Dua hakim konstitusi pada 2020 akan mengakhiri tugasnya. Siapa pun pengganti keduanya harus segera diputuskan karena MK tak bisa bekerja jika hakimnya kurang.
Oleh
·3 menit baca
Undang-Undang (UU) Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (MK) menyebutkan, MK memiliki sembilan orang Hakim Konstitusi, yang diangkat dengan Keputusan Presiden, melalui jalur pilihan Presiden, DPR, dan Mahkamah Agung (MA). Masa jabatan hakim konstitusi adalah lima tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk masa jabatan berikutnya.
Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna, yang dipilih oleh Presiden Joko Widodo, akan berakhir tugasnya pada 7 Januari 2020. Palguna tak bisa diajukan lagi. Dia sudah dua periode menjadi hakim konstitusi (Kompas, 2/12/2019). Hakim konstitusi dari jalur MA, Suhartoyo, juga akan mengakhiri tugas pada 7 Januari 2020, tetapi dia baru satu periode di MK.
Presiden Jokowi sudah membentuk Panitia Seleksi (Pansel) untuk memilih calon hakim konstitusi. Pendaftaran sudah dibuka, dan setidak-tidaknya ada 17 calon yang mendaftar meskipun tidak semuanya mengikuti tahapan seleksi. Pansel yang dipimpin mantan Wakil Ketua MK Harjono akan memilih tiga calon, dan Presiden menetapkan salah seorang di antaranya menjadi hakim konstitusi. MA memiliki mekanisme tersendiri dalam menentukan calon hakim konstitusi.
Sesuai UU MK, syarat menduduki jabatan hakim konstitusi lebih berat ketimbang pejabat publik lain. Pasal 15 UU No 8/2011 menegaskan, hakim konstitusi harus memenuhi syarat memiliki integritas dan kepribadian yang tak tercela, adil, dan negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan. Latar belakang pendidikan hakim konstitusi juga harus doktor (strata tiga) dan magister (strata dua) dengan dasar sarjana pendidikan tinggi hukum, tak pernah dijatuhi pidana penjara, tak sedang dinyatakan pailit, serta memiliki pengalaman kerja di bidang hukum tak kurang dari 15 tahun.
Dari 267 juta penduduk RI, tak banyak yang bisa memenuhi syarat menjadi calon hakim konstitusi. Persyaratan itu kian tak mudah karena yang dicari untuk bertugas di MK adalah sosok negarawan. Tiada penyelenggara negara lain di negeri ini yang berhak menyandang gelar negarawan, kecuali hakim konstitusi. Mereka, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), adalah ahli dalam kenegaraan; ahli dalam menjalankan negara (pemerintahan); serta pemimpin politik yang taat asas menyusun kebijakan negara dengan pandangan ke depan, atau mengelola masalah negara dengan kebijaksanaan dan kewibawaan.
MK pernah terjerembap, jatuh tertelungkup di titik nadir, saat hakim konstitusi tak dapat menunjukkan sosok kenegarawannya, terjerat korupsi, seperti kasus Akil Mochtar tahun 2013 dan Patrialis Akbar (2017). Keduanya hakim konstitusi dari jalur DPR dan Presiden. Rumor terkait hakim konstitusi membuat kepercayaan rakyat pada MK merosot.
Jikalau ingin menjaga marwah MK, Presiden dan MA harus memilih negarawan yang tepat. Dengarkan suara rakyat yang jernih, dengan serius dan saksama, agar jangan salah pilih.