Makelar Pajak di Sidoarjo Rugikan Negara Rp 3 Miliar Lebih
Kanwil Direktorat Jenderal Pajak Jatim II dan Polda Jatim menyerahkan seorang makelar pajak bernama PS (61) ke Kejari Sidoarjo. Pelaku disangka merugikan negara lebih dari Rp 3 miliar.
Oleh
RUNIK SRI ASTUTI
·3 menit baca
SIDOARJO, KOMPAS — Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Jawa Timur II dan Kepolisian Daerah Jawa Timur, Kamis (5/12/2019), menyerahkan seorang makelar pajak bernama PS (61) kepada Kejaksaan Negeri Sidoarjo. Pelaku disangka melakukan tindak pidana di bidang perpajakan sehingga merugikan negara lebih dari Rp 3 miliar.
Kepala Kanwil DJP Jawa Timur II Lusiani mengatakan, upaya penyerahan pelaku kepada kejaksaan itu merupakan bagian dari proses penegakan hukum. Kejaksaan Negeri Sidoarjo diharapkan segera menangani perkara yang melibatkan pelaku agar bisa diproses di Pengadilan Negeri Sidoarjo.
”Siapa pun yang melanggar aturan di bidang pajak harus ditindak sesuai undang-undang. Sebab, pajak merupakan kewajiban setiap warga negara,” ujar Lusiani.
Kepala Bidang Pemeriksaan, Penagihan, Intelijen, dan Penyidikan Kanwil Pajak DJP II Sidoarjo Irawan mengatakan, PS diduga kuat menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak nomor pokok wajib pajak (NPWP) atau nomor pengukuhan pengusaha kena pajak (NPPKP).
”PS diduga kuat membantu HW, terpidana pengemplang pajak yang divonis bersalah oleh Pengadilan Negeri Sidoarjo. Dia menerbitkan faktur pajak yang tidak berdasarkan dengan transaksi yang sebenarnya,” ujar Irawan.
Perbuatan PS tersebut dilakukan dalam rentang waktu 2011 sampai dengan 2013. Akibatnya, negara mengalami kerugian pada pendapatan negara dari sektor perpajakan sekurang-kurangnya sebesar Rp 3,044 miliar. Nilai itu berdasarkan faktur pajak yang tidak berdasarkan transaksi yang sebenarnya, yang dijual atau diedarkan PS pada perusahaan-perusahaan pengguna. Nilainya diperkirakan Rp 3,044 miliar.
Pemeriksa Pajak Madya Kanwil DJP Jatim II, Achmad Fauzi, menambahkan, modus operasi yang dilakukan PS adalah melakukan permintaan dan pemesanan faktur pajak yang tidak berdasarkan transaksi sebenarnya kepada HW. Selanjutnya, pelaku mengedarkan faktur pajak tersebut kepada pemesan atau pengguna faktur pajak.
PS melakukan permintaan dan pemesanan faktur pajak yang tidak berdasarkan transaksi sebenarnya kepada HW. Pelaku mengedarkan faktur pajak tersebut kepada pemesan atau pengguna faktur pajak.
Atas jasanya memberikan faktur pajak yang tidak berdasarkan transaksi sebenarnya itu, pelaku mendapat imbalan dengan nominal tertentu. Uangnya ditransfer ke rekening bank milik HW. Akibat faktur pajak yang tidak sesuai transaksi sebenarnya, negara mengalami kerugian hingga Rp 3,044 miliar selama tiga tahun.
Achmad Fauzi mengatakan, perbuatan PS terancam melanggar Pasal 39 Ayat (1) Huruf b juncto Pasal 43 Ayat (1) atau Pasal 39A Huruf (a) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah menjadi Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 juncto Pasal 64 KUHP.
Berdasarkan ketentuan yang tertuang dalam peraturan perundangan tersebut, pelaku terancam pidana badan paling lama 6 tahun penjara. Selain itu, pelaku juga terancam pidana denda paling banyak empat kali jumlah pajak yang terutang, yang tidak atau kurang dibayar.
Kasus ini menambah penyelewengan pajak di wilayah Jatim. Di Jatim terdapat dua kanwil pajak, yakni Kanwil DJP Jatim I dan Kanwil DJP Jatim II. Pada Oktober lalu, Kanwil DJP Jatim I menyandera atau gijzeling seorang penunggak pajak bernama DST.
Pada Agustus lalu, Kanwil DJP Jatim I juga menyandera seorang pengemplang pajak bernama FK ke lembaga pemasyarakatan (lapas perempuan di Malang) karena menunggak pajak sebesar Rp 2,9 miliar.
Gencarkan sosialisasi
Kepala Bidang Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Kanwil DJP Jatim II Nyoman Ayu Ningsih mengatakan, selain melakukan penindakan terhadap pelanggar pajak, pihaknya juga gencar melakukan sosialisasi kepada masyarakat. Tujuannya, mengenalkan pajak kepada wajib pajak ataupun calon wajib pajak tentang kewajiban yang harus dipenuhi dan menggugah kesadaran mereka untuk taat pajak.
Hal itu penting karena pajak masih menjadi sumber utama pendapatan negara. Tingginya tingkat kepatuhan membayar pajak berkorelasi positif terhadap penerimaan negara. Penerimaan negara menjadi sumber utama pembangunan di seluruh wilayah Nusantara agar masyarakat semakin sejahtera.