logo Kompas.id
UtamaAngkas, Memahami Cara Melawan ...
Iklan

Angkas, Memahami Cara Melawan Kemacetan Manila

Diperlukan pemahaman untuk mengatasi kemacetan di Manila. Angka, atau ’Saya paham’ dalam bahasa Tagalog, memberi solusi itu.

Oleh
ADRIAN FAJRIANSYAH
· 4 menit baca
https://cdn-assetd.kompas.id/A05T5iNbXmK-iBdRBXL8V0kNt_s=/1024x768/filters:watermark(https://cdn-content.kompas.id/umum/kompas_main_logo.png,-16p,-13p,0)/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2019%2F12%2F8842eae6-2193-47e6-9258-b52322cfaaaa_jpg.jpg
KOMPAS/Adrian Fajriansyah

Salah satu pengemudi ojek daring khas Manila, Filipina, yakni  Angkas di Manila, Sabtu (30/11/2019). Masalah kemacetan menjadi salah satu masalah utama di ibu kota Filipina itu. Ojek daring pun muncul sebagai moda transportasi favorit untuk mengatasi kemacetan tersebut.

Manila adalah neraka di jalanan. Begitulah gambaran kemacetan di ibu kota Filipina itu. Bahkan, dalam rilis terbaru Bank Pembangunan Asia (ADB), Manila disebut sebagai kota paling macet, berdasarkan survei terhadap 20 kota berpenduduk lebih dari 5 juta orang di Asia.

Kemacetan parah itu sangat terasa selama liputan SEA Games 2019. Walau jalan yang cukup lebar dan panjang, jumlah kendaraan bermotor di kota itu jauh lebih banyak. Hal itu diperparah banyaknya bus dan truk besar yang diperbolehkan melintas di pusat kota.

”Tidak ada yang salah dengan jalanan di sini, cukup banyak dan lebar, tetapi pertambahan kendaraan luar biasa. Jadi, jalan yang ada sudah tak sanggup menampung kendaraan-kendaraan ini,” ujar Jesus F Venzon atau Paman Boy (60-an), pengemudi taksi yang mengantar Kompas dari Manila ke Philippine Arena, Bulacan, Jumat (29/11/2019).

Sebagai gambaran, kemacetan di pusat kota Manila seperti kemacetan di wilayah Tanjung Priok, Jakarta Utara, yang dipenuhi truk saat jam sibuk. Jika menggunakan mobil kecil seperti sedan, truk-truk besar beroda 10-12 roda yang berjalan di kanan dan kiri lajur jalan itu sangat mengintimidasi. Apalagi pengemudi truk-truk besar itu cenderung ugal-ugalan.

https://cdn-assetd.kompas.id/f2V4EQqKozJO6lmSxspduNv6GLE=/1024x768/filters:watermark(https://cdn-content.kompas.id/umum/kompas_main_logo.png,-16p,-13p,0)/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2019%2F12%2F6be01c95-a147-4b53-a2b9-9bdd7a331b9b_jpg.jpg
KOMPAS/Adrian Fajriansyah

Jeepney yang merupakan moda transportasi konvensional khas Filipina melintas di Subic, Filipina, Minggu (1/12/2019).

Mereka tak segan menyalip dan memotong kendaraan walaupun situasi jalanan padat dan kendaraan itu berjalan menjalar memanjang seperti ular. Situasi semakin mengerikan kala suara nyaring klason mobil-mobil raksasa itu tak henti berdengung.

”Mengemudi mobil di sini harus punya mental yang kuat,” kata Boy yang pernah menjadi tenaga kerja di Arab Saudi itu.

Akibat kemacetan itu, perjalanan sangat lambat. Jarak tempuh sekitar 30 kilometer, yang seharusnya ditempuh kurang dari 1 jam, waktu tempuhnya bisa 2-3 jam. Karena situasi itu pula, cukup sulit mendapatkan taksi konvensional ataupun daring di Manila saat jam-jam sibuk.

Saat mencari taksi dari Stadion Rizal Memorial ke Pusat Media SEA Games 2019 di World Trade Center Manila yang berjarak sekitar 5 kilometer, dibutuhkan waktu 1 jam 30 menit untuk mendapatkan taksi.

https://cdn-assetd.kompas.id/2nnIrLRPbP6e71rSdm0OUgliDTk=/1024x768/filters:watermark(https://cdn-content.kompas.id/umum/kompas_main_logo.png,-16p,-13p,0)/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2019%2F12%2F9ece3975-ccef-498c-9806-c5b8e8f353bb_jpg.jpg
KOMPAS/Adrian Fajriansyah

Pajak atau becak khas Filipina sedang menunggu penumpang di kawasan Subic, Filipina, Minggu (1/12/2019).

Iklan

”Di sini, kemacetan terjadi hampir setiap hari. Tetapi, Senin-Jumat adalah puncak kemacetan,” tambah Boy.

Ojek daring

Beberapa warga lokal lalu menyarankan untuk mencoba menggunakan Angkas. Angkas adalah ojek daring di Manila yang beroperasi sejak akhir 2016. Sekilas, konsepnya seperti ojek daring di Indonesia yang sudah ada sejak 2014.

Terbukti, Angkas memang sangat praktis dan cukup banyak tersebar di sejumlah wilayah Manila. Tidak butuh waktu lama untuk mendapatkan pengemudi ojek, dan perjalanannya pun lancar. Sama seperti di Indonesia, sepeda motor bisa melesat lincah di antara padatnya kemacetan di Manila.

”Kini orang-orang lebih suka menggunakan ojek daring ini, tidak perlu ikut terkena kemacetan panjang,” ujar Jervic Arellano Velasquez, pengemudi Angkas sejak 2017.

Karena kepraktisannya, moda transportasi yang didirikan Angeline Tham tersebut berkembang pesat dua tahun terakhir. Angkas, yang dalam bahasa Tagalog berarti ’Saya paham’ itu, kini sudah memiliki 27.000 pengemudi di seluruh Manila.

https://cdn-assetd.kompas.id/LGD6oMz5qBozPjvi9RZWc6dN4Kk=/1024x768/filters:watermark(https://cdn-content.kompas.id/umum/kompas_main_logo.png,-16p,-13p,0)/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2019%2F12%2F617f667b-20d3-4d35-8567-4c4d9bb0a37e_jpg.jpg
KOMPAS/Adrian Fajriansyah

Jervic Arellano Velasquez, pengemudi ojek daring Manila, Filipina, Sabtu (30/11/2019).

”Saya bisa bekerja dari pagi sampai malam karena orderan selalu ada di sini,” kata Jervic yang menjadikan ojek daring ini sebagai pekerjaan utamanya.

Kepala Hubungan Masyarakat KBRI di Manila Agus Buana menyampaikan, selain tidak sebanding antara kapasitas jalan dan jumlah kendaraan, masalah utama kemacetan Manila juga karena minimnya transportasi umum yang memadai.

Manila memiliki MRT, tetapi belum memiliki akses seluas KRL komuter di Jakarta dan sekitarnya. Adapun moda transportasi konvensional khas Filipina, yakni Jeepney, punya sifat seperti angkutan kota di Indonesia, yakni suka ngetem lama, ugal-ugalan, dan kurang nyaman serta aman.

Untuk itu, tak heran moda transportasi daring sangat diminati, salah satunya Angkas. Apalagi tarifnya cukup terjangkau dibandingkan dengan menggunakan taksi konvensional atau taksi daring. ”Saya juga sekarang lebih suka menggunakan ojek daring itu,” ujar Agus.

https://cdn-assetd.kompas.id/Ywyet51839mXGGsm3_97S9SsD-o=/1024x768/filters:watermark(https://cdn-content.kompas.id/umum/kompas_main_logo.png,-16p,-13p,0)/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2019%2F12%2Fa0855ad8-0b96-4192-b042-a747e9d959c7_jpg.jpg
KOMPAS/Adrian Fajriansyah

Pajak atau becak khas Filipina sedang menunggu penumpang di kawasan Manila, Filipina, Sabtu (30/11/2019). Di Manila, cukup banyak moda transportasi konvensional khas. Selain pajak, ada pula Jeepney, eks mobil Jeep Willis tentara Amerika Serikat yang dimodifikasi menjadi angkutan umum.

Sayangnya, Angkas baru merambah wilayah Manila. Kawasan lain, seperti Subic, yang menjadi salah satu dari empat kluster penyelenggara SEA Games 2019, belum disentuh transportasi daring tersebut. Akibatnya, jika ingin ke mana-mana di lokasi bekas pangkalan militer Amerika Serikat itu, pengunjung harus menggunakan taksi konvensional atau Jeepney. Pilihan lain naik pajak atau becak khas Filipina.

Tampaknya, orang-orang Filipina belum sepenuhnya ”paham” bahwa wilayah lain juga butuh moda transportasi yang cepat, nyaman, dan aman selain di Manila.

Editor:
Johan Waskita
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000