Pernahkah kita memberi uang tambahan saat mengurus dokumen kependudukan? Atau menghentikan kendaraan bermotor di zebra cross saat lampu merah? Tanpa disadari, korupsi sesungguhnya dekat dengan kehidupan kita sehari-hari
Oleh
Dedy Afrianto
·4 menit baca
Suatu hari pada tahun 1820, Raden Mas Mustahar, atau yang dikenal dengan Pangeran Diponegoro, sangat marah dengan Patih Yogya, Danurejo IV, lantaran menyalahgunakan wewenang dengan menyewakan tanah kerajaan kepada pengusaha perkebunan nila asal Inggris. Saking marahnya, Pangeran Diponegoro memukulkan selop yang ia gunakan ke wajah Patih Danurejo IV.
Suburnya lahan di Pulau Jawa kala itu memang menjadi daya tarik bagi pemodal asal Eropa. Kesempatan ini dimanfaatkan sebagian pejabat kerajaan. Bahkan, tanah yang sedianya diperuntukkan bagi rakyat malah disewakan demi memperkaya diri sendiri.
Apa yang dialami Pangeran Diponegoro membuktikan korupsi telah terjadi dalam lingkungan pemerintahan sejak beberapa abad silam. Modus yang digunakan cenderung sama, yakni penyalahgunaan wewenang.
Menilik lebih jauh, embrio korupsi sebenarnya telah lahir pada era feodal melalui kewajiban membayar upeti. Saat itu, raja adalah pemilik tanah, sementara rakyat selaku pengolah lahan harus menyerahkan upeti berupa hasil panen kepada pihak kerajaan.
Biasanya, upeti dipungut bekel atau pejabat tingkat desa yang khusus menjadi perpanjangan tangan kerajaan untuk memungut hasil panen rakyat. (Carey, 2017) Kewajiban membayar upeti yang diterapkan raja-raja Jawa kembali diterapkan oleh pemerintahan kolonial.
Rakyat tetap harus mempersembahkan upeti berupa hasil pertanian, seperti pada program penyerahan wajib era VOC (contingenteringen) dan Preanger Stelsel pada awal pemerintahan Hindia Belanda. Upeti yang awalnya diterapkan sebagai pajak beralih menjadi kebiasaan dalam kehidupan sehari-hari. Tindakan memberi hadiah atau barang kepada ”penguasa” masih kerap dilakukan.
Upeti
Hingga kini, tradisi untuk memberi ”upeti” kepada aparatur negara masih dianggap wajar oleh sebagian masyarakat. Hal ini terekam dalam jajak pendapat Litbang Kompas pada 20-22 November lalu. Kebiasaan untuk memberikan uang atau barang jamak dilakukan, salah satunya saat pengurusan dokumen kependudukan.
Sebanyak 34,5 persen responden mengaku pernah memberikan uang atau barang saat mengurus dokumen kependudukan, seperti KTP dan kartu keluarga. Padahal, dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan disebutkan bahwa pengurusan dan penerbitan dokumen kependudukan tidak dipungut biaya.
Praktik pemberian uang saat mengurus dokumen kependudukan ini dilakukan lintas generasi. Sebanyak 34,5 persen responden dari generasi milenial muda berusia kurang dari 30 tahun menyatakan pernah memberikan uang saat mengurus dokumen kependudukan. Hal serupa dilakukan generasi baby boomers berusia di atas 53 tahun. Sebanyak satu dari tiga responden pada generasi itu pernah memberikan uang saat mengurus KTP atau kartu keluarga.
Tindakan warga ini diikuti dengan masih adanya aparat pemerintahan yang meminta ”upeti”. Sebanyak satu dari empat responden mengaku pernah dimintai uang saat mengurus KTP atau kartu keluarga. Pemungutan biaya ini masih dialami responden di sejumlah kota besar di Indonesia.
Hampir dua pertiga responden mengaku hanya diam saat dimintai sejumlah uang ketika mengurus dokumen kependudukan. Hal ini mengindikasikan minimnya reaksi yang dilakukan saat menemukan indikasi tindakan korupsi dalam kehidupan sehari-hari. Artinya, lampu hijau masih diberikan bagi para pelaku korupsi. Hal ini menggambarkan, korupsi tak hanya berkaitan dengan mereka yang meminta, tetapi juga tentang kita yang turut memberikan jalan.
Perilaku
Perilaku permisif tak hanya dapat dilihat dalam kepengurusan surat kependudukan. Pada kegiatan keseharian lainnya, perilaku yang menjadi embrio praktik korupsi juga jamak dilakukan.
Pada perilaku berkendara, misalnya, kebiasaan untuk mengambil hak orang lain masih kerap ditemui. Menurut catatan kepolisian, sejak 1 Juli hingga 21 Agustus 2019, terdapat 11.290 pelanggar tilang elektronik di Jakarta. Angka ini menunjukkan masih rendahnya kesadaran masyarakat dalam berlalu lintas.
Hal lain yang merupakan wujud pelanggaran adalah tindakan pengguna kendaraan bermotor yang berhenti di zebra cross saat lampu merah. Padahal, dalam UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, zebra cross adalah hak bagi pejalan kaki saat menyeberang jalan. Hal ini merupakan bentuk sederhana tindakan korupsi dalam kehidupan sehari-hari.
Sebagian masyarakat belum menyadari tindakan ini menjadi bagian dari embrio korupsi. Setidaknya separuh responden (50 persen) menyatakan, menghentikan kendaraan di zebra cross saat lampu merah bukan bagian dari tindak korupsi.
Persepsi ini muncul dari lintas generasi, baik generasi milenial maupun baby boomers. Semakin muda kelompok usia, kian rendah pula kesadaran akan penitngnya menjaga hak pejalan kaki saat lampu merah.
Kondisi ini menggambarkan, persoalan korupsi tidak melulu berkaitan dengan pejabat elite. Pada tataran akar rumput, juga ada persoalan korupsi. Korupsi serupa dengan fenomena gunung es, yakni ada bongkahan besar di bawah lautan, tetapi tak terlihat.
Korupsi seolah sudah menjadi jalan hidup bagi sejumlah kalangan dari segala zaman. Sebagaimana pepatah Perancis, plus ca change, plus c’est la meme chose, yang berarti semakin berubah, semakin tetap sama. Selama berabad-abad, tindakan korupsi terus menggeliat di sekitar kita.
Tentu, tak cukup jika hanya mengandalkan KPK dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi. Kesadaran dari segala kalangan amat dibutuhkan untuk menghilangkan korupsi di berbagai lini. Bukan hanya kesadaran dari pemerintah atau pejabat publik, melainkan juga kesadaran kita untuk tidak memberi jalan atau bahkan menumbuhkan embrio korupsi dalam kehidupan sehari-hari. Beranikah kita? (Litbang Kompas)