Aturan Main Baru Diapresiasi dengan Sejumlah Catatan
Sejumlah poin dalam aturan main baru untuk mengimpor bahan baku industri daur ulang diapresiasi meski disertai catatan dan kritik. Aturan baru dalam Permendag Nomor 84/2019 ini dinilai masih memiliki celah dumping.
Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 84 Tahun 2019 bisa mengantisipasi masuknya sampah pencampur pada komoditas plastik. Namun, aturan ini dinilai masih bias.
JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah poin dalam aturan main baru untuk mengimpor bahan baku industri daur ulang diapresiasi meski disertai sejumlah catatan dan kritik. Aturan baru dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 84 Tahun 2019 tersebut dinilai masih memiliki celah terjadinya dumping. Ini berpotensi mengulang masuknya sampah dan residu bahan baku tersebut ke wilayah Indonesia.
Peraturan Menteri Perdagangan atau Permendag Nomor 84 Tahun 2019 tentang Ketentuan Impor Limbah Non Bahan Berbahaya dan Beracun sebagai Bahan Baku Industri ini menggantikan aturan main sebelumnya dalam Permendag Nomor 31 Tahun 2016 tentang Ketentuan Impor Limbah Non Bahan Berbahaya dan Beracun. Pada aturan baru ini, seluruh komoditi impor dalam regulasi baru membutuhkan rekomendasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Rekomendasi Kementerian Perindustrian. Pada peraturan sebelumnya, rekomendasi tidak diberlakukan bagi jenis kertas dan logam.
Pada aturan baru ini, seluruh komoditi impor dalam regulasi baru membutuhkan rekomendasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Rekomendasi Kementerian Perindustrian.
Penasihat Senior BaliFokus/Nexus3 Yuyun Ismawati, Senin (2/12/2019), di Jakarta, mengapresiasi sejumlah pasal dengan catatannya. Namun ia memberi kritik terkait masih diperbolehkannya impor jenis bahan baku daur ulang berupa “lain-lain” yang masih tertera dalam lampiran Permendag Nomor 84/2019.
“Masih diperbolehkan impor (HS Code/kode komoditas perdagangan) 470790 dan 391590. Itu mixed paper dan mixed plastics, biang kerok masuknya plastik dan sampah yang aneh-aneh,” kata dia.
Permendag 84/2019 juga tidak menyebutkan persentase pencampur atau “lain-lain” yang diperbolehkan. Meski dalam Pasal 3 sudah ditambahi persyaratan yaitu bahan baku tersebut bukan sampah dan tidak tercampur sampah serta homogen, Yuyun mengatakan persentase tersebut perlu diatur karena permendag masih membuka impor jenis "lain-lain".
Permendag 84/2019 juga tidak menyebutkan persentase pencampur atau “lain-lain” yang diperbolehkan.
Permendag hanya menyebutkan kriteria "tidak berasal dari kegiatan landfill serta bukan sampah dan tidak tercampur sampah" tersebut, yaitu tidak bercampur dengan tanah dan bersih. Informasi kriteria ini dengan lampiran yang masih memperbolehkan bahan baku dan lain-lain ini dinilai bias dan mengundang polemik serta membuka peluang masuknya sampah campuran. Minimal, kata dia, Indonesia seharusnya mencantumkan angka persentase kontaminan atau impuritas pada sampah dan lain-lain tersebut.
“Dan kalo 391590 (HS Code, plastik lain-lain) homogen, maksudnya gimana coba? Homogen campuran rupa-rupa plastik? Aneh,” kata Yuyun.
Terkait sejumlah catatan ini, ini belum ada pejabat terkait di Kementerian Perdagangan dan KLHK yang memberikan klarifikasi. Terkait impuritas ini, KLHK pernah bersikap dengan menyatakan persentase impuritas diusulkan sebesar 2 persen dan berangsur-angsur diturunkan hingga nol persen (100 persen bersih) dalam jangka waktu 3 tahun.
Baca juga: Tak Mau Kecolongan, Pemerintah Bentuk Satgas Pengawas Limbah Impor
Manajer Kampanye Perkotaan dan Energi Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Dwi Sawung mengatakan Permendag Nomor 84/2019 hanya bisa mengantisipasi masuknya sampah pencampur pada komoditas plastik. Untuk bahan baku daur ulang kertas, tidak banyak terpengaruh.
Padahal, permasalahan pencemaran sampah plastik seperti terjadi di Surabaya Jawa Timur dan Karawang Jawa Barat, berasal dari impor bahan baku kertas daur ulang. “Karena masih memungkinkan impor sampah kertasnya tercampur plastik,” kata dia.
Celah dari sisi surveyor
Ia pun mengkritisi masih terbukanya celah dari sisi surveyor. Meski permendag terbaru sudah mencantumkan sanksi lebih berat berupa pencabutan izin, menurutnya hal tersebut masih terlalu riskan. Pengalaman sebelumnya yang menunjukkan pengecekan oleh surveyor tidak berjalan baik, lanjut Sawung, seharusnya menjadi pembelajaran bagi pemerintah.
Ia menambahkan prinsip kehati-hatian pada komoditas impor bahan baku ini seharusnya diterapkan dengan memasukkan seluruh kontainer terkait ke jalur merah pelabuhan. Artinya, setiap kontainer dicek oleh petugas Bea dan Cukai untuk memastikan tidak ada sampah yang disisipkan dalam kontainer.
Prinsip kehati-hatian pada komoditas impor bahan baku ini seharusnya diterapkan dengan memasukkan seluruh kontainer terkait ke jalur merah pelabuhan.
Terkait surveyor ini, Yuyun Ismawati mengapresiasi karena membuka kesempatan surveyor lain untuk berkompetisi bisnis dalam mekanisme ini. Pada peraturan lama, hanya Sucofindo dan Surveyor Indonesia yang ditunjuk melakukan survei.
Ia pun mengapresiasi Pasal 27 dalam Permendag Nomor 84/2019 yang mengatur aturan main surveyor. Menurutnya, pasal ini bagus untuk mengawasi surveyor nakal yang selama ini berkontribusi membuat kekacauan dumping sampah plastik.
“Surveyor seharusnya mengecek barang di negara asal sebelum komoditi masuk ke dalam kontainer, dan di negara tujuan memeriksa barang yang masuk dengan cara membuka kontainer satu per satu. Kalau isinya berbeda dengan bill of ladings (daftar muatan), surveyor juga harus dikenakan sanksi karena mendeklarasikan kebohongan,” kata Yuyun.
Mengomentari Pasal 17, Yuyun pun menilai bagus karena menegaskan bahwa barang impor tersebut tidak boleh dipindahtangankan. Hanya saja, menurutnya aturan masih kurang ketat karena tak mengatur persentase bahan baku impor dari total kapasitas pabrik.
Yuyun berpendapat agar terdapat pembatasan setidaknya 50 persen dari kapasitas produksi pabrik. Ini agar perusahaan tidak mengimpor sebanyak mungkin dan membuka potensi pintu masuk dumping mixed wastes (sampah campuran/lain-lain). Selain itu, pembatasan pun untuk merangsang pemilahan sampah dalam negeri untuk diserap industri daur ulang.
Namun, ia memberi catatan kritis lain bahwa Permendag Nomor 84/2019 ini belum mewajibkan notifikasi pemberitahuan (informed consent notification) antar pemerintah dari negara pengirim ke negara penerima (Indonesia). Hal ini merupakan aturan main dalam Konvensi Basel yang telah diamandemen pada Mei 2019 dan berlaku 1 Januari 2021.
Permendag Nomor 84/2019 ini belum mewajibkan notifikasi pemberitahuan antar pemerintah dari negara pengirim ke Indonesia.
Ketentuan notifikasi pemberitahuan ini, lanjutnya, seharusnya dicantumkan sebelum Pasal 13 yang mengatur tentang verifikasi. “Kalau ada notifikasi awal sebelum barang dikirim ke Indonesia perusahaan/importir Indonesia bisa menerima atau menolak pengiriman barang itu. Apabila hal itu ada akan menjadi penyaring yang menguntungkan bagi perusahaan dan negara, sayangnya saya tak melihatnya pada Permendag 84/2019,” kata dia.
Hal lain, Yuyun pun mengkritik Permendag 84/2019 yang diundangkan pada 23 Oktober 2019 ini mulai berlaku 30 hari setelah diundangkan atau berlaku sejak 23 November 2019. Selain tidak adil bagi produsen dan importir, lanjutnya, pemerintah seharusnya memberi waktu setidaknya setahun untuk mempersiapkan infrastruktur penunjang permendag baru.
Kemudian, perubahan aturan tersebut harus disampaikan ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) dan negara-negara lain. Ia mencontohkan China yang menyampaikan notifikasi aturan baru dalam Operation Blue Sky kepada WTO, 2 tahun sebelum diberlakukan.
Selain itu, Dwi Sawung pun berharap agar pemerintah memasang target waktu untuk menghentikan impor bahan baku daur ulang yang sejatinya sampah dan bisa dipenuhi dari pengelolaan sampah dalam negeri. Ini pun seiring perintah Presiden Joko Widodo agar memaksimalkan pemanfaatan bahan baku daur ulang dari pengelolaan sampah dalam negeri.