Di usianya yang ke-62, PT Pertamina (Persero) harus mampu membuktikan diri sebagai perusahaan kelas dunia sesuai visi perusahaan. Jangan sampai terperosok ke lubang yang sama dua kali.
Oleh
ARIS PRASETYO
·3 menit baca
Soeharto, Presiden RI ke-2, menyinggung secara khusus mengenai kinerja Pertamina dalam buku otobiografinya yang berjudul Soeharto: Ucapan, Pikiran, dan Tindakan Saya yang terbit tahun 1989. Pada cerita ke-44 dituturkan bahwa di tahun 1975 ia menemukan kesulitan yang tengah melilit perusahaan pelat merah tersebut. Salah satu penyebabnya adalah utang yang menumpuk sampai 10,5 miliar dollar AS ketika itu.
Utang menggunung akibat aksi korporasi di luar bisnis utama perusahaan. Di luar pengetahuan pemerintah, menurut Soeharto, Pertamina ditimbuni berbagai kewajiban keuangan yang melewati batas kemampuannya. Soeharto bahkan menyebut seandainya pemerintah tidak turut campur, pastilah Pertamina akan bangkrut dan tak bisa menyelesaikan masalahnya sendiri.
Pada akhirnya, masalah yang membelit Pertamina disebutkan bisa diselesaikan. Salah satu caranya adalah menjual sebagian aset Pertamina ke negara ataupun kepada pihak swasta. Selain itu, pemerintah mencopot Ibnu Sutowo, Direktur Utama Pertamina 1968-1976, dan mengangkat Piet Harjono yang menjabat hingga tahun 1981.
Soeharto menganggap masalah Pertamina itu merupakan pengalaman pahit dan layak jadi pelajaran bagi perusahaan-perusahaan milik negara. Betapapun aksi korporasi yang ditujukan untuk menyokong pembangunan apabila dilakukan tanpa perhitungan matang, akhirnya akan menemui kesulitan dan dipastikan berujung pada kegagalan.
Yang diungkap Soeharto di atas terjadi ketika Pertamina masih berusia 18 tahun. Bulan ini, persisnya 10 Desember, Pertamina menuju usia ke-62. Ibarat manusia, usia itu sudah berada pada tingkat kematangan tinggi. Sudah banyak makan asam garam kehidupan. Seperti itulah kira-kira.
Berbeda tatkala masih berusia 18 tahun, Pertamina saat ini tidak sedang dalam masa kebangkrutan. Bahkan, Pertamina jadi satu-satunya perusahaan asal Indonesia yang masuk dalam daftar Fortune Global 500 di 2019. Pemeringkatan perusahaan dalam daftar itu memakai indikator penerimaan, laba bersih, nilai kapitalisasi pasar, hingga jumlah karyawan.
Berada di urutan 175, melonjak dari posisi 2018 yang ada di peringkat 253, Pertamina mencatatkan penerimaan 57,93 miliar dollar AS untuk kinerja sepanjang 2018. Selain itu, perseroan meraup laba bersih 2,5 miliar dollar AS dengan aset 64,7 miliar dollar AS. Pertamina juga mempekerjakan 31.569 orang yang tersebar di seluruh dunia.
Bagaimana tantangannya di masa kini? Pertamina menghadapi tantangan yang cukup pelik, yaitu bagaimana meningkatkan produksi minyak dalam negeri. Produksi minyak dalam negeri saat ini kurang dari 800.000 barel per hari. Padahal, konsumsi bahan bakar minyak mencapai 1,5 juta barel per hari.
Tantangan lainnya adalah merealisasikan pembangunan kilang minyak untuk mencapai kapasitas produksi 2 juta barel per hari atau dua kali lipat dari kapasitas saat ini. Kilang baru sangat mendesak agar Indonesia tak terus-menerus mengandalkan impor BBM. Impor BBM adalah penyumbang defisit pada neraca perdagangan migas.
Membangun kilang baru dan merevitalisasi kilang-kilang yang ada butuh modal raksasa, yaitu sekitar Rp 500 triliun. Megaproyek tersebut tentu saja tidak mungkin didanai dari kas internal perusahaan saja, tetapi juga dari utang. Di sinilah Pertamina mesti cermat dan penuh kehati-hatian.
Selain memastikan pengerjaan kilang baru dan revitalisasi kilang yang ada tepat waktu, Pertamina harus cermat memilih mitra. Tantangan lain adalah tata kelola perusahaan harus dijaga sebaik mungkin. Pertamina harus bisa membebaskan diri dari praktik oknum pemburu rente di tubuh perusahaan. Apa yang menimpa Petral sudah cukup dan menjadi cerita di masa lalu.
Di usianya yang ke-62, Pertamina harus mampu membuktikan diri sebagai perusahaan berkelas dunia, sesuai visi perusahaan. Jangan sampai di usia yang matang ini, Pertamina malah terperosok ke lubang yang sama, dua kali.