Menyiapkan Talenta di Era Industri Digital
Komunitas chief information officer serta eksekutif bidang teknologi informasi dan komunikasi perusahaan dan organisasi di Indonesia, iCIO Community, akhir Oktober 2019, menggelar Executive Leadership Forum 2019.
Komunitas chief information officer serta eksekutif bidang teknologi informasi dan komunikasi perusahaan dan organisasi di Indonesia, iCIO Community, akhir Oktober 2019, menggelar Executive Leadership Forum 2019. Acara ini mengusung tajuk ”Reinventing the Digital Workforce for the Work of Tomorrow”.
Chairman iCIO Community Rico Usthavia Frans mengatakan, inovasi teknologi berimplikasi besar terhadap ketenagakerjaan.
”Perubahan teknologi dapat memengaruhi kebutuhan tenaga kerja,” kata Rico dalam sambutannya di awal acara.
Isu ini menarik dan penting bagi Indonesia yang berpopulasi besar dengan berbagai tantangan sumber daya manusia (SDM). Dinamika perkembangan teknologi tak pelak merangsek dan berdampak terhadap sisi ketenagakerjaan.
Ada beragam pandangan, baik pesimistis maupun optimistis, yang mencuat saat memandang masalah ini. Ada yang khawatir meskipun ada juga yang bergairah menyikapi tantangan dan peluang yang dibawa perkembangan teknologi.
Gap, kesenjangan, atau kekurangan tenaga kerja adalah salah satu isu yang mengemuka.
Menurut Wakil Ketua Komite Tetap Pemberdayaan Tenaga Kerja Dalam Negeri Kamar Dagang dan Industri Indonesia Wisnu Wibowo, isu ini setidaknya telah teridentifikasi sejak awal 2000.
Seiring globalisasi, saat itu banyak perusahaan asing membuka kantor atau cabang baru di Indonesia. ”Mereka memerlukan tenaga-tenaga kerja untuk mengelola bisnis yang menerapkan otomasi dan teknologi lain,” kata Wisnu.
Kini Indonesia kian dihadapkan pada tantangan penyiapan SDM. Apalagi, era Revolusi Industri Keempat atau Industri 4.0 telah tiba. Salah satu penandanya adalah peluncuran Making Indonesia 4.0 pada 4 April 2018.
Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menyebutkan, Industri 4.0 tersebut berbasiskan, antara lain, data raksasa, komputasi awan, kecerdasan buatan, dan virtual augmented reality.
Komunikasi mesin ke mesin menjadi kunci pada era ini. Secara global, Industri 4.0 ditandai dengan peningkatan konektivitas dan interaksi antara manusia, mesin, dan sumber daya lain melalui teknologi, informasi, dan komunikasi. Perkembangan turut mengubah lanskap ketenagakerjaan. Berdasarkan pemetaan Kemenperin, dibutuhkan 17 juta tenaga kerja melek teknologi digital agar Indonesia bisa masuk dalam kelompok 10 besar negara-negara dengan ekonomi terkuat di dunia pada 2030.
Tenaga kerja melek teknologi digital itu terinci pada sektor manufaktur sebanyak 4,5 juta orang dan di sektor jasa pendukung manufaktur 12,5 juta orang. Penyiapan SDM jelas merupakan tantangan tersendiri.
Mengacu pada data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah angkatan kerja per Agustus 2019 sebanyak 133,56 juta orang. Angkatan kerja terdiri dari kelompok penduduk menganggur 7,05 juta orang dan 126,51 juta penduduk bekerja.
Sementara penduduk bekerja dengan pendidikan sekolah dasar ke bawah mendominasi dengan jumlah 50,18 juta orang atau 39,66 persen dari total penyerapan tenaga kerja.
Adapun penduduk bekerja dengan pendidikan sekolah menengah pertama sekitar 22,62 juta orang (17,88 persen), sekolah menengah atas 23,19 juta orang (18,33 persen), dan sekolah menengah kejuruan 14,84 juta orang (11,73 persen). Penduduk bekerja berpendidikan diploma I/II/III 3,41 juta orang (2,70 persen) dan berpendidikan universitas 12,27 juta orang (9,70 persen).
Mengacu pada sejumlah kajian, Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya, Perangkat, dan Penyelenggaraan Pos dan Informatika Bonnie M Thamrin Wahid mengatakan, ada kekurangan 9 juta talenta digital di Indonesia pada 2015-2030. Jika dirata-rata, setiap tahun ada kekurangan 600.000 talenta digital.
Penyiapan talenta digital dinilai menjadi agenda penting untuk memitigasi kesenjangan antara kebutuhan dan ketersediaan tenaga kerja. Agenda penting ini mesti dikerjakan bersama, terutama oleh pemerintah dan dunia usaha.
”Penyiapan talenta digital di sisi keterampilan, inovasi, dan kreativitas harus disiapkan menghadapi era Industri 4.0 dan disrupsi perkembangan pesat teknologi,” kata Bonnie.
Berdasarkan studi Bank Dunia dan Forum Ekonomi Dunia 2018, ekonomi digital di regional, khususnya kawasan ASEAN, berkembang hampir lima kali lipat dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya.
”Angkanya pada 2020 diperkirakan 200 miliar dollar AS. Sebanyak 65 persen segmentasi ekonomi digital ini atau sekitar 130 miliar dollar AS ada di Indonesia,” kata Bonnie.
Merujuk Standard Chartered PLC, Bonnie memaparkan, Indonesia pada 2030 diperkirakan menjadi negara ekonomi terbesar keempat dunia dengan produk domestik bruto (PDB) 10,1 triliun dollar AS.
Peran teknologi
Pada sesi panel, Direktur Operasi dan Teknologi Informasi PT Bank CIMB Niaga Tbk Rita Mas\'oen mengatakan, perbankan melihat peran teknologi dalam mengefisienkan pekerjaan.
”Teknologi robotik dan sebagainya terlihat cukup memadai dipakai di bank. Sekarang kami sudah mulai memakainya pada operasional untuk proses bisnis dan teknologi informasi,” kata Rita.
Chief of Talent Bukalapak Bagus Harimawan menuturkan, talenta digital bernilai penting, terutama pada bisnis yang memiliki kompleksitas tinggi.
”Di bisnis kami, misalnya, ada 2 juta transaksi lebih setiap hari, ada 2,5 juta lebih mitra, dan hampir 5 juta pelapak,” katanya.
Bagus menuturkan, dari sisi organisasi, Bukalapak didukung sekitar 2.100 orang.
”Talenta digital kami harus mempunyai, antara lain, pengetahuan mendalam soal testing dan kemampuan menyelesaikan problem,” kata Bagus.
Sementara itu, Vice President HR Helpster Priskila Rumondor mengatakan, istilah gig work relatif belum terlalu dikenal atau lazim terdengar.
”(Istilah) gig berasal dari dunia musik. Jadi, dulu orang dibayar menyanyikan satu-dua lagu. Selesai menyanyikan, mereka dibayar. Sudah. Itu gig, yang kemudian menjadi istilah ekonomi,” katanya.
Perkembangan pesat dunia digital telah melahirkan pasar tenaga kerja dalam jaringan. Saat ini banyak muncul tenaga kerja yang bersifat independen dan rata-rata tidak bekerja dalam struktur perusahaan.
”Pengaruh teknologi digital memungkinkan mereka yang sebelumnya tidak terekspos dengan dunia kerja bisa masuk dan mendapatkan pekerjaan lewat dalam jaringan,” kata Direktur Eksekutif Indonesia Service Dialogue Council (ISD) Devi Ariyani.
Priskila dan Devi menyampaikan hal tersebut pada acara Government Relations dan Diskusi Publik yang membahas Online Labour Market: Merumuskan Hubungan Ketenagakerjaan di Era Digital. Kegiatan digelar Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) dan ISD di Jakarta, akhir Oktober lalu.
Skala besar
Devi menuturkan, transaksi secara global gig economy mencapai 204 miliar dollar AS. Ada sekitar 40 platform digital skala besar dengan 52 juta tenaga kerja yang teregistrasi di dalamnya.
”Kita tidak bisa menafikan perkembangan yang sedemikian pesat ini. Kita harus merumuskan suatu bentuk industrial yang tidak lagi bersifat konvensional, tetapi bisa mewadahi pekerja gig ini,” kata Devi.
Menurut dia, ada tahapan transformasi digital. Sebelumnya, hubungan pemberi dan penerima kerja dilakukan secara fisik dan bersifat rigid. Seiring transisi yang mengarah transformasi, hubungan pemberi dan penerima kerja tidak harus secara fisik.
”Bahkan, ada orang bisa bekerja tanpa pernah melihat si pemberi kerja,” ujar Devi.
Menurut Devi, perubahan atau transformasi ini memerlukan kerangka regulasi yang mampu menjembatani transformasi, dari konvensional menjadi nonkonvensional tersebut.
Transformasi digital dinilai sudah mengubah banyak hal, tidak hanya di sisi bisnis model, tetapi juga skema pekerjaan, waktu pekerjaan, dan sistem pengupahan.
”Hal ini perlu dipikirkan karena kehadiran era digital banyak memberi hal positif di sisi peningkatan kualitas output, produktivitas, dan menekan biaya yang dikeluarkan pelaku usaha,” kata Devi.
Devi menuturkan, potret tenaga kerja Indonesia saat ini lebih banyak di sektor informal, yang sebagian besar sudah masuk di dalam dunia kerja lewat platform digital yang ada.
”Dari mereka yang sudah masuk, ada sekitar 38 persen yang tidak memiliki kontrak. Jadi, mereka sudah masuk, sudah bekerja, tetapi tidak ada kontrak. Tentu ini memprihatinkan buat kita,” ujar Devi.
Menurut Ketua Apindo Bidang Industri Johnny Darmawan, salah satu tantangan Indonesia dalam memasuki era Industri 4.0 adalah sebagian besar dari 182 juta angkatan kerjanya berpendidikan SD dan SMP. Tak urung, ada pekerjaan rumah besar bagi pemangku kepentingan di Indonesia untuk menyiapkan talenta yang akan berkiprah di era digital.