Kontrak gas mayoritas pabrik pupuk berakhir tahun 2021-2022. Produksi gas cenderung turun, sementara permintaannya naik. Tanpa kepastian pasokan gas, industri pupuk terancam.
Oleh
ARIS PRASETYO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pelaku industri pupuk dalam negeri diliputi ketidakpastian soal pasokan gas bumi tiga tahun ke depan. Kontrak gas mayoritas pabrik berakhir tahun 2021-2022 dan tidak ada kejelasan soal kelangsungan pasokan gas setelah tahun 2023.
Problem itu mengemuka dalam rapat dengar pendapat di Komisi VII DPR, Kamis (5/12/2019), di Jakarta. Rapat yang dipimpin Ketua Komisi VII DPR Sugeng Suparwoto dari Partai Nasdem tersebut dihadiri Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian ESDM Djoko Siswanto, Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Dwi Soetjipto, Kepala Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) Fanshurullah Asa, serta Direktur Utama PT Pupuk Indonesia (Persero) Aas Asikin Idat.
Dalam paparannya, Asikin mengatakan, industri pupuk membutuhkan kecukupan pasokan gas bumi dalam jangka panjang. Gas bumi sebagai bahan baku berkontribusi sebesar 70 persen terhadap keseluruhan biaya produksi pupuk. Padahal, kebanyakan kontrak gas industri pupuk di bawah PT Pupuk Indonesia berakhir pada 2021-2022.
”Jika kami tidak mendapat kepastian dan kecukupan pasokan gas, akan banyak industri pupuk yang bakal tutup,” kata Asikin.
Pupuk Indonesia membawahi lima anak usaha pabrik pupuk, yaitu PT Petrokimia Gresik, PT Pupuk Kujang Cikampek, PT Pupuk Kalimantan Timur, PT Pupuk Iskandar Muda, dan PT Pupuk Sriwidjaja Palembang.
Tahun ini, Pupuk Kujang Cikampek membutuhkan gas sebanyak 101 juta standar kaki kubik per hari (MMSCFD), sedangkan pasokan hanya tersedia 91 MMSCFD. Pupuk Sriwidjaja Palembang akan kekurangan pasokan mulai 2024 sebanyak 175 MMSCFD lantaran dari kebutuhan sebanyak 185 MMSCFD hanya tersedia 10 MMSCFD saja.
Alokasi gas
Atas masalah tersebut, Komisi VII DPR mendesak pemerintah menjamin kecukupan pasokan gas untuk industri pupuk dalam negeri. Kementerian ESDM juga diminta mengkaji kemungkinan penetapan alokasi gas (domestic market obligation/DMO) dan harga gas untuk kebutuhan industri pupuk di Indonesia. Rencana gasifikasi batubara sebagai alternatif penambahan pasokan gas juga diharapkan terwujud.
”Kami juga mendukung pengalihan alokasi pasokan gas ke Singapura mulai 2023 untuk kebutuhan industri di dalam negeri,” ucap Sugeng.
Mengenai DMO gas, menurut Djoko, kesepakatan itu sudah tertuang dalam kontrak bagi hasil antara kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) hulu migas dengan SKK Migas. Apalagi, dalam beberapa tahun terakhir alokasi gas di dalam negeri lebih besar ketimbang ekspor. Sampai triwulan III-2019, gas yang diekspor hanya 33 persen dari total produksi gas Indonesia, sedangkan sisanya diserap di dalam negeri.
”Solusi jangka pendek adalah membeli gas dari pasar tunai (pasar spot). Untuk gasifikasi dari batubara, selain butuh investasi besar dan harga jualnya jauh lebih mahal, yaitu bisa mencapai 12 dollar AS per juta british thermal unit (MMBTU). Padahal, harga rata-rata gas untuk industri pupuk saat ini 5,8 dollar AS per MMBTU,” kata Djoko.
Sementara itu, Dwi Soetjipto saat ditanya kemungkinan produksi gas dalam negeri tidak diekspor mengatakan, hal itu bergantung pada kesiapan infrastruktur gas di Indonesia. Infrastruktur yang dimaksud adalah fasilitas regasifikasi dan jaringan distribusi gas.
Harga gas untuk industri diatur pemerintah lewat Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2016 tentang Penetapan Harga Gas Bumi. Perpres itu menyebutkan, jika harga gas tidak dapat memenuhi keekonomian industri pengguna gas bumi dan harga gas lebih tinggi dari 6 dollar AS per MMBTU, menteri dapat menetapkan harga gas tertentu. Penetapan itu dikhususkan untuk pengguna gas bumi bidang industri pupuk, petrokimia, oleokimia, baja, keramik, kaca, dan sarung tangan karet.