Jarak Interval Waktu Antarbus Diduga Ikut Picu Kecelakaan Lalu Lintas
Aturan jarak interval waktu antarbus Trans-Jogja harus dievaluasi. Penerapannya diduga ikut memicu kecelakaan lalu lintas antara bus Trans-Jogja dan sepeda motor di Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, pekan lalu.
Oleh
NINO CITRA ANUGRAHANTO
·3 menit baca
YOGYAKARTA, KOMPAS — Aturan jarak interval waktu antarbus Trans-Jogja harus dievaluasi. Penerapannya diduga ikut memicu kecelakaan lalu lintas antara bus Trans-Jogja dan sepeda motor di Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, pekan lalu.
Hal itu terungkap sewaktu Ombudsman Republik Indonesia Daerah Istimewa Yogyakarta (ORI DIY) meminta klarifikasi kepada PT Anindya Mitra Internasional (AMI) mengenai pengelolaan bus Trans-Jogja, di Yogyakarta, Selasa (3/12/2019).
”Memang bus Trans-Jogja tidak ditargetkan setoran atau poin, tetapi bus ditargetkan memenuhi jarak interval antarwaktu. Dugaan sementara, hal itu ikut berkontribusi memicu kecelakaan,” kata Kepala ORI DIY Budhi Masturi.
Ia menyatakan, aturan jarak interval antarwaktu itu belum diubah sejak tiga tahun lalu. Padahal, kondisi lalu lintas dan kepadatan kendaraan di DIY sudah banyak berubah dalam kurun waktu tersebut. Jarak interval antarwaktu yang harus dipenuhi bus Trans-Jogja adalah 12 menit dari satu halte ke halte lain.
Jika waktu itu bisa terpenuhi, sopir bus trayek panjang bisa memperoleh waktu istirahat 25-30 menit. Sementara sopir bus trayek pendek bisa beristirahat selama 10-15 menit di terminal pemberangkatan. Terminal pemberangkatan berada di Halte Park and Ride Trans Jogja Ambarketawang, Terminal Giwangan, dan Terminal Jombor.
”Kalau bisa lebih cepat sampai ke terminal, pengemudi punya waktu istirahat lebih lama. Ini yang akan kami coba lihat apakah memang waktu istirahat yang diberikan itu memang cukup memadai atau tidak. Itu akan kami lihat lagi,” tutur Budhi.
Jika terbukti interval waktu menjadi penyebab kecelakaan, Budhi akan meminta PT AMI untuk mengevaluasi pemberlakuan aturan tersebut.
Selain itu, Budhi juga mengkritisi persoalan kualitas sumber daya manusia pengemudi bus. Menurut dia, pengemudi bus setidaknya bias dievaluasi kondisi psikologisnya setiap enam bulan sekali. Tujuannya, untuk mengetahui kesabaran dan kedisiplinan pengemudi bus di jalan raya.
Kepala Satuan Lalu Lintas Kepolisian Resor Sleman Ajun Komisaris Mega Tetuko mengatakan, pengemudi bus tidak berhenti saat lampu lalu lintas sudah berubah menjadi merah. Pengemudi bus tidak mengurangi kecepatan ataupun berhenti karena sudah telanjur melaju dengan kecepatan tinggi.
”Kami pastikan hasil pemeriksaan lampunya sudah merah. Pengemudi tidak mematuhi aturan yang ada,” kata Mega.
Kepala Sekretariat PT AMI Rina Yuwana mengungkapkan, pembinaan terhadap pengemudi bus selalu dilakukan. Dalam setahun, setiap bulan selalu ada pembinaan bagi pengemudi. Temanya bergantian setiap bulan. Pembinaan itu dilakukan untuk mencegah terjadinya kecelakaan lalu lintas yang melibatkan bus Trans-Jogja.
”Kami menyampaikan tentang peraturan lalu lintas yang harus ditaati dan harus disiplin juga pengemudi tersebut,” kata Rina.
Ia menambahkan, pihaknya memastikan ada sanksi bagi pengemudi yang terlibat kecelakaan itu. Hanya saja, ia mengikuti proses hukum yang berlaku. Pihaknya juga terbuka dengan segala masukan untuk meningkatkan layanan bus tersebut.