Banyak harapan disandarkan kepada 15 komisioner Komnas Perempuan terpilih yang akan mulai bertugas pada 1 Januari 2020. Mereka diharapkan membawa Komnas Perempuan menjadi lembaga yang kuat dan diterima semua pihak.
Oleh
SONYA HELLEN SINOMBOR
·6 menit baca
Sidang paripurna Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) pada 22 November 2019 akhirnya memilih 15 komisioner untuk menjalankan lembaga negara independen tersebut lima tahun mendatang, periode 2020-2024. Lima belas komisioner tersebut berasal dari beragam latar belakang profesi, daerah, dan agama/kepercayaan.
Dari 15 komisioner yang terpilih, dua merupakan petahana Komnas Perempuan (periode 2014-2019), yakni Nahei (Jawa Timur) dan Mariana Amiruddin (Jakarta). Adapun 13 sosok lainnya baru pertama menjadi komisioner Komnas Perempuan, yakni Maria Ulfah Anshor (Jakarta), Dewi Kanti (Jawa Barat), Satyawanti (Mataram, NTB), Rainy Maryke Hutabarat (Jakarta), Olivia Chadijah Salampessy (Maluku), Th. Sri Endras Iswarini (Jakarta), Bahrul Fuad (Jakarta), Alimatul Qibtiyah (Yogyakarta), Siti Aminah Tardi (Jakarta), Tiasri Wiandani (Banten), Veryanto Sitohang (Medan), Andy Yentriyani (Kalimantan Barat), dan Retty Ratnawati (Jatim).
Mereka dipilih dari 20 nama calon yang diajukan panitia seleksi (pansel) calon anggota Komnas Perempuan setelah melalui tahapan seleksi sekitar enam bulan. Pada 22 November lalu, Pansel yang dipimpin Usman Hamid menyerahkan hasil seleksi kepada Sidang Paripurna Komnas Perempuan berdasarkan peringkat.
Ke-15 anggota Komnas Perempuan terpilih akan mulai bertugas pada 1 Januari 2020 setelah berakhirnya masa tugas anggota Komnas Perempuan periode 2015-2019 pada 31 Desember 2019. Komisioner baru merupakan periode ketujuh sejak Komnas Perempuan berdiri.
Meskipun jumlah komisioner sebanyak 15 orang dinilai masih terlalu gemuk,seperti yang pernah disampaikan Ketua Komnas Perempuan pertama, Saparinah Sadli, sejumlah pihak menaruh harapan besar kepada para komisioner terpilih.
Komisioner-komisioner baru tersebut diharapkan akan membawa Komnas Perempuan menjadi lembaga yang diterima oleh semua pihak. Tidak hanya dipercaya publik, keberadaan Komnas Perempuan diharapkan ke depan akan semakin ”diterima” oleh kementerian/lembaga, termasuk legislatif dan yudikatif, sehingga mampu mendorong perubahan kebijakan yang lebih baik yang melindungi perempuan dari berbagai kekerasan.
Komisioner-komisioner baru tersebut diharapkan akan membawa Komnas Perempuan menjadi lembaga yang diterima oleh semua pihak.
”Komnas Perempuan adalah lembaga independen setara kementerian yang memiliki peran untuk mendorong lahirnya kebijakan dan sistem untuk pencegahan kejahatan kekerasan terhadap perempuan dan penanganan korban kekerasan terhadap perempuan. Karena itu, ke depan peran advokasi kebijakan inilah yang perlu dikuatkan,” kata Sekretaris Jenderal Koalisi Perempuan Indonesia Dian Kartikasari di Jakarta, Sabtu (30/11/2019).
Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati berharap Komnas Perempuan yang berisi sosok dari berbagai latar belakang, bahkan beberapa memiliki pengalaman advokasi yang panjang, dalam lima tahun mendatang akan bekerja optimal. Bahkan, mencurahkan waktu dan tenaganya untuk lembaga tersebut.
Sebab, beberapa periode sebelumnya, meski jumlah komisioner 15 orang, kenyataannya tidak semua bekerja optimal sehingga gerak Komnas Perempuan tidak maksimal. ”Semoga mereka akan semakin sensitif terhadap masalah yang dihadapi korban, sesuai konteks, dan kebijakan yang masih melanggar hak perempuan di sejumlah wilayah Indonesia,” papar Asfinawati.
Beri ruang pada kalangan muda
Di luar harapan-harapan tersebut, sejumlah kalangan perempuan aktivis muda berharap ke depan ada ruang anak-anak muda menjadi komisioner Komnas Perempuan sehingga turut serta dalam kerja-kerja penghapusan kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan dan kelompok marjinal lainnya.
”Kami berharap keterlibatan publik, terutama anak muda, bisa dimulai sejak awal kepemimpinan. Misalnya bisa dilibatkan dalam penyusunan agenda strategis selama periode ke depan,” ujar Naila Rizqi Zakiah dari Jakarta Feminist Discussion Group.
Dian, Asfinawati, dan Naila berharap, selain penguatan di akar rumput, ke depan, Komnas Perempuan juga perlu memperkuat relasi dan kerja sama dengan multipihak, terutama dengan kementerian/lembaga yang memiliki peran strategis untuk penanganan kekerasan terhadap perempuan. ”Relasi dengan pemerintah dan DPR perlu diperkuat sembari tetap kritis akan sikap dan kebijakan pemerintah yang diskriminatif,” papar Naila.
Selain penguatan di akar rumput, Komnas Perempuan juga perlu memperkuat relasi dan kerja sama dengan multipihak.
Ketua Komnas Perempuan periode 2014-2019 Azriana Manalu mengatakan, anggota Komnas Perempuan terpilih merupakan sosok yang terbaik dan dilihat dari komposisi komisioner mereka bisa menjalankan rencana strategis Komnas Perempuan untuk lima tahun ke depan.
Hanya saja, ada sejumlah pekerjaan rumah yang harus diselesaikan para komisioner baru. Pertama, bagaimana memperkuat kapasitas kepemimpinan perempuan di semua sektor dan tingkatan dalam mendorong penghapusan kekerasan terhadap perempuan. Misalnya, advokasi RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, tantangan juga berasal dari beberapa kelompok perempuan.
Kedua, bagaimana menghadirkan mekanisme pemulihan yang komprehensif dan inklusif bagi semua perempuan korban kekerasan, baik dalam konteks terkini maupun konteks pelanggaran HAM di masa lalu, di tengah pengabaian hak korban yang terus berlangsung.
”Pekerjaan rumah lainnya adalah bagaimana membangun standar pengaturan sistem pencegahan kekerasan terhadap perempuan yang dapat menjadi acuan pemerintah, masyarakat dan korporasi, serta bagaimana terus menguatkan kelembagaan agar seluruh peran dan fungsi strategisnya sebagai mekanisme nasional HAM dapat dijalankan dengan optimal,” kata Azriana.
Pemilihan calon dipertanyakan
Kendati komisioner baru sudah terpilih, Sidang Paripurna Komnas Perempuan meninggalkan sebuah pertanyaan dan kritik dari sejumlah kalangan. Hal ini karena proses pemilihan terhadap 15 komisioner dinilai tidak sesuai dengan pemeringkatan yang dilakukan oleh pansel menyusul tidak terpilihnya beberapa nama yang berada di peringkat atas. Contohnya, calon Ruth Ketsia Wangkai yang berada di peringkat ke-6 tetapi tidak terpilih, sementara nama-nama di peringkat akhir masuk sebagai komisioner.
Padahal, dari 20 nama yang diserahkan pansel, semuanya sudah melalui proses seleksi panjang sehingga pemeringkatan nama-nama calon seharusnya menjadi indikator penilaian utama dari sidang paripurna dalam memilih para calon.
”Kami protes kepada Sidang Paripurna Komnas Perempuan yang mengganti nomor ranking 6 calon komisioner dengan ranking di bawah 15, bahkan ranking terbawah (ranking 20) diputuskan sebagai salah satu komisioner terpilih,” Hartoyo dari Komunitas Sayang Komnas Perempuan.
Kami protes kepada Sidang Paripurna Komnas Perempuan yang mengganti nomor ranking 6 calon komisioner dengan ranking di bawah 15.
Padahal, menurut Hartoyo, pemilihan calon komisioner sampai pansel merekomendasikan 15 nama berdasarkan peringkat membutuhkan waktu dan proses yang panjang. ”Sidang paripurna sama sekali tidak menghormati dan hargai apa yang telah dilakukan pansel dan publik,” kata Hartoyo.
Menanggapi protes tersebut, Azriana menegaskan, meski sidang paripurna untuk pemilihan berlangsung tertutup, pihaknya mengundang sejumlah mitra untuk hadir dan menyaksikan pemilihan, antara lain, Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), perwakilan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), dan perwakilan sejumlah organisasi organisasi masyarakat sipil.
Jika mengacu pada mekanisme pemilihan, menurut Azriana, sidang paripurna bisa mengganti nama calon sepanjang tidak melebihi 30 persen dari nama yang diberikan pansel apabila memiliki keberatan yang berkaitan dengan terpenuhi/tidaknya kriteria dan persyaratan oleh calon tersebut.
Soal pergantian salah satu calon yang masuk dalam urutan 10 besar, pertimbangannya adalah komposisi keberagaman. Pada proses persidangan paripurna yang berlangsung tertutup, pengesahan nama calon menjadi anggota dilakukan satu per satu berdasarkan peringkat yang diberikan Pansel.
”Calon pada peringkat 4 yang telah ditetapkan menjadi anggota memiliki kesamaan latar belakang (pendidikan, keahlian dan organisasi) dengan calon pada peringkat 6. Karenanya, calon pada peringkat 6 diganti daftar nama cadangan yang diberikan pansel,” kata Azriana.
Kendati demikian, Azriana mengakui hasil pemilihan tersebut bukan berarti semua sudah sempurna. Tetap ada hal-hal yang perlu diperbaiki untuk proses yang lebih baik di masa yang akan datang.