Logam aluminium bereaksi dengan larutan asam sulfat. Apa arti persamaan reaksi kimia seperti ini dalam kehidupan praktis sehari-hari?
Demikian inti dialog seorang guru dengan murid-muridnya di sebuah SMA di Yogyakarta bertahun-tahun silam. Para murid sejenak terdiam sambil mencermati tulisan kapur putih di papan tulis berwarna hitam.
Deretan nama unsur dan senyawa yang menggambarkan persamaan kimia tersebut terkesan ”dingin dan kaku”. Sebab, rumus kimia hanya terdiri dari susunan huruf pembentuk nama unsur, senyawa, dan wujudnya (larutan, gas, dan cair) kemudian angka, tanda plus, dan tanda panah.
Guru itu juga menjelaskan reaksi logam aluminium yang dapat larut ketika dicampur asam pekat. Tidak ingin anak didik hanya sekadar mencatat atau menghafal, guru juga mengajak murid-muridnya bereksplorasi, melihat kemungkinan atau hal di balik rumusan atau teori. Pendekatan semacam ini dapat dilakukan di berbagai mata pelajaran sehingga ilmu lebih dekat dengan kehidupan sehari-hari.
Arti penting keterkaitan ilmu yang didapat di bangku pendidikan dengan kepentingan sehari-hari, dalam berbagai bentuknya, masih tetap relevan. Tak terkecuali, keterkaitan kompetensi lulusan dunia pendidikan dan kebutuhan tenaga kerja dunia usaha atau industri.
Centre for Strategic and International Studies (CSIS) menengarai, tantangan umum sistem pendidikan di Indonesia, antara lain, menyangkut perbaikan kualitas dan relevansi hasil pembelajaran. Hal ini mengemuka dalam seminar publik bertajuk ”Percepatan Transformasi Sumber Daya Manusia Indonesia dalam Menjawab Tantangan Pekerjaan Masa Depan di jakarta” pada awal Desember 2019.
Di acara tersebut, sejumlah narasumber berbagi pandangan. Misalnya, mengenai arti penting kemampuan sumber daya manusia dalam menyelesaikan masalah dan berpikir kreatif. Keterampilan juga kian diperlukan di tengah dinamika tuntutan pekerjaan pada masa mendatang.
Sementara itu, dalam Kompas100 CEO Forum pada 28 November, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim menyebutkan, ada kemampuan lain di luar keterampilan yang mesti ditingkatkan, yaitu soft skill, misalnya kemampuan mengambil keputusan dan bekerja sama.
Dalam acara CSIS disoroti juga peringkat Indonesia dalam Programme for International Student Assessment (PISA). Salah satu pertanyaan yang menggelitik adalah mengenai faktor yang menyebabkan matematika seolah masih menjadi momok.
Kompas, Rabu (4/12/2019), memberitakan, Indonesia ada di peringkat ke-66 dari 76 negara yang mengikuti tes PISA. Tes PISA menguji kemampuan membaca, matematika, dan sains.
Materi mengenai literasi keuangan dan kompetensi yang merupakan hal universal untuk kehidupan sehari-hari sudah tercakup di dalamnya. Indonesia meraih skor 371 untuk membaca, 379 untuk matematika, dan 396 untuk sains. Semuanya di bawah nilai rata-rata global 500.
Hal ini menjadi tantangan bagi seluruh pemangku kepentingan untuk terus berupaya meningkatkan kualitas SDM Indonesia. Apalagi, Presiden Joko Widodo menegaskan, SDM merupakan salah satu fokus pemerintah dalam lima tahun mendatang. Saatnya bersinergi dan menciptakan ekosistem yang memungkinkan talenta unggul bertumbuh di negeri ini.