Saat Senyum Merekah di Cipatat
Sebagai penyelenggara lomba menembak antarprajurit ASEAN, TNI AD mengubah format lomba dari persaingan antarnegara menjadi kerja sama antarkelompok dari 10 wakil negara-negara ASEAN.
Sebagai penyelenggara lomba menembak antarprajurit ASEAN, TNI AD mengubah format lomba dari persaingan antarnegara menjadi kerja sama antarkelompok dari 10 wakil negara-negara ASEAN.
Mayor Phongsavat, manajer tim ASEAN Armies Rifle Meet atau AARM 2019 asal Laos, bangga. Pasalnya, meskipun selama ini minim perolehan medali, angkatan darat negaranya ikut berpartisipasi dalam ajang persahabatan lomba menembak antarnegara di Asia Tenggara sejak 20 tahun silam. Bahkan, tahun lalu, Laos hanya mendapat satu medali perunggu. Adapun juara umumnya adalah Indonesia. Inonesia merebut 9 trofi, 32 emas, 13 perak, dan 10 perunggu.
Namun, pada 2019 ini, semuanya berubah. Dengan senyum lebar, Phongsavat bercerita panjang tentang capaian timnya. ”Kami dapat 7 emas, 6 perak, dan 10 perunggu. Semuanya 23 medali. Menurut saya, inilah AARM yang sebenarnya,” katanya dengan wajah ceriah.
Seraya mengutip moto AARM tahun ini, Phongsavat menambahkan, ”Ini karena ASEAN together we can.” Ia pun kemudian bercerita tentang sistem pertandingan AARM yang baru, yang kali ini digelar di Pusat Pendidikan Infanteri (Pusdikif), Cipatat, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, pekan lalu.
Kompetisi kali ini tak lagi antarnegara, tetapi antarkelompok. Seluruh peserta dibagi menjadi empat kelompok, yaitu Bear, Cheetah, Dragon, dan Alligator. Setiap kelompok terdiri dari 10 orang, yaitu perwakilan dari 10 negara ASEAN. ”Jadi, katakanlah setiap negara punya empat petembak pistol yang handal, itu mereka distribusikan ke empat kelompok. Dengan begitu, semua kelompok ada kemungkinan menang. Kalau kelompok menang, semua anggota kelompok dapat medali,” kata Phongsavat lagi.
Karena perwakilan 10 negara dalam satu regu, mau tak mau, ke-10 prajurit dengan bahasa yang berbeda-beda harus mampu berkomunikasi. Sering kali mereka harus berkomunikasi dengan bahasa isyarat. Bagi Phongsavat, hal itu jadi persoalan. Apalagi, ia banyak belajar dari para prajurit TNI Angkatan Darat. ”Kalau kamu senyum, artinya kamu teman saya. Gampang, kan,” ujarnya dengan senyum lebar.
”Inisiatif Indonesia untuk lomba ini brilian,” tambah Letnan Nurudin, yang jadi kapten tim Bear. Nurudin adalah kapten untuk kategori pistol dari Brunei Darussalam. Ia menjadi kapten tim Bear untuk kategori itu dan harus memimpin sembilan anggota dari sembilan negara ASEAN. Ia mengakui, tak jarang ada masalah komunikasi karena bahasa berbeda-beda. ”Ya, saya mencari anggota negara yang bisa bahasa Inggris, lalu komunikasi lewat dia,” kata Nurudin menerangkan tentang strategi berkomunikasinya.
Komunikasi dalam AARM tampaknya lebih mudah karena semua pihak merasa senasib sepenanggungan. Tak ada yang merasa tak setara. Oleh karena itu, mudah bagi Nurudin bertanya kepada kapten dari negara lain tentang kemampuan prajurit di grupnya. Dia bisa tahu kekurangan dan kelebihan anggota-anggotanya. Hal senada juga disampaikan Mayor Kyaw Myo Aung asal Myanmar yang dalam lomba kali ini bertugas sebagai juri. ”Lebih bersemangat karena semua dapat medali,” kata Aung.
Tak lagi bersaing
Perubahan format kompetisi menembak antar-angkatan darat negara-negara ASEAN membawa perubahan fundamental. Dari kompetisi menjadi kerja sama. Dari persaingan jadi persahabatan. Wakil Kepala Staf TNI AD Letjen Tatang Sulaiman saat membuka AARM, 20 November, mengatakan, ”Tidak ada yang mendongakkan kepala karena menang. Sementara lainnya menundukkan kepala karena kekalahan. Semua merasa bangga dan terhormat dalam persahabatan,” kata Tatang.
Sebelumnya, format baru ini diusulkan TNI AD yang pada 2019 ini menjadi tuan rumah penyelenggara. Sebagai juara umum 13 kali berturut-turut sejak 1991, TNI AD rupanya punya pemikiran lain. Hal ini disampaikan Kepala Staf TNI AD Jenderal Andika Perkasa saat menutup AARM ke-29. Ada sebuah pemikiran yang lebih strategis ke depan. Demi tujuan yang lebih besar, TNI AD mengambil risiko mengubah format kompetisi yang bertahun-tahun menguntungkan dirinya. ”Kita, negara-negara Asia Tenggara, adalah satu. Bersama kita bisa mengatasi segala tantangan. Tidak hanya untuk lomba, tetapi juga menghadapi berbagai ancaman,” papar Andika.
”Sistem kompetisi yang baru ini betul-betul bentuk nyata dari semboyan together we can,” kata Kyaw Myo Aung. Walaupun banyak pujian, tentunya juga masih ada kritik terkait penyelenggaraannya. Kyaw Myo Aung mengatakan, sistem baru ini lebih rumit dan terkadang membingungkan. Technical Sergant Richard Tangalin dari Filipina mengatakan, ia sudah ikut AARM sejak hampir 20 tahun lalu.
Inisiatif yang piawai
Menurut dia, setiap tahun pasti ada positif dan negatifnya. Walau sistem AARM yang digagas Indonesia ini membangun persahabatan, menurut dia, kehilangan sensasi. ”Biasanya, kan, prajurit itu habis-habisan kalau membela negaranya, tetapi sekarang membela grup. Kurang seru,” kata Richard.
Apa pun, lomba terus berjalan. Cerita-cerita lucu pun bermunculan. Sersan Mahanor dan Sersan Zaki dari Malaysia bercerita tentang uniknya berkomunikasi. Mereka mengatakan, bahasa isyarat jadi andalan. Banyak hal yang bisa saling dipelajari. Hal-hal rinci dipelajari Mahanor dari kontingen Indonesia. Dari sisi latihan, misalnya, kontingen Malaysia biasanya latihan sendiri-sendiri tentang cara menembak yang sesuai lomba. Sementara kontingen Indonesia berlatih tepat dengan urut-urutan lomba. ”Kami saling pendalaman,” kata Mahanor lagi.
Komunikasi pun berlanjut dari sama-sama mencoba cara tiarap yang paling efektif di lapangan sampai membuat grup shooters di Facebook. Dengan demikian, mereka bisa saling menautkan jika ada foto bersama saat outing. Walaupun ada isu supporter sepak bola Indonesia di Malaysia, hal itu tak memengaruhi persahabatan. ”Untuk apa kita tengok-tengok hal negatif. Hilangkan, biar kita berteman. Indonesia ramah-ramah. Tahun ini Indonesia yang turun anak-anak baru semua. Jadi, kami tidak tertekan,” ucap Zaki.
Dosen hukum internasional Hikmahanto Juwana mengatakan, memang di ASEAN tak dikenal adanya pakta militer. Dari sisi kemampuan juga kalau digabungkan seluruh negara-negara ASEAN akan bisa setara dengan negara-negara besar di kawasan. Namun, untuk memenangi situasi, tidak selalu harus dengan kekuatan, tetapi dengan kecerdasan. Selain membangun hubungan militer dengan kekuatan-kekuatan besar, sangat perlu juga bagi negara-negara ASEAN membangun kerja sama antarmereka sendiri. Misalnya, lewat komunikasi dan pertukaran informasi militer. ”Indonesia harusnya ambil peran ini, menjadi pemimpin di kawasan,” kata Hikmahanto.
Namun, menjadi pemimpin di kawasan bukan hal mudah. Dalam kaitan AARM, TNI AD mengambil langkah diplomasi militer piawai. Meski harus menanggalkan gelar juara umum berturut-turut, terobosan inovatif adalah salah satu ciri khas militer yang lebih modern. Tujuan strategis tercapai, yaitu semua angkatan darat ASEAN merasa bangga dan terhormat dalam persahabatan. Senyum pun merekah dari Cipatat.