Kita masygul dan kecil hati melihat hasil yang diperlihatkan Program for International Student Assessment (PISA) 2018 yang diselenggarakan oleh OECD.
Oleh
·2 menit baca
PISA memeriksa kemampuan siswa dalam membaca, matematika, dan sains. Hasilnya untuk ketiga bidang tersebut nilai rata-rata siswa Indonesia dalam rentang 371-396, di bawah nilai rata-rata global, yakni 500. Ini membuat peringkat Indonesia ada di urutan ke-66 dari 76 negara yang mengikuti tes PISA. Pada 2016, Indonesia berada di 62 dari 70 negara.
Sebaliknya siswa di China paling unggul dibandingkan negara lain yang disurvei. Mengutip Bloomberg, Fortune menyebutkan, keunggulan dalam membaca, matematika, dan sains akan menjadi cadangan kekuatan ekonomi masa depan dan dalam upaya mempertahankan kemampuan ekonomi.
Studi PISA di 79 negara ini menggambarkan betapa sulitnya memperbaiki pendidikan, kadang tak bersesuaian dengan sumber daya yang dikerahkan. Mengamati hal itu, Sekretaris Jenderal OECD (Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi) Angel Gurria mengatakan, ”Merupakan hal mengecewakan bahwa sebagian besar negara OECD tidak memperlihatkan perbaikan dalam performa siswa-siswanya sejak PISA pertama kali dilaksanakan tahun 2000.”
Bidang yang diases PISA fundamental. Membaca menunjukkan tingkat literasi. Matematika dan sains mencerminkan daya logika. Lemah dalam bidang-bidang itu menyiratkan siswa miskin wawasan dan lemah berpikir logis.
Hasil PISA 2018 bisa ditafsirkan dari dua sudut pandang. Pertama, jika dibandingkan dengan hasil 2016 yang tidak berbeda jauh, melahirkan kesimpulan suram. Kita bisa mengatakan, pantas jika banyak orang muda yang alih-alih jadi insan unggul, justru banyak yang tak rasional, tak bisa membedakan mana yang benar dan yang salah atau menyimpang.
Sudut pandang kedua, ada kecenderungan siswa-siswa kita menurun dalam tiga kemampuan itu. Di sini ironi. Pertama kita begitu euforik menyambut bonus demografi, era di saat penduduk Indonesia berusia produktif 18-53 tahun jauh lebih banyak. Namun, dengan hasil tes PISA dengan lama sekolah rata-rata hanya 8 tahun, sementara yang dihadapi era teknologi kecerdasan buatan, robotika, dan internet segala (IoT), yakinkah anak muda kita sanggup merespons tantangan?
Terkait dengan ekonomi, komentar tentang siswa China yang unggul dalam tes PISA sangat tepat. Ekonomi yang berkemajuan adalah ekonomi yang didukung inovasi, oleh riset, dan ini hanya bisa dilakukan oleh orang yang logikanya jalan, oleh mereka yang rasional. Sementara ekonomi kita masih ekonomi konsumsi, bukan ekonomi inovasi.
Kondisi ini membuat kita harus menempuh langkah tak biasa. Sistem dan metode pendidikan kita gagal menghasilkan insan unggul. Sebagian berargumen, tes PISA hanya mencakup sebagian kemampuan manusia, mengingat ada keunggulan lain seperti disinggung teori kecerdasan majemuk. Tetapi, untuk kompetensi keras/inti, kita harus berbesar hati menerima fakta ini, dan segera berbenah secara drastik dan fundamental.