Persaingan calon ketua umum Partai Golkar pada musyawarah nasional di Jakarta diprediksi berlangsung sengit. Mekanisme pemilihan ketua umum yang akan ditentukan oleh peserta munas memengaruhi dinamika itu.
Oleh
Agnes Theodora WW / Dhanang David / Nina Susilo
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Persaingan calon ketua umum Partai Golkar pada musyawarah nasional yang akan dibuka Selasa (3/12/2019) ini di Jakarta diprediksi berlangsung sengit. Dinamika itu antara lain akan dipengaruhi mekanisme pemilihan ketua umum yang akan ditentukan oleh peserta munas.
Presiden Joko Widodo dijadwalkan membuka Munas Partai Golkar yang akan berlangsung hingga 6 Desember 2019. Kemarin, di Istana Merdeka Jakarta, Presiden menegaskan Munas Partai Golkar adalah urusan internal partai itu. Golkar dinilai mampu memilih pemimpinnya secara demokratis.
Saat ditutup, Senin (2/12), ada sembilan orang yang mendaftarkan sebagai bakal calon ketum. Mereka ialah Ali Yahya, Ridwan Hisjam, Indra Bambang Utoyo, Agun Gunandjar Sudarsa, Bambang Soesatyo, Achmad Annama, Derek Loupatty, Airlangga Hartarto, dan Aris Mandji.
Nanti akan dibahas di rapat pleno saat munas.
Pada tahap berikutnya, yaitu pencalonan, para bakal calon ketum itu harus membuktikan didukung minimal oleh 30 persen pemilik hak suara di Golkar. Namun, mekanisme pencalonan dan pemilihan ketum akan ditentukan peserta munas yang terdiri atas 560 pemilik hak suara. Mayoritas bakal calon ketum minta dukungan dibuktikan tertutup di bilik suara, demikian pula proses pemilihan.
Ketua Panitia Pengarah Munas Partai Golkar Ibnu Munzir mengatakan, dinamika pemilihan ketum saat munas akan tergantung pada mekanisme pemilihan. Para calon ketum perlu bernegosiasi dan bersepakat terlebih dahulu terkait mekanisme pemilihan dengan dimediasi panitia.
Selama ini memang ada konvensi tidak tertulis pemilihan saat munas dilakukan tertutup lewat bilik suara. Namun, Ibnu mengatakan, itu tergantung pada dinamika saat pembahasan tata cara pemilihan. ”Nanti akan dibahas di rapat pleno saat munas. Di sana nanti silakan diperdebatkan,” katanya.
Saling klaim
Kubu Airlangga mengklaim didukung 514 DPD provinsi dan kabupaten/kota. Dukungan itu disampaikan tertulis melalui kop surat bermeterai yang ditandatangani ketua dan sekretaris DPD. Dukungan itu didapat melalui safari politik Airlangga dan tim suksesnya ke beberapa daerah, beberapa pekan terakhir. Kemarin, kubu Airlangga melanjutkan konsolidasi dengan DPD se-Indonesia di Gading Serpong, Tangerang.
Beberapa tokoh senior partai ikut hadir, seperti Ketua Dewan Pertimbangan Akbar Tandjung, Ketua Dewan Pakar Agung Laksono, Ketua Dewan Pembina Aburizal Bakrie, Luhut Binsar Pandjaitan yang menjabat Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi.
Airlangga tampak yakin dengan dukungan mayoritas yang ia kantongi. Namun, menurut dia, mekanisme pemilihan akan diserahkan kepada panitia munas. Ia enggan berkomentar soal pandangan jika kondisi saat ini menguntungkan dirinya selaku petahana. ”Politik tak bicara untung rugi, tapi maslahat untuk masyarakat,” katanya.
Apa pun yang dilakukan orang lain, kalau takdir berkata lain, tak ada yang bisa membendungya.
Penantang kuat Airlangga, Bambang Soesatyo, menyindir perihal perbaikan tata kelola partai agar konsisten dengan AD/ART dan peraturan organisasi. Sampai kemarin, tim Bambang mengklaim mengantongi dukungan dari lebih dari 400 DPD tingkat provinsi dan kabupaten/kota.
Terkait mekanisme pemilihan ketum, Bambang menyerahkannya kepada pemilik suara di Golkar. ”Saya lebih percaya kepada takdir. Apa pun yang dilakukan orang lain, kalau takdir berkata lain, tak ada yang bisa membendungya,” ujarnya.
Peneliti Centre for Strategic and International Studies, Arya Fernandes, mengungkapkan, ketum terpilih harus bisa mengonsolidasikan pengurus pusat dan daerah untuk memperbaiki residu seusai persaingan di munas. Hal itu menjadi krusial karena tantangan Golkar ke depan tidak ringan.
Setelah reformasi, persentase perolehan suara Golkar pada pemilu terus turun. Pada Pemilu 1999, Golkar mendapat 22,44 persen suara. Angka itu turun pada Pemilu 2004 menjadi 21,62 persen. Pada Pemilu 2009 menjadi 14,45 persen, dan kemudian sebesar 12,31 persen pada Pemilu 2019. ”Ini tantangan yang tidak mudah bagi siapa pun yang nanti memimpin Golkar,” kata Arya.