Airlangga Hartarto diperkirakan terpilih kembali sebagai ketua umum di Munas Partai Golkar. Restu dari Istana dinilai turut berkontribusi dalam memuluskan proses tersebut.
Oleh
Agnes Theodora WW / Dhanang David / Kurnia Yunita Rahayu / I Gusti Agung Bagus Angga Putra
·4 menit baca
Setelah reformasi, bayang- bayang restu dari Istana selalu menaungi suksesi kepemimpinan Partai Golkar. Seolah mengamini pola yang terulang lintas periode itu, Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto yang juga Menteri Koordinator Bidang Perekonomian itu diperkirakan melenggang mulus menuju kursi ketua umum Partai Golkar 2019-2024.
Enam jam sebelum pembukaan Musyawarah Nasional (Munas) Partai Golkar di Jakarta, Selasa (3/12/2019), pengumuman melalui pesan singkat Whatsapp dari salah satu bakal calon ketua umum Golkar, Indra Bambang Utoyo, beredar di kalangan wartawan.
Bunyi pesan itu, ”Kami, ketua tim sukses BS (Bambang Soesatyo), Ahmadi Noor Supit, dan dua calon ketua umum, aku (Indra) dan Agun (Agun Gunandjar), akan konpers (konferensi pers) di Resto Satay House Senayan, Jalan Pakubuwono, jam 16 sore ini”.
Ada sembilan orang yang awalnya mendaftar sebagai calon ketua umum Partai Golkar. Mereka adalah Ali Yahya, Ridwan Hisjam, Indra Bambang Utoyo, Agun Gunandjar Sudarsa, Bambang Soesatyo, Achmad Annama, Derek Loupatty, Airlangga Hartarto, dan Aris Mandji. Meski demikian, sejak awal, kontestasi sengit mengerucut pada dua sosok, yaitu Airlangga dan Bambang.
Dalam konferensi pers di Satay House, tiga jam sebelum munas dibuka, bakal calon ketua umum ramai-ramai mengumumkan mundur dari kontestasi. Hingga kemarin malam, hanya Ridwan Hisjam yang tidak mengundurkan diri.
Pada saat bersamaan, Menko Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mempertemukan Airlangga dan Bambang di Kantor Kemenko Bidang Kemaritiman dan Investasi. Seusai pertemuan, Bambang menyatakan menarik diri.
Mundurnya Bambang dan para bakal calon ketua umum lain bukan kebetulan. Dalam waktu 24 jam, lobi-lobi dilakukan untuk mendorong para bakal calon mundur dari bursa ketua umum Golkar demi melancarkan Airlangga sebagai ketua umum secara aklamasi.
Senin (2/12) malam, Luhut dan tokoh senior Golkar, yakni Ketua Dewan Pembina Golkar Aburizal Bakrie, Ketua Dewan Pakar Golkar Agung Laksono, dan Ketua Dewan Pertimbangan Golkar Akbar Tandjung, mengumpulkan ketua dan sekretaris DPD Golkar tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Dalam pertemuan itu, DPD- DPD dikonsolidasikan untuk mendukung Airlangga.
Bambang mengatakan, ia mundur karena lobi-lobi Luhut dengan Airlangga, serta kesepakatan para tokoh senior Golkar pada Senin malam itu.
”Untuk menjaga persatuan dan mendengarkan saran senior. Saya tidak bisa melawan,” kata Bambang.Dari informasi yang dihimpun, kubu Bambang pada Senin malam masih ingin maju. Skenario munas tandingan juga masih disiapkan. Namun, musyawarah untuk mufakat terus disuarakan. Tidak hanya Luhut, tokoh senior Golkar yang lain, Jusuf Kalla, juga menghubungi Airlangga dan Bambang agar sepakat berkompromi dan bermusyawarah untuk mufakat.
”Saya sudah bicara dengan mereka (Airlangga dan Bambang), jangan bakar duitlah. Jangan sampai begitu, tidak ada habis-habisnya. Nanti akhirnya transaksional dan yang terpilih bukan yang terbaik, tetapi siapa yang paling kaya,” kata Kalla.
Luhut menjelaskan, sebagai tokoh senior Golkar, ia meminta kader tidak membentuk kubu-kubu, dan mengelola perbedaan pendapat dengan bijak tanpa membuat perpecahan. Apalagi di tengah kondisi ekonomi global yang tidak stabil. ”Kedewasaan Golkar menjadi kedewasaan emerging markets. Saya tidak mau ada gonjang-ganjing politik. Apalagi, Airlangga Menko Perekonomian,” ujar Luhut.
Tiga menteri
Desas-desus campur tangan Istana berembus beberapa hari sebelum munas. Pada Sabtu (30/11), loyalis Bambang, Syamsul Rizal, menyebut ada pertemuan tiga menteri, yakni Menteri Sekretaris Negara Pratikno, Sekretaris Kabinet Pramono Anung, dan Luhut, dengan pimpinan DPD Partai Golkar untuk konsolidasi dukungan ke Airlangga.
Presiden Joko Widodo menampik adanya intervensi dari pihak Istana dalam proses munas kali ini. ”Ada yang mengatakan bahwa pihak Istana melakukan intervensi. Saya jamin itu tidak ada,” ucap Presiden.
Presiden juga menampik keterlibatan Mensesneg yang dituding mengumpulkan DPD I dan DPD II Partai Golkar. ”Jika ada DPD dikumpulkan Mensesneg, maju sini ke atas panggung, akan saya beri sepeda. Setelah muncul kabar itu, saya langsung bertanya kepada Mensenseg, lalu beliau menampik hal itu,” kata Presiden.
Presiden Jokowi mengatakan, jika ada menteri di kabinet yang memanggil pengurus DPD, tentu berasal dari Partai Golkar. Ia menyebutkan beberapa nama, seperti Luhut Binsar Pandjaitan, Agus Gumiwang, dan Zainuddin Amali.
Sementara itu, Ketua Panitia Pelaksana Munas Adies Kadir mengatakan, skenario aklamasi diupayakan untuk menghindari perpecahan akibat kontestasi yang sengit. Lobi-lobi tidak hanya digencarkan ke Bambang sebagai penantang terkuat Airlangga, tetapi juga bakal calon ketua umum lainnya.
Ia membenarkan, faktor Presiden penting dalam lobi menuju aklamasi. ”Pak Jokowi tidak mau partai-partai (pendukungnya) pecah, apalagi partai besar seperti Golkar, karena bisa menggoyang stabilitas negara,” katanya.
Lintas waktu
Sejarah Partai Golkar menunjukkan, kontestasi pemilihan ketua umum di partai itu tidak bisa dilepaskan dari pengaruh kekuasaan eksternal.
Saat Munaslub 2016, Setya Novanto yang disebut mendapat dukungan Presiden memenangi kontestasi. Luhut juga sosok kunci dalam lobi-lobi saat itu. Kehadirannya tidak hanya sebagai senior Golkar, tetapi kerap sebagai utusan pemerintah. Luhut yang saat itu menjabat Menkopolhukam datang ke Bali dan mengumpulkan beberapa calon ketua umum, seperti Setya Novanto, Priyo Budi Santoso, dan Indra Bambang Utoyo.
Pada era Orde Baru, Ketua Umum Golkar adalah mereka yang dipercaya Presiden Soeharto yang juga Ketua Dewan Pembina Golkar. Pada era Reformasi, Presiden BJ Habibie dan Panglima ABRI Jenderal Wiranto, seperti ditulis Burhanuddin Napitupulu dalam Harakiri Politik Tokoh Nasional dan Elite Golkar, aktif melobi ketua DPD provinsi untuk memilih Akbar Tandjung, yang akhirnya memenangi Munaslub 1998.
Jusuf Kalla, yang menjadi Ketua Umum Golkar periode 2004-2009, juga tidak lepas dari restu pemerintah. Saat terpilih menjadi ketua umum pada Munas 2009, Aburizal Bakrie juga menjabat sebagai salah satu menteri di pemerintahan Presiden Susilo Bambgang Yudhoyono.
Demikianlah, setelah reformasi, persaingan kursi ketua umum Golkar kerap dilihat sebagai ajang adu restu penguasa dan unjuk kekuatan finansial.