Mahumbal merupakan tradisi memasak khas suku Dayak di daerah Pegunungan Meratus yang dilakukan turun-temurun. Kegiatan memasak ini dilakukan di alam terbuka tanpa peralatan masak, hanya dengan bambu.
Oleh
JUMARTO YULIANUS
·4 menit baca
Aroma wangi nasi menguar ketika bambu yang diangkat dari perapian dibelah dan bungkusan daun lirik dibuka. Nasi panas itu segera saja menggugah selera makan. Rasanya sungguh gurih dan nikmat meski tanpa sayur dan lauk.
”Ini nasi dari padi gunung. Coba saja!” Mendengar tawaran itu, tanpa malu-malu lagi, beberapa pengunjung langsung mencicipi nasi panas berbalut daun lirik di stan kuliner warga Desa Kamawakan saat berlangsung Festival Mahumbal yang diikuti 11 desa se-Kecamatan Loksado di Loksado, Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Kalimantan Selatan, Sabtu (23/11/2019).
Nasi panas itu bertambah nikmat ketika para pemasak menyodorkan umbut si’it bakar, rebung manis bakar, dan daging ayam kampung yang juga dimasak di dalam bambu. Rasa nikmat makanan tradisional khas Loksado itu memang tiada duanya. Beberapa pengunjung tanpa malu menambah porsi makannya.
Mahumbal merupakan tradisi memasak khas suku Dayak di daerah Pegunungan Meratus yang dilakukan secara turun-temurun.
”Makanan seperti ini hanya dijumpai saat ada hajatan. Jadi, tidak setiap hari kami memasak makanan dengan menggunakan bambu,” kata Berhendwoly Dara (31), Sekretaris Desa Kamawakan, yang turut memasak nasi humbal dan iwak bapalan.
Nasi humbal adalah nasi yang dimasak di dalam bambu, sedangkan iwak bapalan ikan atau daging yang dimasak di dalam bambu dengan dibakar 1-2 jam. Cara memasak nasi dan ikan atau daging secara tradisional itu disebut mahumbal.
Mahumbal dilakukan bergotong royong oleh laki-laki dan perempuan. Laki-laki umumnya menyiapkan bambu dan perapian serta mengontrol pembakaran. Kaum perempuan bertugas membungkus beras dengan daun lirik atau daun batu, kemudian memasukkannya ke dalam bambu, serta membuat bumbu untuk ikan atau daging.
”Bumbunya macam-macam, seperti bawang, serai, kemiri, kunyit, kencur, dan asam saung. Sebelum dimasukkan ke dalam bambu, ikan atau daging harus dibumbui terlebih dahulu,” tutur Muryani (44), warga Desa Hulu Banyu yang ikut memasak iwak bapalan.
Menurut Muryani, tidak hanya nasi dan lauk yang bisa dimasak di dalam bambu, sayuran juga bisa di dalam bambu. Kadang-kadang, sayuran langsung dicampur dengan ikan atau daging di dalam satu bambu. ”Citarasa makanan yang dimasak di dalam bambu terasa beda, dan tentu saja lebih enak,” ujarnya.
Serba-alami
Berhendwoly mengatakan, citarasa makanan yang dimasak secara mahumbal terasa beda karena semuanya serba-alami. Bahan-bahan yang dimasak, peralatan untuk memasak, serta bumbu-bumbunya berasal dari alam sekitar. ”Kalau dulu, masakannya juga tidak pakai garam dan vetsin,” katanya.
Seiring perkembangan zaman, masakan iwak bapalan juga diberi sedikit garam dan vetsin. Itu untuk menyesuaikan dengan lidah kebanyakan orang zaman now. Namun, tak jarang garam dan vetsin disajikan terpisah bagi mereka yang tidak terbiasa makanan hambar dan tanpa penyedap rasa.
Tradisi mahumbal yang merupakan tradisi memasak tanpa peralatan masak dalam masyarakat Loksado dipertahankan hingga kini. ”Kalau tidak pas ada hajatan, mahumbalbiasanya dilakukan masyarakat saat berada di ladang, terutama pas musim tugal dan musim panen,” tutur Berhendwoly.
Hingga kini, sebagian masyarakat Loksado masih menjalankan tradisi berladang. Setiap tahun, mereka membuka lahan untuk ditanami padi. Namun, lahan yang digarap tahun ini bisa jadi pernah digarap lima tahun lalu. Karena itu, masyarakat setempat menyebutnya istilah ladang bergilir, bukan ladang berpindah.
Menurut Ketua Umum Kerukunan Suku Dayak Meratus Kalimantan Selatan Kapau Fauziono, mahumbal merupakan tradisi memasak khas suku Dayak di daerah Pegunungan Meratus yang dilakukan turun-temurun. Kegiatan memasak dilakukan di alam terbuka serta tanpa menggunakan peralatan masak.
Tradisi mahumbal berkait erat dengan tradisi berladang. Masyarakat yang tinggal di pondok ladang umumnya jarang memiliki peralatan masak, seperti panci dan kuali, sehingga memanfaatkan bambu. ”Mahumbal masih dilakukan sampai sekarang karena masyarakat di sini masih tetap berladang,” ujarnya.
Promosi digencarkan
Kepala Bidang Kebudayaan Dinas Pendidikan Kabupaten Hulu Sungai Selatan Sri Wiyono mengatakan, festival mahumbal dalam rangka melestarikan kuliner tradisional khas Loksado, yaitu nasi humbal dan iwak bapalan.
”Selama ini, mahumbal belum terlalu dikenal orang. Jangankan orang luar daerah, warga Hulu Sungai Selatan sendiri juga banyak yang belum mengenalnya. Tradisi ini khas Loksado dan baru dikenal di sekitar Loksado,” kata Wiyono.
Loksado yang berada di daerah Pegunungan Meratus masih menjadi destinasi wisata unggulan di Kalimantan Selatan. Daerah kecamatan yang berjarak sekitar 175 kilometer dari Kota Banjarmasin itu dikenal karena keindahan alamnya, kekayaan budaya, dan wisata olahraga arung jeram dengan rakit bambu (bamboo rafting) di Sungai Amandit.
Karena itu, bersamaan dengan perhelatan Festival Loksado 2019 yang berlangsung tiga hari di Loksado, 22-24 November, untuk pertama kalinya Pemkab Hulu Sungai Selatan menyelenggarakan festival mahumbal. Biasanya mahumbal hanya diadakan pihak kecamatan, terutama pada peringatan hari jadi Kecamatan Loksado.
”Dengan penyelenggaraan festival ini, kami ingin mempromosikan potensi kuliner lokal biar lebih dikenal orang luar. Ke depan, kami juga berupaya memperluas skala penyelenggaraan festival ini menjadi se-kabupaten Hulu Sungai Selatan supaya nasi humbal dan iwak bapalan semakin dikenal luas,” tuturnya.
Wangi nasi dan kelezatam ikan ”rasa bambu” Loksado sungguh luar biasa. Kekayaan tradisi yang patut dipertahankan dan dikenal luas.