuju kawasan Borobudur dari Jakarta rata-rata ditempuh dalam waktu 10 jam. Kemacetan parah terkait pembangunan jalur tol layang di ruas Tol Jakarta-Cikampek bisa menambah signifikan waktu perjalanan itu.
Jadilah kami putuskan berangkat hari Kamis, begitu mobil diantar pihak MMKSI. Mas Eddy Hasby pun segera mempersiapkan segala kebutuhan pengambilan gambar, termasuk sejumlah tripod dan drone.
Namun, ada satu masalah lagi. Hotel di kawasan Borobudur dan Magelang sudah hampir habis dipesan seluruhnya oleh para peserta Borobudur Marathon 2019. Panitia pun harus bekerja ekstra untuk mendapatkan hotel yang bisa kami inapi sejak hari Kamis malam. ”Ada nih, Mas, satu kamar, tetapi baru bisa check-in hari Jumat sore,” tutur Rifai, salah satu panitia.
Wah, jelas tidak mungkin kalau kami baru boleh masuk hotel hari Jumat. Padahal, kami sudah harus berangkat hari Kamis. Untunglah pada Rabu malam saya mendapat informasi, proses check-in sudah bisa dari hari Kamis. Itu pun kami hanya mendapat jatah satu kamar, artinya saya dan Mas Eddy harus berbagi kamar. Kami juga mendapat hotel yang terpisah dengan panitia inti. Ya, apa boleh buat.
Berkenalan dengan rute
Keesokan harinya, unit Mitsubishi Outlander PHEV yang akan kami tes baru diantarkan ke Menara Kompas sekitar pukul 14.00. Setelah mendapat penjelasan teknis dasar tentang berbagai fitur mobil dan cara pengoperasiannya, kami pun bergegas berangkat. Sembilan menit menjelang pukul 15.00 kami bergerak keluar dari tempat parkir kantor.
Sepanjang perjalanan melewati Tol Trans-Jawa, kami mulai berkenalan dengan karakter tenaga dan pengendalian mobil. Kemudian mulai mencatat parameter-parameter dasar yang akan berguna pada laporan uji kendara, misalnya konsumsi BBM.
Khusus mengenai konsumsi BBM, kami tidak hanya mengandalkan informasi yang ditampilkan di layar Multi Information Display (MID), tetapi juga melakukan uji full-to-full.
Jadi bensin diisi penuh, kemudian salah satu trip meter kami reset menjadi 0. Nanti pada saat pengisian bensin berikutnya, akan terlihat berapa liter yang dibutuhkan untuk menempuh sekian kilometer.
Singkat cerita, tibalah kami di Magelang pada tengah malam, atau tepatnya Jumat dini hari. Segera kami membongkar muatan dan istirahat setelah perjalanan panjang itu.
Jumat siang, kami sudah berada di Taman Lumbini di kompleks Taman Wisata Candi Borobudur. Di tempat itulah titik Start dan Finish Borobudur Marathon berada. Kami menunggu beberapa saat sebelum Dewa Adi tiba di lokasi yang sama.
Setelah ngobrol sejenak, kami pun langsung berangkat menyusuri rute full marathon 42 km. Sebagian rute ini sudah familiar bagi saya karena bisa dikatakan kawasan Borobudur ini adalah kampung halaman keluarga besar saya. Namun, sebagian lagi benar-benar rute yang baru pertama kali saya lewati.
Saya mulai menghafalkan rute tersebut dengan mencatat dalam hati berbagai penanda lokasi di sejumlah belokan dan simpangan. Selain itu, Dewa juga meminta saya untuk mulai membiasakan mengemudi dengan kecepatan 18-20 km per jam saja karena pada rentang kecepatan itu para pelari maraton baris depan akan berlari.
Esok harinya, Sabtu (16/11/2019), atau sehari sebelum acara puncak, kembali saya harus menelusuri rute full marathon ini. Kali ini dalam rangka gladi bersih yang melibatkan motor-motor penunjuk jalan, patroli pengawalan polisi, dan motor-motor yang nantinya akan membawa wartawan dan fotografer resmi. Tujuannya untuk menyamakan persepsi akan tugas masing-masing pada hari-H.
Selama gladi bersih itu, mobil Mitsubishi Outlander PHEV sengaja saya aktifkan pada mode Charge. Di mode ini, tenaga mesin akan dimaksimalkan untuk mengisi baterai lithium-ion berkapasitas 13,8 kWh pada mobil sehingga besok tugas pemanduan akan seluruhnya dijalankan dalam EV Mode alias mode elektrik murni.
Begitu gladi bersih selesai, terlihat indikator baterai di layar MID menunjukkan posisi sekitar 80-90 persen. Kami pun merasa baterai sudah cukup dan mobil kami parkir di daerah karantina di dekat garis start/finis maraton di area Taman Lumbini, kompleks Taman Wisata Candi Borobudur.
Selama di Magelang dan Borobudur, kami tak sempat mempraktikkan mengecas mobil dengan sumber listrik di luar mobil. Salah satu penyebabnya adalah adanya sedikit kesalahpahaman dengan pihak MMKSI.
Jadi, ada dua mobil yang dipinjamkan MMKSI ke Kompas. Satu berwarna hitam untuk kami uji jarak jauh Jakarta-Borobudur, dan satu lagi berwarna putih untuk difungsikan sebagai mobil penunjuk waktu (dengan timer digital dipasang di atap) sekaligus menjadi mobil pemandu (lead car).
Saat membawa mobil hitam, kami diberi tahu bahwa peranti charger portabelnya memiliki colokan berkaki tiga. Peranti ini jelas tidak bisa digunakan di stop kontak biasa yang memiliki dua lubang. Kami pun mengira, charger di mobil putih juga berbentuk serupa.
Alhasil, proses mengecas baterai kami lakukan menggunakan sistem hibrida mobil, yakni dengan mengaktifkan mode Charge sehingga listrik untuk baterai mobil dihasilkan oleh tenaga mesin mobil itu sendiri.
Baru setelah kami tiba kembali di Jakarta dengan mobil putih, saya baru iseng-iseng mengecek peranti charger tersebut, dan ternyata berkaki dua! Andai ini diketahui dari awal, mobil bisa dicas menggunakan stop kontak di sekitar Taman Lumbini sampai 100 persen.
Menjalankan misi
Tiba juga hari-H Borobudur Marathon 2019, Minggu (17/11/2019). Lomba untuk kategori full marathon akan Start pada pukul 05.00 tepat sehingga kami pun mulai meninggalkan hotel di pusat kota Magelang dengan menggunakan mobil hitam sekitar pukul 03.15.
Dewa hanya meminta kami harus sudah siap memosisikan mobil di depan garis start pada pukul 04.00. Saya berpikir waktunya lebih dari cukup karena perjalanan dari Magelang ke Borobudur pada dini hari seperti itu paling ditempuh dalam waktu sekitar 20 menit.
Namun, tak disangka-sangka, begitu kami tiba di pertigaan Mungkid menuju Jembatan Kali Progo yang merupakan jalur utama menuju kompleks Candi Borobudur, sudah terbentuk kemacetan panjang kendaraan pribadi dan bus-bus pengangkut peserta Borobudur Marathon. Wajar saja, mengingat pergelaran kali ini diikuti tidak kurang dari 10.900 peserta dari 35 negara!
Setelah beberapa saat berhenti dalam kemacetan, mulai muncul kepanikan andai tak bisa sampai ke posisi start tepat waktu karena jarak menuju Taman Lumbini masih sekitar 3-4 kilometer lagi. Akhirnya, kami memutuskan putar balik dan masuk kawasan Borobudur dari jalur memutar melewati pertigaan Sigug dan Tempuran.
Namun, begitu kami keluar ke jalan menuju Lapangan Kujon, kembali terjadi kemacetan parah. Sampai akhirnya ada rombongan mobil yang dikawal patroli polisi nekat mengambil jalur kanan. Saya pun membanting setir mobil untuk bisa mengikuti konvoi tersebut.
Walaupun sempat tersendat, akhirnya saya bisa lolos dari kemacetan, dan memasuki kawasan Taman Lumbini setelah mengambil jalan memutar. Kami tiba beberapa menit sebelum pukul 04.00. Ah, aman!
Setelah mempersiapkan mobil pada posisi beberapa meter di depan karpet merah jalur Start, kami pun melakukan pengecekan final. Mobil sudah saya nyalakan dan saya pilih tombol EV Mode agar mobil sepenuhnya berjalan dengan tenaga baterai.
Pada layar MID sempat terlihat perkiraan sisa jarak tempuh pada mode listrik murni itu hanya sekitar 23 km dalam kondisi penyejuk udara mobil (AC) menyala. Ini jelas tidak cukup untuk berputar ke seluruh rute full marathon.
Saya pun iseng mematikan AC, dan tiba-tiba indikator yang sama berubah menunjukkan angka 50 km. Akhirnya saya putuskan untuk berjalan tanpa mengaktifkan AC dan dalam mode Eco Mode agar penggunaan energi listriknya paling efisien.
Dewa dan asistennya pun berlatih mengaktifkan papan penunjuk waktu dengan remote control. ”Begitu tanda Start dibunyikan, kami pencet tombol ini agar timer mulai menghitung waktu,” ujarnya kepada asistennya tersebut.
Tepat pukul 05.00, saat langit di atas Borobudur mulai terang, pistol dan terompet tanda start dibunyikan. Dari kaca spion tengah, terlihat bagaimana ribuan orang berlomba-lomba meninggalkan garis start, mengawali perjalanan sejauh 42,195 km!
Saya pun langsung menginjak rem, memasukkan transmisi ke posisi D, memencet tombol Eco Mode, dan menginjak gas. Mobil pun melesat tanpa suara dan polusi, membelah jalanan rapi di tengah Taman Wisata Candi Borobudur itu. Misi pun dimulai!
Semua berjalan lancar, mobil menjaga jarak 10-15 meter di depan pelari terdepan. Walau tidak terlalu kelihatan dari kaca spion, terlihat sekelompok pelari berkulit hitam berada di barisan terdepan, berlari dengan laju konstan di belakang mobil.
Namun, tetap saja saya agak grogi karena begitu banyak penonton dan pemberi sorak yang memberi semangat kepada para pelari di kanan kiri jalan. Saya pun agak tegang untuk berkonsentrasi penuh, di satu sisi menjaga jarak dengan pelari di belakang, di sisi lain menjaga jarak dengan patroli pengawal polisi di depan agar tidak kehilangan jejak.
Sampai akhirnya kami tiba di Kilometer 5 rute maraton itu. Di sini, di luar dugaan saya sebelumnya (karena tidak pernah diberi tahu, baik saat run-through rute hari Jumat maupun saat gladi resik hari Sabtu), ternyata jalan raya yang lebarnya tak seberapa itu dibagi dua. Sebelah kiri menjadi jalur untul kategori Full Marathon, dan sebelah kanan adalah jalur untuk kategori Half Marathon.
Yang lebih mengagetkan lagi, di masing-masing ujung jalur itu dipasang semacam gapura darurat dari rangka kayu berlapis vinyl banner sehingga jalur yang bisa dilewati di tengahnya sangatlah sempit.
Saya pun ragu apakah lebar mobil ini cukup melewati ”gapura” tersebut. Namun, di saat ini, sudah tidak mungkin berhenti atau memutar melewati jalan lain. Para pelari di belakang sudah terlanjur menjadikan mobil ini sebagai patokan.
Maka, dengan berkonsentrasi penuh dan cukup tegang, saya berusaha memosisikan mobil memasuki gapura sempit itu. Moncong mobil pun mulus memasuki jalur tersebut, saat tiba-tiba terdengar bunyi ”braaakkkk...” dan suara mengaduh keras dari sisi kiri.
Begitu berkonsentrasinya saya melewati jalur sempit itu sampai saya lupa bahwa Mas Eddy Hasby tengah mengambil gambar para pelari dengan bergelantungan keluar jendela. Tentu saja dia menabrak gapura darurat itu saat mobil melewatinya.
Kaget dan panik, saya pun otomatis menginjak rem untuk memeriksa kondisi Mas Eddy. Saya khawatir lukanya cukup parah karena walaupun kecepatan mobil sudah sangat pelan, momentum tumbukannya cukup keras.
Di saat lengah dengan kondisi jalanan tersebut, terjadilah hal paling konyol. Kira-kira 6 pelari terdepan tiba-tiba menyalip mobil dari arah kiri. Tambah kagetlah saya! Tugas saya adalah menjadi mobil pemandu untuk para pelari itu, dan sekarang mereka malah berada di depan saya!
Untunglah dengan kirka cepat (perkiraan keadaan secara cepat), saya lihat luka Mas Eddy tidak terlalu serius, dan saya pun segera berusaha mengembalikan kesadaran dan kembali fokus pada jalanan di depan saya. Terlihat para pelari itu tetap berlari dengan laju konstan.
Untunglah jalur yang terlalu sempit itu tidak terlalu panjang. Begitu jalanan kembali lebar dan tidak ada batas-batas lagi, saya pun menyusul para pelari itu, dan menyalipnya dari sisi kanan dalam jarak yang aman.
Akhirnya, tak sampai 100 meter sejak insiden tadi, posisi saya sudah kembali di depan pelari dan menjalankan tugas sebagai mobil pemandu. Walau masih terasa deg-degan di dada, sekarang fokusnya tinggal menuntaskan tugas hingga usai tanpa ada insiden lagi.
Hanya saja, rintangan hampir serupa masih ditemui di beberapa titik lainnya. Panitia membuat jalur para pelari yang terlalu sempit untuk dilewati mobil pemandu. Jalur sempit itu dibatasi kerucut lalu lintas (traffic cone) sehingga kadang-kadang saya harus keluar dari jalur pelari dan berjalan di jalur kanan, bercampur dengan kendaraan dari arah berlawanan.
Baca juga: Bosnia, Setelah 24 Tahun Perang Berakhir
Di beberapa titik lainnya, jalur menjadi sangat sempit karena para pemberi sorak yang berkostum tradisional merangsek terlalu jauh ke tengah jalan. Belum lagi para anggota tim sorak yang sebagian anak-anak itu masih banyak yang berlari lalu-lalang menyeberang jalan. Klakson harus beberapa kali dibunyikan agar mereka tetap tertib di sisi jalan masing-masing.
Demikianlah, fokus dan konsentrasi itu harus terus dipertahankan sampai acara ini usai. Di beberapa titik, saya harus melambatkan laju mobil, bahkan sempat berhenti beberapa detik karena pelari tertinggal sangat jauh di belakang.
Namun, di beberapa bagian, saya juga harus menambah laju mobil hingga mendekati 30 km per jam karena tiba-tiba pelari sudah merapat di belakang mobil.
Mendekati garis finis, kira-kira di Km 39-40, kami bertemu dengan ekor rombongan peserta Half Marathon yang datang dari jalur lain. Kami pun harus kembali ekstra hati-hati dan melanjutkan tugas memandu dengan berjalan di sisi kanan jalan.
Hingga akhirnya di Km 41, sesaat sebelum memasuki Pintu 8 Taman Wisata Candi Borobudur, tugas kami selesai. Kami menepi ke sebidang tanah berumput di sebelah kanan jalan, kemudian menghentikan mobil sambil tetap menyalakan sistem elektriknya.
Baca juga: Membuka Jalan Kemanusiaan Bagi Seniman Pengidap Kanker
Mobil pun kini berubah menjadi display statis waktu tempuh untuk nomor Full Marathon yang bisa dilihat seluruh pelari yang memasuki Pintu 8 tersebut menuju garis finis.
Melirik ke layar MID, terlihat sisa jarak tempuh mode full elektrik masih ada 8 km lagi. Artinya, kami sukses menjalankan tugas memandu para pelari dengan model full listrik mobil ini tanpa membakar setetes pun bensin!
Tuntas sudah tugas menjadi lead car yang penuh debar!