Keterlibatan pemerintah daerah terhadap pemantauan pelaksanaan sekolah rumah masih minim. Ketika para orangtua yang mengadakan sekolah rumah ingin lapor diri, justru dinas pendidikan di kabupaten/kota kebingungan.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Minimnya keterlibatan pemerintah daerah terhadap pemantauan pelaksanaan sekolah rumah atau homeschooling membuat para orangtua yang melakukan sekolah rumah meminta turunan dari Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 129 Tahun 2014 tentang Sekolah Rumah. Mereka juga meminta ketegasan pemerintah mendefinisikan sekolah rumah berbeda dengan pendidikan nonformal.
"Sekolah rumah (SR) pada arti yang disepakati secara global adalah situasi ketika orangtua memutuskan mendidik sendiri anak kandung atau pun anak perwaliannya di rumah. Oleh sebab itu di Permendikbud 129/2014 dikategorikan sebagai pendidikan informal," kata Koordinator Nasional Perkumpulan Homeschooler Indonesia (PHI) Ellen Nugroho dalam jumpa pers di Jakarta, Selasa (3/12/2019).
Ia menekankan, lembaga yang melaksanakan pendidikan di rumah, tetapi menggunakan pengajar profesional sejatinya adalah pendidikan nonformal. Permasalahannya, Permendikbud 129/2019 membagi SR menjadi tiga jenis, yaitu tunggal, majemuk, dan komunitas.
Apabila sekolah rumah tunggal dan majemuk dilakukan oleh satu atau beberapa keluarga yang berjejaring, sekolah rumah komunitas bersifat menyediakan pengajaran di rumah dengan memakai jasa lembaga pendidikan nonformal. Akibatnya, masyarakat salah memahami definisi sekolah rumah.
Selain itu, PHI juga menyoroti belum kolaboratifnya pemerintah daerah dengan para pelaku sekolah rumah. Permendikbud mengamanatkan melalui pasal 6 agar orangtua yang melakukan sekolah rumah mendaftar ke dinas pendidikan. Caranya dengan membawa Kartu Tanda Penduduk dan identitas diri anak; surat pernyataan orangtua bertanggungjawab menyelenggarakan pendidikan di rumah; anak berusia 13 tahun ke atas harus membuat pernyataan tertulis setuju bersekolah di rumah; dan rancangan pemelajaran yang diterapkan oleh keluarga tersebut.
Permendikbud mengamanatkan melalui pasal 6 agar orangtua yang melakukan sekolah rumah mendaftar ke dinas pendidikan.
"Ketika kami (para orangtua) ingin lapor diri, justru dinas pendidikan di kabupaten/kota kebingungan. Mereka bilang tidak memiliki metode pencatatan nama-nama anak yang bersekolah di rumah sehingga tidak bisa dimasukkan ke Data Pokok Pendidikan. Kalau begini, pemantauan keluarga benar-benar menyelenggarakan pemelajaran di rumah akan sulit," tutur Ellen.
Kewarganegaraan
Salah satu alasan jumpa pers tersebut adalah menganggapi hasil penelitian Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat Universitas Islam Indonesia Syarif Hidayatullah mengenai sekolah rumah dan kerentanannya terhadap penyusupan ideologi ekstrem, anti Pancasila, dan intoleran terhadap keragaman bangsa. (Kompas, 29 November 2019)
Penelitian tersebut menemukan memang ada beberapa sekolah rumah, baik berbasis tunggal, majemuk, dan komunitas yang tidak mengajarkan kewarganegaraan kepada anak maupun peserta didik. Sebagian dari mereka juga mengutarakan tidak mau bergaul dengan kelompok yang berbeda agama.
Ellen menuturkan, aturan turunan berupa petunjuk teknis dan petunjuk pelaksanaan mendesak dibuat agar dinas pendidikan bergerak mendata. Lembaga pendidikan nonformal secara aturan wajib berjalan dengan izin dinas pendidikan. Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat, Sanggar Kegiatan Belajar, tempat les, dan sekolah alternatif yang mengajar anak-anak tidak di sekolah formal sudah memiliki kejelasan izin dari pemerintah daerah.
Namun, sekolah rumah adalah pendidikan informal yang semestinya tidak menginduk ke lembaga pendidikan nonformal. Oleh sebab itu, butuh aturan yang lebih spesifik mengenai kaidah pelaksanaan dan sistem evaluasinya. Hendaknya dalam pembuatannya para orangtua pelaksana sekolah rumah dilibatkan.
Sekolah rumah adalah pendidikan informal yang semestinya tidak menginduk ke lembaga pendidikan nonformal.
Aturan juga untuk menegaskan komitmen orangtua bahwa mendidik anak di rumah harus menerapkan pelajaran Pancasila dan kewarganegaraan agar anak memiliki wawasan kebangsaan. Proses belajarnya disesuaikan dengan pola tiap-tiap keluarga.
Peneliti senior PPIM UIN Syarif Hidayatullah Didin Syafruddin yang turut hadir di jumpa pers mengatakan, lemahnya pengawasan pemerintah daerah yang mengakibatkan ideologi antikebangsaan bisa masuk ke sekolah rumah. "Jika sudah ada aturan resmi, pemerintah pusat dan daerah tidak bisa beralasan kekurangan orang untuk menjadi penilik," ujarnya.
Nomor Induk Kependudukan
Direktur Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini dan Pendidikan Masyarakat Kemdikbud Harris Iskandar menjelaskan, Permendikbud 129/2014 sesungguhnya sudah mengandung berbagai petunjuk teknis. Semestinya pemerintah daerah bisa langsung menerapkan. Justru, jika Kemdikbud membuat petunjuk teknis dan pelaksanaan tersendiri malah akan menambah waktu dan birokrasi.
Ia mengungkapkan, sosialisasi sudah diberikan kepada pemerintah daerah. Masyarakat memiliki kekuatan untuk mengadvokasi lebih lanjut mengenai sekolah rumah di wilayah masing-masing karena situasi di setiap kabupaten/kota berbeda.
"Terkait pendataan, Kemdikbud bersama Kementerian Dalam Negeri sedang memproses agar tidak ada lagi Nomor Induk Siswa Nasional. Semua anak akan tercatat di segala jenis lembaga pendidikan dengan memakai Nomor Induk Kependudukan. Nanti akan terlihat jumlah anak usia sekolah yang tidak terdaftar di sekolah, madrasah, maupun lembaga nonformal. Dinas pendidikan bisa bergerak memastikan anak-anak itu mengikuti SR, tidak putus sekolah," kata Harris.