Gagasan amendemen terbatas konstitusi terbukti telah menjadi isu liar, termasuk gagasan untuk memperpanjang masa jabatan presiden.
Oleh
·2 menit baca
Presiden Joko Widodo bereaksi keras terhadap wacana perpanjangan masa jabatan presiden dari dua periode menjadi tiga periode. Bagi Presiden Jokowi, ada tiga kemungkinan di balik usulan perpanjangan masa jabatan presiden. Pertama, menampar muka Presiden. Kedua, mencari muka pada Presiden. Dan ketiga, ingin menjerumuskan Presiden. Hal itu dikatakan Presiden Jokowi kepada pers di Istana Merdeka.
Ketiga kemungkinan itu semuanya bisa saja terjadi. Memang sudah menjadi tradisi pemegang kekuasaan untuk sebisa mungkin memperpanjang kekuasaan. Sejarah juga mengajarkan bagaimana Presiden Soeharto bisa memperpanjang periode kekuasaan Orde Baru hingga berkuasa 32 tahun dengan tafsir konstitusi yang amat lentur.
Sejarah juga pernah mengatakan bagaimana Ketua MPR Harmoko pernah meminta Presiden Soeharto untuk kembali bersedia dicalonkan sebagai Presiden Indonesia untuk periode 1998-2003. Alasannya, rakyat masih menghendaki Presiden Soeharto untuk terus melanjutkan pemerintahannya.
Namun, kenyataannya tiga bulan setelah itu, pada Maret 1998, demonstrasi mahasiswa mendesak Soeharto mundur, dan kemudian Harmoko sendiri membuat jumpa pers atas nama pimpinan DPR meminta Soeharto mundur. Soeharto pun akhirnya menyatakan berhenti sebagai presiden.
Elite memang selalu dengan mudah mengatasnamakan rakyat. Gagasan memperpanjang masa jabatan presiden memang bisa menggoda Presiden Jokowi. Apalagi, masih ada ambisi Presiden Jokowi untuk memindahkan ibu kota pemerintahan dari Jakarta ke Kalimantan. Program itu tidak mungkin diselesaikan dalam kurun waktu lima tahun.
Reaksi Presiden Jokowi soal wacana perpanjangan masa jabatan presiden haruslah dibaca bahwa Presiden Jokowi tidak mau masa jabatannya diperpanjang. Cukup 10 tahun dan tidak perlu diperpanjang! Bahkan, Presiden Jokowi mengatakan lebih baik tidak perlu amendemen konstitusi. Kita garis bawahi sikap politik Presiden Jokowi itu. Kekuasaan yang terlalu lama cenderung korup!
Dalam amendemen konstitusi bolanya ada di MPR, bukan di Presiden. Apakah konstitusi mau diubah atau tidak sangat tergantung kepada kemauan politik pimpinan partai politik atau 711 anggota MPR. Kita memandang di tengah permasalahan bangsa yang begitu berat, tekanan ekonomi global, praktik intoleransi dan radikalisme yang begitu berakar, korupsi yang terus merajalela, keadilan sosial yang belum sepenuhnya hadir, amendemen konstitusi bukanlah prioritas sekarang kini! Fokuslah pada isu utama bangsa ini.
Elite politik tidak perlu terus mengatasnamakan rakyat untuk mendorong amendemen konstitusi dan menggoda Presiden Jokowi dengan perpanjangan masa jabatan. Memaksakan amendemen konstitusi sekarang ini pun bisa membuat bangsa ini ambyar!