Bertani Organik, Enam Desa Penyangga Stop Rambah TN Kerinci Seblat
Enam desa penyangga Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) sepakat menyelamatkan taman nasional itu dari perambahan liar. Penyelamatan tersebut lewat pemulihan lahan pertanian yang sudah ditinggalkan karena tandus.
Oleh
IRMA TAMBUNAN
·3 menit baca
MERANGIN, KOMPAS — Enam desa penyangga Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) sepakat menyelamatkan taman nasional itu dari perambahan liar. Penyelamatan tersebut lewat pemulihan lahan pertanian yang sudah ditinggalkan karena tandus.
Gerakan berlangsung di Desa Muara Madras, Renah Alai, Renah Pelaan, Pulau Tengah, Koto Renah, dan Koto Rawang, Kecamatan Jangkat, Kabupaten Merangin. ”Kami berharap gerakan ini terus meluas,” ujar H Gani, Asisten I Sekretaris Daerah Merangin, Provinsi Jambi, Kamis (5/12/2019).
Perambahan liar bertahun-tahun menghambat pelestarian taman nasional. Di sisi lain, masyarakat beralasan perambahan dilakukan karena banyak lahan kelola mereka dalam kondisi kritis akibat pupuk dan pembasmi hama kimia sewaktu mereka masih bertanam hortikultura.
Pembukaan dan perambahan TNKS serta penyangganya juga dipicu tren komoditas kopi yang memiliki nilai ekonomi. Luas kawasan TNKS dan kawasan penyangganya di Kabupaten Merangin 121.046 hektar, yang 35 persennya ada di dataran tinggi Jangkat.
Direktur Yayasan Mitra Aksi Suparlan Siswo menyebutkan, komitmen menyelamatkan TNKS lewat pertanian organik tertuang dalam SK bersama dan peraturan desa. ”Ada 36 kelompok berjumlah 656 petani yang bersepakat menjaga zona perlindungan dan konservasi penyangga TNKS melalui pertanian organik di lahan kritis desa,” katanya.
Saat ini ada 1.213 hektar lahan kritis di enam desa tersebut. Pertanian organik melibatkan petani perempuan sebagai ujung tombak kegiatan. Keterlibatan kelompok petani perempuan ternyata efektif menghidupkan gerakan tersebut. Sebab, mereka merasakan manfaat ekonomisnya.
Pertanian organik di lahan kritis ini terbukti menambah penghasilan keluarga dan menumbuhkan minat serta pengetahuan petani perempuan untuk bertanam sayur dan tanaman hortikultura yang sempat lama ditinggalkan. Di salah satu demplot seluas 300 meter persegi, misalnya, dihasilkan pendapatan Rp 5 juta.
Melihat pencapaian itu, petani lainnya terdorong menerapkan praktik serupa. ”Akhirnya mereka membuka lagi lahannya yang ditinggalkan,” lanjutnya.
Untuk mendukung perlindungan TNKS dan konservasi kawasan penyangganya, penanaman bibit agroforestri pada areal lahan kritis juga telah berjalan. Sebanyak 157.000 batang bibit kayu manis, surian, jeruk, dan alpukat telah ditanam di hamparan lahan kritis.
Ekosistem penting
Petani juga mengikuti sekolah lapang untuk meramu sendiri bahan formula alami penyubur tanah. Upaya penyelamatan kawasan TNKS mendapatkan dukungan Tropical Forest Conservation Action (TFCA) Sumatera sejak 2011.
Direktur Program TCFA Sumatera Samedi mengatakan, kawasan itu merupakan ekosistem penting sumber air di daerah hulu serta tempat hidup berbagai jenis flora dan fauna. Akan tetapi, kurang dari 20 tahun terakhir, di daerah penyangga ini terus mengalami tekanan dari masyarakat setempat dan pendatang.
Tekanan terjadi dalam bentuk perambahan dan alih fungsi hutan untuk dijadikan lahan pertanian serta perkebunan.
Data TFCA Sumatera, kawasan ini tempat ideal ratusan flora hingga habitat sejumlah populasi satwa langka. Misalnya, harimau sumatera, gajah sumatera, badak sumatera, kijang sumatera, dan lebih dari 372 jenis burung, termasuk 16 jenis burung endemik. Dari data itu pula diketahui ada 436 desa yang wilayahnya berbatasan langsung dengan kawasan TNKS.