Melawan Batasan Usia
Perjuangan lifter senior Lisa Setiawati dalam menjaga motivasinya meraih prestasi bisa menjadi cerminan bagi atlet-atlet muda yang kini membela ”Merah Putih” di SEA Games 2019.
MANILA, KOMPAS — Lisa Setiawati keluar masuk pemusatan latihan nasional angkat besi sejak 2012. Namun, dia tak kenal lelah berjuang meraih tempat sebagai duta olahraga Indonesia di ajang internasional. Lisa baru bisa meraih mimpinya itu saat berusia 31 tahun, pada SEA Games 2019 di Filipina.
Pada senja kala karier atletnya itu, Lisa bertekad mempersembahkan medali emas di kelas 45 kilogram. Namun, kesalahan kecil saat angkatan snatch, membuat Lisa ”hanya” bisa meraih perak di Stadion Ninoy Aquino, Kompleks Olahraga Rizal Memorial, Manila, Filipina, Minggu (1/12/2019).
Hasil itu melengkapi perolehan medali Indonesia yang berada di peringkat enam dengan 1 emas, 4 perak, dan 5 perunggu, hingga Minggu pukul 22.30 WIB. Emas diraih tim polo air putra. Empat perak dari angkat besi kelas 45 kg putri, sepak takraw hoop putri, kurash kelas -63 kg putri dan kelas -52 kg putri. Lima perunggu dari angkat besi kelas 55 kg putra, trilomba individual putra dan putri, kurash kelas +90 putra, serta ice skating senior perorangan putri.
Perjuangan Lisa pada SEA Games pertama dan terakhirnya, kemarin, bisa menjadi pelajaran bagi atlet-atlet yunior. Pada kesempatan terakhir angkatan clean and jerk, Lisa berusaha melampaui selisih angkatan 3 kilogram dari Vuong Thi Huyen (Vietnam).
Lisa mencoba melakukan angkatan 100 kg, jauh melampaui angkatan latihan, 95 kg. Ketika mengangkat beban, lututnya goyah dan Lisa terjatuh di lantai sebelum beban terangkat sempurna. Lisa langsung merebahkan diri di lantai panggung, menangis, menyesali kegagalannya meraih emas.
Lisa menempati peringkat kedua dengan total angkatan 169 kg (snatch 73 kg dan clean and jerk 96 kg). Emas diraih Vuong Thi Huyen dengan 172 kg (snatch 77, clean and jerk 95 kg). Perunggu diraih lifter tuan rumah Diaz Mary Flor dengan total angkatan 159 kg.
Saat pengalungan medali, Lisa masih menunduk dan menangis. ”Lisa, senyum Lisa! Naikkan dagu kamu! Kamu sudah melakukan yang terbaik!” teriak Deni, lifter kelas 69 kg.
Saat berjalan ke belakang panggung, Lisa juga masih menangis kecewa. Sejumlah pelatih dan tim ofisial berusaha menenangkan Lisa dan memberinya minum. ”Tenang Lisa, tenang...,” kata sejumlah pelatih.
”Mohon maaf, saya sudah berusaha maksimal. Untuk lifter muda saya berharap jangan mudah menyerah dan tetap semangat,” ujar Lisa.
”Umur bukan patokan prestasi, tetapi umur juga menentukan kita berada di mana. Saya menyesal kenapa dulu waktu muda saya tidak bersungguh-sungguh menjadi atlet. Menjadi atlet itu kita harus mengorbankan keluarga dan waktu. Tidak bisa menawar, tidak bisa mengeluh,” ujar Lisa.
Ini pesan kuat bagi 840 atlet ”Merah Putih” lainnya di Filipina, di mana sekitar 50 persennya atlet-atlet muda. Mereka belum berada di usia emas, juga masih minim pengalaman. Namun, prestasi bukan hal mustahil, jika diperjuangkan dengan segenap jiwa dan raga.
Motivasi itu di antaranya ditunjukan oleh atlet-atlet debutan cabang tenis, M Rifqi Fitriadi dan Priska Madelyn Nugroho. Setelah mendapat pengalaman pertama tampil di SEA Games, Rifqi dan Priska, akan menantang para unggulan.
”Saya akan menghadapi salah satu favorit juara di sini. Jelas, dia lebih banyak pengalaman. Saya akan berusaha bermain dengan sabar menghadapi Hoang,” kata Rifqi yang akan melawan unggulan ketiga, Hoang Nam Ly (Vietnam), pada babak kedua tenis tunggal putra.
Priska (16), atlet termuda di arena tenis, juga bertekad tampil sebaik mungkin meski harus berhadapan dengan unggulan pertama, Peangtarn Plipuech (Thailand), di perempat final. ”Saya akan berusaha fokus pada permainan sendiri,” ujar petenis yang masih berkompetisi dalam turnamen yunior itu.
Atlet-atlet yunior angkat besi juga mendapat tantangan serupa. Enam dari 10 atlet angkat besi merupakan atlet berusia di bawah 18 tahun. Mereka adalah Windy Cantika Aisah (kelas 49 kg), Juliana Klarisa (55 kg), Putri Aulia Andriani (59 kg), Bernadicta Babela Mei Study (64 kg), Tsabitha Alfiah Ramadani (71 kg), dan Rahmat Erwin Abdullah (73 kg).
Merawat motivasi
Atlet-atlet muda ini bisa berkaca pada kegigihan Lisa merawat mimpinya menjadi atlet elite sejak usia 17 tahun. Lisa telah melewati berbagai rintangan, mulai dari tidak direstui orangtua, hingga selalu kalah bersaing dengan rekan sepelatnas Sri Wahyuni Agustiani, peraih medali emas SEA Games 2013, serta perak Olimpiade 2016 dan Asian Games 2018.
Lisa merupakan anak pertama dari empat bersaudara pasangan Haryanto (56) dan Rohayati (51), yang mencari nafkah sebagai penjual nasi goreng keliling. Sebelum menjadi atlet, Lisa kerap membantu orangtuanya menyiapkan dagangan dengan menggoreng kerupuk, membuat acar, dan membuat bumbu nasi goreng. Lisa mengatakan, ia ingin menjadi atlet angkat besi karena melalui olahraga itu dia menemukan rasa kekeluargaan dan kebersaman. Melalui angkat besi, ia juga ingin membuat orangtuanya bangga.
Lisa berlatih angkat besi sejak 14 tahun lalu. Dia sempat dilarang orangtuanya karena angkat besi dianggap dapat mempengaruhi pertumbuhan tubuhnya. Apabila ketahuan berlatih, Lisa dihukum, bahkan sepatu olahraga pernah disembunyikan agar tidak berlatih.
Tetapi, Lisa tidak menyerah. Ia memberontak dengan tetap tekun berlatih dan mengikuti kejuaraan secara sembunyi-sembunyi. Pada 2006, Lisa menjadi runner-up dalam kejuaraan di Karawang, Jawa Barat. Hadiah lomba sebesar Rp 10 juta dipakai untuk membeli kulkas dan keperluan hidup lainnya. Melihat kesungguhan Lisa, orangtuanya akhirnya luluh dan merestui keputusan putrinya menjadi atlet.
Setelah menjadi juara pada sejumlah kejuaraan nasional, pada 2012 Lisa dipanggil ke pelatnas angkat besi. Ia mengisi kelas 49 kg bersama Sri Wahyuni. Beberapa kali, Lisa masuk-keluar pelatnas karena angkatannya selalu kalah dari Sri Wahyuni.
Namun, lifter putri itu tidak pernah menyerah. Lisa tetap berlatih di daerah asalnya, Kalimantan Timur. Lisa kembali dipanggil ke pelatnas awal tahun ini karena dianggap punya peluang bermain di kelas baru 45 kg pada SEA Games 2019.
Harapan untuk meraih emas muncul setelah Lisa meraih satu emas dan satu perunggu dalam Kejuaraan Dunia Angkat Besi 2019 di Pattaya, Thailand, September lalu. Dalam ajang itu, Lisa mengukir angkatan snatch 70 kg, clean and jerk 95 kg, dan total 165 kg. Hasil kejuaraan itu memotivasi Lisa untuk tampil lebih baik di SEA Games 2019.
Di Filipina, strategi meraih emas berantakan karena Lisa gagal melakukan angkatan pertama snatch 71 kg. Ketika itu, juri sudah menyatakan Lisa melakukan angkatan sempurna. Namun, oleh dewan juri angkatan itu dianulir. Tangan Lisa dianggap bergoyang saat melakukan angkatan.
Lisa harus mengulang angkatan 71 kg pada kesempatan kedua. Ia kemudian menyelesaikan angkatan ketiga 73 kg. Jumlah itu masih di bawah strategi yang hendak diterapkan, yaitu angkatan 75 kg. Dengan selisih 3 kg dari lifter Vietnam, Lisa harus mengubur mimpi meraih emas SEA Games.
Sebelum berlomba di SEA Games, Lisa pernah menuturkan bahwa dirinya memang menghadapi tantangan pada jenis angkatan snatch karena pernah cedera siku. ”Cedera sudah lama, sejak 2012. Tetapi, trauma pascacedera itu yang masih berbekas sampai sekarang,” kata Lisa.
Wakil Ketua Umum PB PABBSI Djoko Pramono menyayangkan keputusan yang menganulir angkatan Lisa. ”Seandainya angkatan pertama berhasil, Lisa bisa menaikkan angkatan menjadi 75 kg. Tetapi, karena angkatan itu gagal, tim pelatih harus mengubah strategi angkatan,” kata Djoko.
Meski gagal mengantongi medali emas seperti yang dicita-citakan, lifter senior peraih tiga medali Olimpiade Eko Yuli Irawan mengapresiasi penampilan Lisa. ”Saya tetap mengacungi jempol karena Lisa berani mengalahkan rasa takut. Selama ini Lisa takut untuk melakukan angkatan di atas 95 kg karena pernah cedera lutut. Lisa berani mencoba, dan mengalahkan rasa takut,” kata Eko.
Menteri Pemuda dan Olahraga Zainudin Amali di arena lomba memuji penampilan Lisa meskipun gagal meraih emas. ”Lisa luar biasa. Medali perak itu tidak mudah diraih. Lisa sudah membuat Indonesia bangga. Semoga ini menjadi penyemangat untuk atlet-atlet lainnya,” kata Zainuddin.
Prinsip berjuang total sebagai atlet juga ditunjukan oleh lifter Surahmat. Dia meraih perunggu kelas 55 kg di Filipina dengan total angkatan 250 kg (snatch 110 kg, clean and jerk 140 kg). Medali emas diraih lifter Vietnam Gia Thanh Lai dengan 264 kg (snatch 122 kg dan clean and jerk 142 kg). Perak diraih lifter Filipina John Fabliar Ceniza dengan total angkatan 252 kilogram.
Surahmat yang kini berusia 31 tahun, mengenal angka besi sejak 2004 di Blora, Jateng. Penghuni pelatnas sejak 2011 itu memegang teguh pesan orangtuanya, Suwoto (92) dan Sumini (85), jangan setengah-setengah membabat hutan. ”Artinya, begitu sudah memutuskan jadi atlet, ya harus berusaha terus sampai nanti jadi juara,” kata peraih perak kelas 56 kg SEA Games 2017 itu.
Topan Kammuri
Terkait potensi gangguan cuaca buruk, hantaman topan Kammuri diprediksi akan melanda Pulau Luzon, Filipina, Selasa (3/12). ”Manila yang berada di dekat selatan Luzon pun akan terimbas oleh kedatangan topan tersebut,” ujar Duta Besar Indonesia untuk Filipina Sinyo Harry Sarundajang di Manila, Sabtu lalu.
”Perlombaan layar di Subic dan sepeda di Batangas ditunda sehari. Sedangkan triathlon di Subic dipercepat satu hari. Itu untuk mengantisipasi dampak buruk dari kehadiran topan tersebut,” ujar Ketua Kontingen (CdM) Indonesia pada SEA Games 2019 Harry Warganegara.