Dinamika perebutan kursi ketua umum Partai Golkar menjelang perhelatan musyawarah nasional berpotensi memecah partai itu pada dua perhelatan munas yang berbeda. Elite Golkar perlu belajar dari sejarah sebelumnya.
Oleh
Agnes Theodora
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dinamika perebutan kursi ketua umum Partai Golkar menjelang perhelatan musyawarah nasional berpotensi memecah partai itu pada dua perhelatan musyawarah nasional yang berbeda. Elite Partai Golkar perlu belajar dari sejarah konflik yang panjang sebelumnya agar tidak mengulang perpecahan internal yang merusak.
Musyawarah Nasional (Munas) Partai Golkar akan digelar 3-6 Desember 2019 di Jakarta. Selain membahas persiapan partai menghadapi Pemilihan Kepala Daerah 2020 dan Pemilihan Umum 2024, munas akan menentukan sosok ketua umum yang memimpin Golkar selama lima tahun ke depan.
Hingga Minggu (1/12) sudah delapan bakal calon ketua umum Partai Golkar mengambil formulir pendaftaran sejak panitia penyelenggara munas membuka pendaftaran, Kamis (28/11). Namun, terlihat ada persaingan ketat antara Ketua Umum Partai Golkar saat ini Airlangga Hartarto dan Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Bambang Soesatyo.
Kemarin, pendukung Bambang menggelar konferensi pers yang intinya mengancam akan menyelenggarakan munas tandingan. ”Kalau kami menemukan tetap ada pelanggaran substansi, kami tegaskan kembali mempersiapkan munas,” kata juru bicara tim Bambang, Victus Murin.
Dia meminta panitia penyelenggara mengadakan munas sesuai dengan anggaran dasar/anggaran rumah tangga partai serta menghentikan intimidasi politik pada pengurus daerah pemilik hak suara. Loyalis Bambang juga menuntut Airlangga meminta izin tertulis kepada Presiden Jokowi sebelum maju di munas. Acuannya Undang-Undang Nomor 39/2008 tentang Kementerian Negara yang melarang menteri merangkap jabatan sebagai pimpinan organisasi yang dibiayai APBN/APBD.
Kubu Airlangga pun meminta kubu Bambang tidak mencoba mendelegitimasi munas. Ketua DPP Partai Golkar Ace Hasan Syadzily mengatakan, beberapa hari terakhir, Airlangga berkeliling ke sejumlah daerah. Namun, itu hanya untuk silaturahmi dan menampung aspirasi pengurus daerah. Ace membantah ada intimidasi.
”Tidak benar, dukungan diberikan atas tekanan. Dukungan (bagi Airlangga) dilakukan atas kesadaran dan inisiatif pengurus DPD provinsi dan kabupaten/kota,” kata Ace.
Ia membantah anggapan Airlangga tidak boleh rangkap jabatan sehingga perlu izin tertulis dari Presiden. Menurut dia, larangan rangkap jabatan sudah diuji materi pada 2010. Dalam putusan terhadap uji materi UU Kementerian Negara, Mahkamah Konstitusi membolehkan menteri merangkap jabatan ketua umum partai.
”Jika tidak ada niat dari awal menjadikan munas ajang menyatukan diri dan menjaga soliditas partai, yang ada di pikirannya memang hanya munas tandingan,” ujar Ace.
Persaingan antara Airlangga dan Bambang sudah berlangsung sejak jauh hari. Airlangga dan Bambang sempat bersepakat menyudahi persaingan. Sebagai syaratnya, Bambang yang menjabat Ketua MPR akan mendukung Airlangga sebagai ketua umum dan Airlangga akan mengakomodasi pendukung Bambang dalam alat kelengkapan dewan dan kepengurusan partai.
Tidak sama
Ketua Dewan Pengarah Partai Golkar Agung Laksono, yang ikut menjadi aktor dalam konflik internal Golkar pada 2014, mengatakan, suhu panas menjelang munas hal yang biasa. Situasi saat ini, ujarnya, tidak sama seperti 2014 sehingga ia meminta tidak perlu ada munas tandingan yang dapat berujung pada perpecahan.
”Saat itu (2014), sejak awal didesain hanya memenangkan satu orang. Sekarang tidak, jadi situasinya tidak sama. Tak perlu munas tandingan,” katanya. Ketua Dewan Pembina Partai Golkar Aburizal Bakrie, yang juga aktor konflik 2014, sempat mengimbau agar kader bisa menghindari gesekan saat pemilihan ketua umum dan menempuh musyawarah mufakat.
Ketua Dewan Kehormatan Partai Golkar Akbar Tandjung mengingatkan, untuk mencegah konflik, mekanisme pemilihan ketua umum harus kembali diserahkan kepada pemilik suara dan secara adil mengacu pada mekanisme AD/ART partai. ”Setiap kader punya hak untuk maju sebagai calon ketua umum,” ujar Akbar.
Babak belur
Dinamika ini bukan hal baru di Partai Golkar. Setelah reformasi, suksesi kekuasaan Golkar hampir selalu diwarnai konflik dan tarik-menarik kepentingan. Konflik di tubuh partai bahkan melahirkan partai-partai baru seperti Gerindra, Nasdem, dan Hanura.
Pada 2014, Golkar terpecah menjadi dua antara kepengurusan hasil Munas Ancol yang dipimpin Agung Laksono dan Munas Bali yang dipimpin Aburizal Bakrie. Konflik selama 1,5 tahun itu berujung pahit.
Pada pilkada serentak 2015, Golkar babak belur. Mesin partai di daerah yang ikut terbelah akibat konflik tidak dapat bekerja maksimal. Dari 134 pasangan calon yang ikut diusung Golkar, hanya 55 pasangan yang menang. Sementara dari 12 pasangan yang dicalonkan Golkar secara tunggal, tak ada yang menang.
Direktur Saiful Mujani Research and Consulting Sirojuddin Abbas menilai, Golkar perlu belajar dari sejarah. Golkar bisa kembali menghadapi ancaman elektoral yang sama jika gagal mengelola konflik. Golkar perlu kekompakan mesin partai di akar rumput agar tidak terpuruk di Pilkada 2020.
Akan tetapi, kata Sirojuddin, budaya persaingan di Golkar juga dapat menjadi hal positif. Di tengah tren partai-partai yang bergantung pada sosok patron yang sama bertahun-tahun, kompetisi di Golkar lebih terbuka sehingga partai tak dikuasai satu elite. Namun, Golkar harus bijak dalam mengelola perbedaan dan faksi-faksi di tubuhnya.