Pembangunan 12.000 rumah bersubsidi di Kabupaten Cirebon terancam gagal. BPN dan pemkab berkomitmen mencari solusi terkait perbedaan pandangan tentang RTRW.
Oleh
·3 menit baca
CIREBON, KOMPAS - Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Cirebon dan Pemerintah Kabupaten Cirebon berkomitmen mencari solusi atas terhambatnya pembangunan rumah bersubsidi. Kasus itu berpotensi mengurangi pendapatan asli daerah sekaligus merugikan pengusaha dan masyarakat.
”Kami akan bertemu dengan Bupati Cirebon (Imron Rosyadi) untuk membicarakan masalah ini,” ujar Kepala BPN Kabupaten Cirebon Lutfi Zakaria, Senin (2/12/2019), di Cirebon. Pertemuan itu diharapkan menuntaskan persoalan pembangunan rumah bersubsidi yang dinilai tidak sesuai tata ruang.
Sebelumnya, pengembang mengeluhkan belum diterbitkannya sertifikat hak guna bangunan (SHGB) induk oleh BPN Kabupaten Cirebon. Padahal, mereka telah mengantongi sejumlah persyaratan, seperti fatwa dan izin lokasi dari Pemkab Cirebon. Akibatnya, pembangunan sekitar 12.000 rumah bersubsidi terancam tidak terealisasi.
Setelah dicek dan diukur titik koordinatnya, ternyata lokasi tidak sesuai peruntukannya.
Menurut Lutfi, pihaknya hanya menjalankan aturan, tidak bermaksud menghambat investasi perumahan. Saat ini, pihaknya mengkaji 21 berkas pembangunan perumahan yang memenuhi pertimbangan teknis pertanahan. Pertimbangan dari BPN menjadi syarat mendapatkan SHGB induk. Pertimbangan itu memuat ketentuan dan syarat penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah dengan memperhatikan kesesuaian tata ruang.
Pembangunan perumahan di kawasan industri berkonsep bangunan vertikal. ”Setelah dicek dan diukur titik koordinatnya, ternyata lokasi tidak sesuai peruntukannya. Ada yang masuk LP2B (lahan pertanian pangan berkelanjutan). Ada yang di kawasan industri, tetapi bukan perumahan vertikal,” kata Lutfi yang baru memimpin BPN Kabupaten Cirebon satu bulan.
Hal ini bertentangan dengan Peraturan Daerah Nomor 7 Tahun 2018 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Cirebon 2018-2038. Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 15 Tahun 2018 tentang Pertimbangan Teknis Pertanahan Pasal 12 menyebutkan, penggunaan dan pemanfaatan tanah harus sesuai tata ruang. Dalam RTRW baru, LP2B seluas 40.000 hektar yang tersebar di 40 kecamatan tidak boleh beralih fungsi.
Sinkronkan pandangan
Menurut Lutfi, Pemkab Cirebon tentu memiliki dasar hukum saat memberikan fatwa lokasi kepada pengembang. Karena itu, pihaknya perlu menyinkronkan pandangan dengan Pemkab Cirebon. Pihaknya juga berkomunikasi dengan Kementerian ATR/BPN.
Kepala Bidang Tata Ruang Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Kabupaten Cirebon Uus Sudrajat mengatakan, fatwa atau izin pemanfaatan ruang untuk perumahan sesuai RTRW. ”Rabu (3/12) kami rapat dengan Pak Sekda,” katanya.
Ketua Real Estate Indonesia Wilayah III Cirebon Gunadi mendesak segera ada solusi dari pemkab dan BPN Kabupaten Cirebon agar sekitar 12.000 rumah bersubsidi dapat dibangun. ”Ini untuk memenuhi kebutuhan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah hingga 2021. Jika tidak, setiap pengembang bisa rugi Rp 3 miliar-Rp 5 miliar,” katanya.
Jika tidak ada solusi, investor bakal ragu berinvestasi di Cirebon.
Pengembangan perumahan di Wilayah III Cirebon cukup pesat. Setiap tahun, kata Gunadi, 7.000-8.000 rumah terealisasi di Kota Cirebon, Kabupaten Cirebon, Indramayu, Majalengka, dan Kuningan. ”Sekitar 40 persen dibangun di Kabupaten Cirebon. Setiap Juli-Agustus kuota rumah bersubsidi habis,” ujarnya.
Anggota DPRD Kabupaten Cirebon, Yoga Setiawan, mengatakan, bupati harus segera bersikap. Dalam PP No 24/2018 tentang Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi secara Elektronik, Pasal 98 menyebutkan, kepala daerah, termasuk bupati, berwenang menetapkan keputusan untuk menyelesaikan hambatan perizinan.
Jika tidak ada solusi, kata Yoga, investor bakal ragu berinvestasi di Cirebon. ”Pemkab rugi karena kehilangan pendapatan asli daerah. Saat ini, Rp 40 miliar. Padahal, tahun lalu Rp 60 miliar,” katanya. (IKI)