Tanpa Transformasi Teknologi, Indonesia Terjerat ”Middle Income Trap”
Perbaikan daya saing dan produktivitas harus dibarengi pengadopsian teknologi baru. Tanpa transformasi teknologi, pertumbuhan ekonomi Indonesia terus tereduksi dan sulit keluar dari jebakan negara berpendapatan menengah.
Oleh
KARINA ISNA IRAWAN
·4 menit baca
NUSA DUA, KOMPAS — Perbaikan daya saing dan produktivitas harus dibarengi pengadopsian teknologi baru. Tanpa transformasi teknologi, potensi pertumbuhan ekonomi Indonesia akan terus tereduksi dan mustahil keluar dari jebakan negara berpendapatan menengah (middle income trap).
Director General Asian Development Bank Ramesh Subramaniam mengatakan, potensi pertumbuhan ekonomi Indonesia terus menurun seusai bonanza komoditas. Kendati terus turun dari kisaran 7 persen tahun 1990-an, potensi pertumbuhan ekonomi Indonesia masih bisa mencapai 5,4-5,5 persen.
Dana Moneter Internasional (IMF), Bank Dunia, memperkirakan perekonomian Indonesia tumbuh 5,1 persen pada 2020, sedangkan Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) memperkirakan 5 persen. Adapun perekonomian tahun ini, IMF, Bank Dunia, dan OECD memproyeksikan 5 persen.
Pada triwulan III-2019, perekonomian RI tumbuh 5,02 persen. Angka pertumbuhan triwulanan ini merupakan yang terendah sejak triwulan III-2017. Dari 5,2 persen itu, konsumsi masyarakat menyumbang 2,69 persen, yang diikuti investasi sebesar 1,38 persen.
”Potensi pertumbuhan ekonomi Indonesia terganjal persoalan daya saing dan produktivitas. Jangan lagi menjalankan skenario business as usual karena masih banyak ruang untuk mendorong pertumbuhan,” ujar Subramaniam dalam The 9th Annual International Forum on Economic Development and Public Policy di Nusa Dua, Bali, Kamis (5/12/2019).
Potensi pertumbuhan ekonomi Indonesia terganjal persoalan daya saing dan produktivitas. Jangan lagi menjalankan skenario business as usual karena masih banyak ruang untuk mendorong pertumbuhan.
Menurut Subramaniam, transformasi teknologi akan ”membuka kunci” perekonomian Indonesia yang selama ini tertahan di kisaran 5 persen. Karena itu, agenda perbaikan daya saing dan produktivitas dalam 5 tahun mendatang harus dibarengi pengadopsian teknologi baru. Jika tidak, potensi pertumbuhan ekonomi akan terus tereduksi.
Berdasarkan riset ADB dan Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan, transformasi teknologi akan menambah produk domestik bruto (PDB) Indonesia sebesar 2,8 triliun dollar AS pada 2040. Adopsi teknologi akan meningkatkan produktivitas, efisiensi energi, perencanaan dan pengganggaran, serta kualitas produk.
Pengadopsian teknologi baru juga berpotensi meningkatkan pertumbuhan ekonomi sekitar 0,5 persen. Pada 2040, sektor papan atas dikuasai industri permesinan dan kendaraan bermotor.
Yurendra Basnett, Country Economist ADB, mengatakan, perlambatan pertumbuhan ekonomi juga dipengaruhi rendahnya ekspansi sektor manufaktur. Perusahaan manufaktur di Indonesia yang aktif berinovasi dan melakukan riset kurang dari 6 persen. Pengadopsian teknologi, antara lain terkendala biaya yang tinggi dan keahlian tenaga kerja.
”Adopsi teknologi menjadi keniscayaan. Tanpa itu, produktivitas nasional sulit terakselerasi,” kata Basnett.
Pengadopsian teknologi harus dibarengi perencanaan jangka pendek (5 tahun), menengah (5-10 tahun), dan panjang (lebih dari 10 tahun). Menurut hasil riset, kata Basnett, adopsi teknologi baru berpotensi diterapkan Indonesia pada industri otomotif dan elektronik. Kedua sektor itu akan merajai pasar global masa depan.
Implementasi kebijakan
Basnett mengatakan, Indonesia sudah memulai transformasi teknologi dengan membangun infrastruktur fisik dan nonfisik, seperti Palapa Ring. Pembangunan infrastruktur harus dilanjutkan dengan membangun ekosistem riset dan meningkatkan kesadaran industri untuk berinovasi. Pemberian insentif fiskal dapat menjadi pematik.
”Langkah yang diambil Indonesia sudah tepat, tetapi eksekusi kebijakan butuh keseriusan,” ujar Basnett.
Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara mengatakan, peningkatan kualitas sumber daya manusia melalui perbaikan sistem pendidikan membutuhkan waktu 10-15 tahun. Karena itu, pengadopsian teknologi baru adalah keniscayaan demi mempercepat transformasi ekonomi Indonesia. Industri yang aktif melakukan riset akan diberi insentif pengurangan pajak penghasilan (PPh) badan mencapai 300 persen.
”Adopsi teknologi baru dibutuhkan untuk meningkatkan wirausaha muda dan inovasi,” kata Suahasil.
Pemerintah sudah menyusun peta jalan Revolusi Industri 4.0 yang diarahkan untuk meningkatkan produktivitas dan menurunkan biaya produksi. Pengeluaran kotor untuk riset dan penelitian juga ditingkatkan dari 0,1 persen produk domestik bruto (PDB) pada 2013 menjadi 1,5-2 persen PDB pada 2045. Pada 2020, alokasi dana abadi penelitian dalam APBN mencapai Rp 5 triliun.
Suahasil menambahkan, pengeluaran untuk riset akan ditingkatkan secara bertahap. Selain mengalokasikan dana abadi riset, pemerintah membentuk badan riset dan inovasi nasional untuk mengoordinasikan kegiatan penelitian dan pengembangan yang saat ini masih tersebar di sejumlah kementerian/lembaga.
Adopsi teknologi baru akan menyelamatkan Indonesia dari jebakan negara berpenghasilan menengah (middle income trap). Menurut kajian Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Indonesia akan keluar dari middle income trap pada 2036 dengan asumsi rata-rata pertumbuhan ekonomi 5,6 persen. Adapun PDB per kapita mencapai 16.877 dollar AS.