Partai Golkar akan mendorong perubahan sistem pemilu untuk memuluskan target menjadi pemenang Pemilu Legislatif 2024. Namun, soliditas internal dinilai masih menjadi tantangan.
Oleh
Agnes Theodora W / Dhanang David / Agnes Theodora W
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Partai Golkar bertekad mendobrak stigma sebagai ”partai nomor dua” dalam beberapa kali pemilihan umum. Golkar memasang target ambisius menjadi partai nomor satu pada 2024 di tengah tren suara partai yang terus menurun serta tantangan soliditas partai. Perubahan sistem pemilu jadi salah satu strategi yang akan didorong Golkar.
Dalam forum pemandangan umum pada hari kedua Musyawarah Nasional X Partai Golkar, di Jakarta, Rabu (4/12/2019), para peserta munas meminta agar Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto, yang akan kembali memimpin partai lima tahun ke depan, diusung sebagai calon presiden pada Pemilu 2024. Hingga pukul 22.15, dari 47 Dewan Pimpinan Daerah dan organisasi sayap partai yang berhak membacakan pandangan, sebanyak 45 sudah selesai membacakan pandangan. Dari jumlah itu, sebanyak 23 yang merekomendasikan Erlangga menjadi capres.
Selain itu, Golkar juga memasang target menjadi pemenang Pemilu Legislatif (Pileg) 2024. Kedua target itu dinilai cukup ambisius mengingat capaian Golkar setelah reformasi cenderung terus menurun. Terakhir, pada Pileg 2019, Golkar mendapat 12,31 persen suara, menempatkannya pada posisi ketiga dari sisi raihan suara. Namun, Golkar berada di posisi kedua dari sisi jumlah kursi di DPR RI.
Pasca reformasi, kader yang diusung Golkar tak terpilih pada pemilu presiden. Pada 2004, Golkar mengusung Wiranto sebagai pemenang konvensi nasional pemilihan calon presiden yang diselenggarakan partai itu. Namun, Wiranto kalah pada putaran pertama. Pada 2009, Golkar mengusung Jusuf Kalla, ketua umumnya, sebagai capres. Namun, Golkar kalah.
Pada Pilpres 2014, Golkar memilih tidak mengusung kadernya, tetapi mendukung kader partai lain, yaitu Prabowo Subianto-Hatta Rajasa. Pasangan itu kalah melawan Joko Widodo-Jusuf Kalla. Pada Pilpres 2019, Golkar mendukung Joko Widodo-Ma’ruf Amin, dan akhirnya menang.
Dalam pemaparan laporan pertanggungjawaban, kemarin, Airlangga merekomendasikan pemisahan penyelenggaraan pileg dan pilpres untuk 2024. Pemilu serentak pada 2019 lalu dinilai merugikan partai dan memecah fokus pemenangan, serta menyulitkan partai mengusung kadernya sendiri menjadi calon presiden.
Ubah sistem pemilu
Golkar juga mendorong perubahan sistem pileg dari proporsional daftar terbuka menjadi proporsional daftar tertutup. Artinya, jika partai mendapat kursi di suatu daerah pemilihan, partai yang akan menentukan siapa calon anggota legislatif yang lolos ke parlemen dari daerah pemilihan itu. Pada sistem proporsional terbuka, calon anggota legislatif dengan raihan suara terbanyak yang melenggang ke parlemen.
”Golkar perlu memperjuangkan revisi undang-undang (tentang pemilu), memisahkan kembali antara pileg dan pilpres, serta menyempurnakan sistem pemilu yang membuka peluang kemenangan Golkar,” kata Airlangga.
Di DPR, Golkar memegang posisi ketua Komisi II yang menggawangi urusan revisi undang-undang sistem politik dan kepemiluan. ”Selama ini, kami mengusung capres, terapi tidak pernah menang. Munas menganggap ke depan ini jadi modal penting. Makanya, ke depan, kami akan kaji perubahan sistem yang favorable untuk Golkar. Targetnya 2021 ini sudah harus selesai penataan sistem politik dan pemilu lewat revisi undang-undang,” kata Ketua Komisi II Ahmad Doli Kurnia.
Sementara itu, terkait dorongan dari peserta munas agar dirinya menjadi capres di Pemilu 2024, Airlangga enggan berkomentar banyak. ”Jawabnya bukan sekarang, nanti saja. Kalau ada dorongan, alhamdulillah, tetapi tentu kita harus melihat proses-proses yang ada,” katanya.
Sekretaris Jenderal Partai Golkar Lodewijk F Paulus mengatakan, jika desakan dari para peserta munas agar Airlangga menjadi capres semakin kuat, itu menjadi amanah yang harus dilaksanakan. ”Munas adalah forum pengambilan keputusan tertinggi partai. Kalau itu sudah disepakati, meski saya sendiri merasa ini terlalu dini, itu amanat yang harus dilakukan ketua umum nantinya,” katanya.
Meski demikian, Ketua Dewan Kehormatan Partai Golkar Akbar Tandjung mengingatkan, partai jangan gegabah mengajukan Airlangga sebagai capres. Tugas utama partai ke depan adalah menaikkan perolehan suara. Ia mengingatkan, pada 2014, Golkar mengajukan capres sejak jauh hari, Aburizal Bakrie, tetapi berujung kandas.
”Kalau dari pagi begini sudah dibicarakan, nanti jadi tidak fokus. Lebih baik fokus menaikkan suara di pileg agar relatif mudah kita mengajukan capres,” kata Akbar.
Komitmen rekonsiliasi
Selain tantangan sejarah elektoral yang tidak begitu prima, Golkar juga menghadapi tantangan konsolidasi organisasi setelah persaingan Airlangga dengan Ketua MPR Bambang Soesatyo. Meski Bambang akhirnya mundur dari pencalonan ketua umum Golkar, ada syarat yang disepakati untuk mencegah perpecahan dari kubu yang tidak puas. Ini membuat soliditas partai itu saat ini masih menghadapi tantangan.
Bambang mengatakan, ada beberapa nama loyalisnya yang diusulkan masuk dalam struktur kepengurusan DPP Partai Golkar. Bambang mengutus loyalisnya, Nusron Wahid, Robert Kardinal, Ahmadi Noor Supit, dan Darul Siska, untuk bicara rekonsiliasi dengan utusan Airlangga, yaitu Agus Gumiwang, Azis Syamsuddin, dan Melchias Markus Mekeng.
Bambang tidak menjelaskan secara rinci jaminan apa yang diberikan Airlangga untuk mengakomodasi gerbong politiknya. Namun, ia yakin, kesepakatan akan terpenuhi karena Airlangga telah berkomitmen menjaga munas tetap sejuk.
”Dalam politik, semua cair, dan akhirnya sangat tergantung pada niat baik setiap pihak untuk membesarkan Golkar,” ucap Bambang.
Menanggapi hal itu, Airlangga meminta agar soal rekonsiliasi tidak dipermasalahkan karena sebagian besar pendukung Bambang telah dilibatkan menjadi pengurus periode 2014- 2019. Ia enggan membahas hal itu lebih lanjut. ”Saya rasa itu tidak menjadi isu lagi karena mereka adalah pengurus Golkar yang saya rekrut dengan cara demokrasi,” katanya.
Secara terpisah, Peneliti Centre for Strategic and International Studies, Arya Fernandes, mengatakan, perpecahan internal akan membayangi target elektoral Golkar yang ambisius jika perbedaan faksi tak dikelola dengan baik. Perpecahan itu yang selama ini menggerus suara Golkar di pemilu.
”Ada banyak faksi di Partai Golkar yang perlu diakomodasi ketua umum. Jika tidak terakomodasi, itu berpotensi menimbulkan konflik setelah munas berakhir,” katanya.