Disabilitas seharusnya tak menjadi penghalang untuk menikmati kehidupan. Ini termasuk hasrat penyandang tunanetra untuk menyaksikan film. Kehadiran pembisik mampu membuat mereka memvisualisasi film lebih baik.
Oleh
ELSA EMIRIA LEBA
·3 menit baca
Ruangan bioskop kecil itu perlahan menjadi gelap seiring menguatnya alunan musik. Sumber cahaya kini hanya berasal dari gambar di layar putih di dinding. Tanda film berjudul Empu telah dimulai.
Alih-alih menjadi sunyi, ruangan yang berisi sekitar 30 orang itu malah semakin ramai. Mereka sibuk berbisik sepanjang film diputar. Melalui bisikan itu, Adinda Luna (19), penyandang tunanetra, mampu mengikuti jalannya cerita dalam film.
”Saya senang mengikuti acara seperti ini. Acara seperti ini penting karena sebagai tunanetra kami tidak tahu persis jalan cerita film kalau tidak dibimbing,” ujarnya seusai menonton dalam acara Sinema Berbagi (Sinergi) yang diselenggarakan 100% Manusia di Jakarta, Sabtu (30/11/2019).
Acara Sinergi diikuti oleh 15 penyandang tunanetra dan 15 sukarelawan yang berperan sebagai pembisik. Mereka menonton Empu, sebuah film drama yang menceritakan perjuangan tiga perempuan dalam menghadapi masalah kehidupan. Film ini merupakan hasil kerja sama Global Environmental Facility Small Grant Programme, Terasmitra, dan Impro Visual Storyteller.
Selama ini, jika ada film bagus diputar di bioskop, belum tentu Luna bisa menontonnya. Dia harus menunggu dulu kesediaan keluarganya untuk menemani dan berperan sebagai pembisik film.
Kemudian, kalaupun ada yang menemani, dia harus mendapatkan kursi yang di sekitarnya kosong. Jika tidak, bisikan dan dialog yang terjadi akan mengganggu penonton lainnya. Ditambah lagi, aturan di bioskop melarang penonton untuk gaduh sepanjang film diputar.
”Tempat hiburan umum bagi kami penyandang tunanetra masih terbatas. Sehari-hari, saya biasanya mencari hiburan dengan mendengarkan musik dan audiobook,” ujar perempuan yang tinggal di Jakarta Selatan ini.
Nia Samantha, salah satu sukarelawan pembisik, mengatakan, kehadiran pembisik membuat penyandang tunanetra antusias menonton film. Melalui pembisik, mereka dapat memvisualisasi film lebih baik di dalam pikiran masing-masing.
”Mereka sudah mendengar dialog. Kami melengkapinya dengan menjelaskan latar belakang film, setting, kostum yang dikenakan pemain, dan tempat adegan berlangsung agar mereka bisa mengerti cerita dengan lebih baik. Mereka sangat antusias walaupun filmnya lama,” ujar Nia.
Sebagai pembisik, lanjutnya, tantangan utama yang harus dihadapi ketika menyampaikan detail bagi kaum tunanetra adalah kecepatan. Ketika menonton film aksi atau horor, pembisik kerap kesulitan karena adegan film berganti dengan cepat.
Hiburan inklusif
Pendiri 100% Manusia Rain Cuaca mengatakan, acara sinema berbagi digelar untuk mempromosikan kebersamaan, sikap toleransi, dan kesadaran mengenai hak penyandang khusus. Bagi kaum tunanetra, film juga dapat menjadi sarana hiburan meskipun mereka tidak bisa melihat langsung.
”Mereka pada dasarnya adalah manusia, mereka juga butuh hiburan. Selain itu, lewat film dan pembisik, mereka juga bisa belajar berbagi dan mengenal dunia,” ujar Rain Cuaca.
Rein menyampaikan, 100% Manusia kerap memutar film yang bertema hak asasi manusia, budaya, keberagaman, dan politik. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran tentang berbagai masalah sosial dan menciptakan platform untuk berbagi guna menghapus orang dari label, stereotip, prasangka, dan stigma negatif.
Mereka pada dasarnya adalah manusia, mereka juga butuh hiburan. Selain itu, lewat film dan pembisik, mereka juga bisa belajar berbagi dan mengenal dunia.
Produser Eksekutif Film Empu, Rendra Almatsier, menambahkan, dengan mengikuti sinema berbagi bersama penyandang tunanetra, dirinya mulai menyadari pentingnya aspek-aspek tertentu dalam film bagi kaum tunanetra. Salah satunya adalah fungsi audio.
”Selama ini kami menggunakan musik sebagai alat untuk membangun suasana. Kami tidak menyadari bahwa penyandang tunanetra akan menggunakan musik ini sebagai panduan bahwa adegan sedang berganti untuk memahami cerita. Ini informasi yang sangat penting bagi kami untuk menciptakan karya,” tambahnya.
Kesadaran untuk menghadirkan kehidupan yang lebih baik bagi penyandang difabel diharapkan tak berhenti pada sineas seperti Rendra Almatsier atau ikhtiar yang telah ditempuh oleh 100% Manusia. Kesadaran diharapkan terus bergulir, dan lebih banyak orang yang tergugah, karena difabel pada dasarnya memiliki hak yang sama.