Cegah Konflik dengan Harimau, Warga Sumsel Diimbau Tidak Berkebun di Hutan Lindung
Aktivitas manusia masih saja menjadi pemicu utama munculnya konflik yang melibatkan harimau sumatera. Warga diminta tidak berkebun dalam kawasan hutan lindung yang jadi habitat harimau.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·3 menit baca
PAGAR ALAM, KOMPAS — Aktivitas manusia masih saja menjadi pemicu utama munculnya konflik yang melibatkan harimau sumatera. Warga diminta tidak berkebun dalam kawasan hutan lindung yang jadi habitat harimau.
Dalam sebulan terakhir, terjadi empat konflik antara harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae) dan manusia. Dari kejadian itu, dua orang tewas dan dua orang lainnya terluka. Konflik itu terjadi karena korban memasuki hutan untuk membuka lahan perkebunan baru.
Kepala Dinas Kehutanan Sumatera Selatan Pandji Tjahjanto, Jumat (6/12/2019), mengatakan, setelah konflik antara manusia dan harimau sumatera yang menimbulkan korban jiwa di Desa Tebat Benawa, Kecamatan Dempo Selatan, Kota Pagar Alam, pemerintah melarang aktivitas di dalam hutan lindung. Praktik itu rentan memicu konflik manusia dengan harimau.
Pandji menjelaskan, konflik itu terjadi di Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Kikim Pasemah dan KPH Dempo. Dia mengakui kesulitan mengawasi seluruh aktivitas warga di dalam kawasan hutan karena keterbatasan sumber daya manusia. ”Jumlah petugas polisi hutan yang ada sangat terbatas,” katanya.
Di KPH Kikim Pasemah, misalnya, hanya ada lima petugas polisi hutan untuk mengawasi kawasan seluas 113.889 hektar. Sementara di KPH Dempo hanya ada dua polisi hutan menjaga lahan seluas 26.064 hektar.
Oleh karena itu, untuk memaksimalkan pengawasan, pihaknya bakal bekerja sama dengan lembaga swadaya masyarakat yang menangani harimau dan Balai Konservasi Sumber Daya Alam Sumsel. Tujuannya, mencari formula tepat agar tidak ada lagi aktivitas manusia yang rentan mengganggu habitat satwa.
”Kita perlu peran dari semua pihak karena mereka memiliki keahlian menangani harimau,” kata Pandji.
Jumlah petugas polisi hutan yang ada sangat terbatas (Pandji Tjahjanto).
Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Sumsel Hairul Sobri menuturkan, meningkatnya konflik di dalam kawasan hutan tidak lepas dari habitat swasta yang terdegradasi. Alih fungsi lahan hutan menjadi perkebunan, pertambangan, dan eksploitasi energi panas bumi marak di sekitar habitat harimau sumatera.
”Seperti di Lahat, ekspansi tambang batubara sangat masif dalam dua tahun terakhir,” katanya. Selain itu, ada juga eksploitasi panas bumi di Muara Enim.
Menurut Hairul, dengan ekspansi yang masif ini, ekosistem menjadi tidak seimbang. Mata air bakal berkurang, pohon dan tanaman berkurang, serta minimnya hewan mangsa. Kerusakan bentang hutan di Bukit Barisan bukan hanya di Sumsel, melainkan juga di Riau, Bengkulu, dan Lampung. Bahkan, penampakan harimau sumatera juga terjadi di Riau.
Menurut Hairul, masyarakat sebenarnya adalah korban dari konflik ini. Mereka terpaksa memasuki kawasan hutan karena berkurangnya lahan untuk bertanam. ”Semua sudah habis karena terus diberikan izin untuk perusahaan,” kata Hairul.
Kepala Seksi Konservasi Wilayah II Lahat BKSDA Sumsel Martialis Puspito mengatakan, aktivitas manusia di dalam habitat harimau sangat rentan memicu konflik. Dari tiga kasus di Tanjung Sakti Pumi dan Tebat Benawa, korban diduga membuka lahan untuk perkebunan kopi.
”Kami tidak mungkin mengevakuasi harimau karena itu memang tempat tinggalnya. Seharusnya, manusia yang keluar dari habitat harimau ” kata Martialis.
Konflik juga rawan terjadi di kawasan area penggunaan lain yang beririsan langsung dengan kawasan hutan. ”Itu memang menjadi kawasan jelajah dari harimau,” katanya.
Dia menduga, konflik yang terjadi di kedua tempat tersebut dilakukan seekor harimau yang sama. Bahkan, ujar Martialis, di Desa Tebat Benawa diduga dilakukan di saat yang hampir bersamaan karena jarak lokasinya hanya 200 meter.
Martialis berharap ada kebijakan lanjutan yang bisa diberikan pemerintah daerah untuk menangani konflik, termasuk memperkuat tim penanganan konflik satwa. Dia juga berharap agar kawasan Dempo yang masuk dalam kawasan hutan tidak lagi dijadikan tempat wisata lantaran sangat berisiko tinggi konflik.