Bau Menyengat dari Tubuh Konawe
Bau tak sedap tiba-tiba menyergap saat memasuki Kantor Pemerintah Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara. Bau itu semakin tajam saat beranjak memasuki lorong perkantoran pemkab itu, Senin (25/11/2019).
Bau tak sedap tiba-tiba menyergap saat memasuki Kantor Pemerintah Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara. Bau itu semakin tajam saat beranjak memasuki lorong perkantoran Pemkab Konawe, Senin (25/11/2019).
Bau menyengat tersebut ternyata berasal dari area toilet kantor Pemkab Konawe. Toilet terletak di lorong gedung lantai dasar, di antara pintu masuk menuju tangga ke ruangan Bupati dan Wakil Bupati Konawe.
Saat memasuki toilet, bau pesing sudah memadati seluruh sudut ruangan. Bercak-bercak hitam menjiplak di dinding toilet yang berwarna cerah. Di ruangan berukuran sekitar 10 meter x 10 meter itu tampak empat urinoar yang menganggur.
Di urinoar itu tidak terdapat selang penyalur air. Bercak kuning tampak jelas di bagian dasar urinoar. Pemandangan itu mulai mengimajinasikan dari mana bau tak sedap tersebut berasal.
Dekat wastafel, terdapat sebuah ember cukup besar berdiameter setengah meter. Namun, tidak ada gayung di ember yang terisi sedikit air itu. Sementara keran air di wastafel pun tak berfungsi. Toilet utama kantor pemkab itu seperti sudah lama menganggur.
Senin pukul 14.00 itu, suasana kantor pemkab tampak begitu sepi. Hanya terlihat tiga pegawai negeri sipil (PNS) yang bercengkerama di ujung lorong gedung.
Di lantai dua, ruang Bupati Konawe Kery Saiful Konggoasa digembok dari luar. Petugas keamanan menyampaikan, Bupati sudah tidak berkantor sejak Senin dua pekan lalu. Ruang Sekretaris Daerah Konawe Ferdinand juga kosong. Padahal, Ferdinand sempat memimpin upacara di halaman kantor pemkab pada pagi hari.
Hanya Wakil Bupati Konawe Gusli Topan Sabara yang masuk kantor siang itu. Gusli baru saja masuk kantor setelah istirahat makan siang. Di ruang tunggunya, terlihat tujuh orang sudah mengantre untuk bertemu.
Salah satu yang mengantre adalah guru dari Kecamatan Unaaha, Kabupaten Konawe, Saleh (52). Dia sudah menunggu dari pagi untuk meminta persetujuan pemindahan dinas ke tempat ibunya di Kabupaten Kolaka Utara.
Baca juga : Mencari Jalan Pintas demi Dana Desa
”Cukup sulit menemui Pak Bupati dan Wakil Bupati. Saya sudah seminggu lebih menunggu, tetapi baru terlihat di kantor hari ini,” kata guru sekolah dasar yang mengajar mata pelajaran Agama tersebut.
Suasana kantor yang terbengkalai ternyata tecermin di hampir seluruh kawasan pemkab. Jalan-jalan di sekitaran area menuju Kantor DPRD Konawe, Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah Konawe, serta Kepolisian Resor Konawe terlihat rusak dan berlubang parah.
Masjid Raya Lakidende, terletak 1 kilometer dari kantor bupati, masih masuk dalam area pemkab, juga tidak terurus. Area parkir masjid sudah ditumbuhi rumput-rumput liar setinggi 5 sentimeter.
Masjid megah berwarna biru tua yang masih ramai digunakan untuk shalat Jumat itu menjadi sasaran aksi vandalisme.
Baca juga : Data Fiktif Desa Mengarah Pidana
Salah satu warga setempat yang baru selesai melakukan shalat Jumat, Subohan (41), mengatakan, kondisi masjid memang tidak terurus belakangan ini. Tidak ada lagi pekerja yang ditugaskan khusus untuk membersihkan rumah ibadah tersebut.
”Dulu, pas zaman bupati sebelumnya, ada petugas khusus. Jadinya bersih dan terawat. Sekarang sudah tidak ada. Lihat saja di dinding luar bagian atas masjid sudah tumbuh rumput liar,” tutur penduduk asli Kecamatan Unaaha itu.
Kusut administrasi
Kondisi fisik semrawut area pemkab seperti mewakili kondisi administrasinya. Sebelumnya, medio November 2019, pemkab baru saja dinyatakan menggunakan peraturan daerah cacat hukum sebagai pengajuan dana desa untuk 56 desa.
Pernyataan itu disampaikan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). Perda No 7/2011 tentang Pembentukan dan Pendefinitifan Desa-desa di Wilayah Kabupaten Konawe dinyatakan tidak melewati pembahasan di DPRD.
Baca juga : Desa yang Lengang dan Perda Akal-akalan
Investigasi Kompas mengungkapkan, perda tersebut direkayasa dan dibuat dengan tanggal mundur. Perda itu dibuat oleh oknum pejabat daerah pada 2014-2015 agar desa baru di Konawe tetap bisa menerima dana desa.
Di luar perda cacat hukum, pemkab juga menghasilkan dua perda kontroversial tentang pembentukan dan pendefintifan desa, yakni Perda No 7/2012 dan Perda No 1/2014. Perda itu menabrak aturan moratorium pemerintah pusat yang melarang pembentukan desa baru sesuai Surat Mendagri No 140/418/PMD pada Januari 2012.
Ketua Ikatan Mahasiswa Indonesia Konawe (IMIK) M Ikram Pelessa mengatakan, kejanggalan-kejanggalan administrasi ini memang seperti disengaja. Sebab, hal itu sudah terjadi berkali-kali. ”Sudah banyak kasus yang berakhir di ranah hukum,” ucapnya.
Pemkab Konawe sudah berkali-kali tersandung kasus dugaan korupsi saat masa jabatan Bupati Kery (2013-sekarang). Pada 2015, Badan Pemeriksa Keuangan menemukan Rp 34,9 miliar sisa anggaran tunjangan guru yang tidak jelas peruntukannya. Setahun setelahnya, pemkab tersandung kasus dana block grant karena belum mempertanggungjawabkan dana bantuan sebesar Rp 55,5 miliar.
Teranyar, pemkab terlibat kasus penyalahgunaan dana pendidikan dan kebudayaan yang membuat kerugian negara hingga Rp 4,2 miliar. Dari kasus ini, Jumrin Pagala, Pelaksana Tugas Kepala Dinas Pendidikan Konawe pada 2016, dihukum penjara 20 bulan.
”Karena itu, untuk kasus perda bodong ini, pasti ada permainan lagi yang tujuannya untuk mendapatkan dana desa,” lanjut Ikram yang juga menjabat Wakil Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Indonesia.
Ikram bersama IMIK telah melaporkan kasus dugaan perda bodong ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Mei 2019. Ia meyakini, Bupati Kery, Wakil Bupati Gusli, dan Ketua DPRD Konawe Ardin turut terlibat dalam rekayasa perda.
Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah Robert Na Endi Jaweng menuturkan, pembentukan perda bodong merupakan pemalsuan dokumen negara. Dokumen itu kemudian yang menjadi dasar penyaluran dana desa ke desa-desa yang tidak memenuhi syarat. Ia menyebut itu sebagai bentuk korupsi kebijakan yang amat serius.
Menanggapi hal itu, Gusli menyatakan, beberapa perda yang dibuat setelah aturan moratorium semata-mata untuk kepentingan masyarakat. Dia, yang masih menjabat Ketua DPRD saat Perda No 7/2012 dan Perda No 1/2014 dibuat, mengaku sadar menabrak aturan pemerintah pusat.
”Pemerintah, kan, harus sama dalam memperlakukan 1 jiwa dan 100 jiwa. Wilayah kami, kan, sangat luas. Wajib hukumnya pemerintah berada di sana,” lanjutnya.
Gusli justru melempar kesalahan kepada pemerintah provinsi dan pusat. ”Seharusnya kalau memang perda itu salah, kan, diverifikasi dulu oleh pemprov. Ini kenapa bisa lolos sampai Kemendagri,” ujarnya.
Pejabat yang maju dalam pilkada dari Partai Amanat Nasional itu justru meminta agar peraturan pemerintah pusat yang harus diubah. Beberapa di antaranya aturan moratorium dan syarat pembentukan desa yang mengharuskan standar jumlah jiwa.
Baca juga : Rekayasa demi Dana Desa
Salah urus
Dengan runyamnya urusan administrasi dan dugaan korupsi, tidak heran keuangan Konawe ikut berantakan. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Konawe mengalami defisit anggaran dalam beberapa tahun belakangan.
Lemahnya pengaturan keuangan turut mengorbankan nasib perangkat desa. Honor aparat desa pada 2019 di Konawe belum dibayarkan sama sekali. Bahkan, bayaran pada 2018 masih menunggak tiga bulan.
Anggota Badan Permusyawaratan Desa Lerehoma, Ikhsan, mengungkapkan, pembayaran honor terakhir adalah pada akhir 2018. Uang itu untuk membayar honor pada pertengahan tahun.
”Setelah itu, belum dibayarkan lagi. Semuanya, dari sekretaris desa sampai perangkat-perangkatnya, tidak dibayar. Tahun ini belum sebulan pun dibayar,” ucap Ikhsan.
Tidak terbayarnya honor membuat perangkat desa tidak menjalankan aktivitas berkantor sejak awal tahun. Hal itu terlihat dari Kantor Desa Lerehoma yang kosong dan terbengkalai.
Di Desa Arombu Utama, Kecamatan Latoma, Kabupaten Konawe, honor aparat desa juga belum dibayarkan. Jumlah aparat desa di desa ini mencapai 30 orang dari jumlah penduduk yang hanya 126 jiwa.
”Padahal, sejak mekar (2015), pengangguran di sini berkurang. Banyak yang dapat pekerjaan jadi aparat desa. Sekarang ada pekerjaan, tetapi honornya tidak dibayar,” kata mantan Pelaksana Kepala Desa Arombu Utama Murad Barahima.
Pelik. Begitulah gambaran utuh dari Pemkab Konawe. Kesemrawutan sudah bermula dari hal paling kecil, yakni mengurus toilet, hingga hal-hal lain, seperti administrasi dan keuangan. Agaknya, ada benarnya wejangan yang kerap disampaikan orang tua. Kalau mengurus hal kecil saja tidak benar, apalagi yang besar?